Entri yang Diunggulkan

INDONESIAN POEM BY BAMBANG DARTO

THE EARLY EVENING When raining the clock is damaged and the sun is dark the day has no wind when the thunder burglarizes chest my he...

Selasa, 30 Desember 2008

BUDAYA TRADISI

SAPARAN, MAKNA, NILAI, DAN PERANNYA
Oleh: Sri Wintala Achmad


Dari wilayah Gamping (Sleman), kita telah lama mengenal upacara tradisi Saparan yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat sekitar, yakni masyarakat pedukuhan Gamping Lor, Gamping Tengah, dan Gamping Kidul khususnya, serta masyarakat Kalurahan Ambarketawang pada umumnya.
Upacara tradisi Saparan di Gamping yang berlatar-belakang historis meninggalnya sepasang suami-istri Kyai dan Nyai Wiro Suto (abdi Pangeran Mangkubumi) yang tertimpa runtuhan Gunung Gamping tersebut mengandung makna kultural dan nilai spiritual. Bermakna kultural, karena Saparan yang tersaji dalam prosesi serangkaian barisan prajurit, para penandu boneka sepasang pengantin (terbuat dari bahan ketan dan juruh), binatang klangenan Kyai Wiro Suto, sepasang patung gendruwo, dan beberapa kelompok kesenian merupakan produk khas budi daya para kreator lokal Ambarketawang.


Bernilai spiritual, upacara tradisi Saparan yang berakhir dengan puncak acara penyembelihan sepasang bekakak di titik situs Gunung Gamping dan pergelaran wayang kulit semalam suntuk di Kalurahan Ambarketawang dimaksudkan agar upacara tersebut berpengaruh positif atas keselematan warga Gamping dan sekitarnya. Sesudah upacara tersebut mampu menjadi media perealisasian reinteraksi kosmis yang dinamis, yakni mikro-kosmis/jagad alit (manusia, binatang, dan lingkungan sekitar) dan makro-kosmis/jagad ageng (Gusti Kang Hamurbeng Jagad Raya).
Nilai spiritual di dalam upacara tradisi Saparan sungguh kontekstual untuk dikemukakan pada saat ini. Manakala ketidak-dinamisan interaksi kosmis yang menimbukan serentetan bencana di bumi Nusantara tersebut telah menelan banyak korban jiwa, harta dan benda. Manakala fenomena terhadap agama (agemaning ati) yang selalu mengajarkan manusia pada laku kebajikan terhadap sesama makhluk dan alam lingkungan (horisontal), serta Tuhan (transendental) perlahan-lahal tanggal dari jiwa.
Dipahami lebih jauh, bahwa selain mengandung makna kultural dan nilai spiritual, upacara tradisi Saparan memiliki akses besar dalam dunia pariwisata di Sleman. Karenanya besarnya perhatian dari Dinas Kebudayaan dan Pariwitasa (DIKBUDPAR) serta Pemerintah Daerah (PEMDA) Kabupaten Sleman yang berupa pendanaan terhadap realisasi upacara tradisi tesebut sangat diharapkan. Agar masyarakat Gamping yang bertujuan untuk melestarikan produk budaya warisan leluhurnya tidak terlampau terbebani pundaknya dengan persoalan dana. Persoalan klasis yang senantiasa muncul pada setiap event tersebut diselenggarakan.
Meskipun dana tetap menjadi kunci utama di dalam penyelenggaraan upacara tradisi Saparan, namun DIKBUDPAR atau PEMDA Kabupaten Sleman, serta pihak panitia sendiri tidak sepenuhnya menjual event tersebut kepada sponsor. Hal ini guna menjaga agar tidak munculnya image negatif publik yang mengarah pada klaim, bahwa Saparan telah berubah fungsi sebagai media sponsor di dalam mengembangkan pemasaran produknya di lingkup konsumen, selain menghindari tudingan bahwa event tersebut merupakan peluang panitia di dalam meraup kuntungan finansial semata.
Perihal lain yang semustinya mendapatkan perhatian khusus, bahwa upacara tradisi Saparan sesungguhnya dapat dijadikan media pengenalan, pelestarian, atau penumbuh-kembangan produk seni dan budaya yang hidup di Kecamatan Gamping. Karenanya sangat disayangkan, apabila event yang pernah melibatkan kelompok-kelompok kesenian atau budaya dari seluruh kecamatan pada beberapa puluh tahun silam tersebut kini tidak direalisasikan kembali.
Dengan demikian, panitia yang memahami peran seni atau budaya sebagai media pemersatu publik seyogyanya merealisasikan pemikiran terhadap pentingnya pelibatan aktif dari berbagai person atau komunitas kesenian atau kebudayaan di seluruh Kecamatan Gamping. Bahkan tidak ada salahnya, apabila panitia berkenan mengundang beberapa person atau komunitas kesenian atau kebudayaan dari luar lingkup kecamatan Gamping.
Apabila pemikiran ini dapat direalisasikan, saya percaya bahwa penyelenggaraan upacara tradisi Saparan akan lebih semarak. Di samping gaung atas nilai tawar dan capaian target event tersebut akan menjangkau ruang lingkup yang lebih luas. Tidak hanya sebatas ruang-lingkup Kalurahan Ambarketawang, melainkan Kalurahan Balecatur, Banyuraden, Nogotirto, dan kalurahan-kalurahan di luar Kecamatan Gamping. Hingga Gamping yang merupakan salah satu kantong seni-budaya di wilayah Kabupaten Sleman atau Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) niscaya semakin terdongkrak citranya baik di masa sekarang maupun mendatang.

Sri Wintala Achmad
Pemerhati Seni-Budaya Tradisi
Ketua Sanggar Gunung Gamping Indonesia
Tinggal di Cilacap

Sumber foto: 
http://www.jogjatrip.com/id/98/upacara-adat-saparan-bekakak

Kamis, 11 Desember 2008

BUDAYA TRADISI

MENANGKAP NILAI ADILUHUNG EVENT RITUAL YAAQAWIYYU
Oleh: Sri Wintala Achmad


Di dalam mayasarakat Jawa, Sapar telah dianggap bulan paling selaras untuk melakukan upacara tradisi bersih desa Saparan. Upacara bersih desa tersebut tidak hanya diselenggarakan di beberapa tlatah Ngayogyakarta, seperti di Gamping (Bekakak), Wonolela (Sebaran Apem), atau di Wonokromo (Rebo Pungkasan), melainkan pula di tlatah Jawa Tengah semisal di Pengging, Jatinom-Klaten dll.
Yaaqawiyyu merupakan upacara tradisi Saparan Sebaran Apem di Jatinom-Klaten yang cukup menarik apabila ditilik dari nilai kultural, makna spiritual, serta pengemasan performance-nya. Hingga ketiga unsur tersebut senantiasa menjadi daya dorong bagi masyarakat dengan berlatar belakang kepentingan guna menghadiri upacara tradisi Saparan Yaaqawiyyu yang diselenggarakan setahun sekali.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, hari pertama pelaksanaan Upacara Tradisi Saparan Yaaqawawiyyu dipusatkan di halaman Majid Ageng Ki Ageng Gribig. Di tempat tersebut, sepasang gunungan apem yang diusung dari kantor kecamatan Jatinom serta mendapatkan iringan kirab agung diserahkan oleh pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kepada pemeraga Kiageng Gribig. Kemudian gunungan apem tersebut diinapkan semalam di pendhapa milik R. Soebakdi Soesilowidagdo (ahli waris Ki Ageng Gribig).
Hari ke dua yang merupakan puncak acara Yaaqawiyyu dipusatkan di lembah yang berada di sebelah selatan Masjid Ageng Ki Ageng Gribig. Di lembah yang dibatasi sungai di sebelah selatannya, goa dan sendang Suran di sebelah timurnya, serta sendang Klampeyan di sebelah utaranya, ribuan pengunjung mulai berjubelan semenjak fajar untuk memperebutkan apem-apem yang dilempar oleh para pengageng dan panitia berseragam santri (sorban, baju warna putih, dan sarung) dari puncak dua menara.
Selapas Dluhur, gunungan apem yang diusung dengan melewati jubelan pengunjung dari pendapa menuju lembah tersebut disebarkan. Hingga luncuran apem-apem di angkasa mengingatkan hujan meteorit yang pernah terjadi di Indonesia pada beberapa tahun silam. Meteorit berkah yang ditaburkan Tuhan dari langit bagi seluruh umat-Nya di planit bumi. Sekelompok manusia pendamba berkah yang bakal memberikan kekuatan lahir serta batin.


Nilai dan Makna
Bersumber dari buku panduan Upacara Tradisi Saparan Yaaqawiyyu, bahwa Ki Ageng Gribig yang mendapatkan kue apem dari Mekah tersebut tidak cukup dibagikan untuk keluarga dan sanak-saudaranya. Karenanya, Ki Ageng meminta kepada istrinya untuk membuat kue apem untuk diberikan kepada sanak-saudaranya tanpa memandang perbedaan kelas.
Ajaran cinta kasih Islam yang dipraktikkan Ki Ageng Gribig inilah menjadi landasan dasar pelaksanaan Upacara Tradisi Saparan Yaaqawiyyu di Jatinom-Klaten. Dengan demikian, Yaaqawiyyu selain memiliki nilai kultural pula memiliki makna spiritual di dalam membangun jiwa cinta-kasih manusia kepada sesamanya. Hanya dengan mencinta-kasihi sesamanya, maka manusia membuktikan dirinya telah mencinta-kasihi Tuhan Sang Penebar Berkah.
Tidak heran kalau dalam perkembangannya hubungan cinta-kasih manusia dengan sesamanya atau seluruh manusia dengan Tuhan telah disimbolisasikan di dalam Yaaqawiyyu melalui pengiraban sepasang gunungan apem (gunungan lanang berbentuk lingga serta gunungan wadon berbentuk yoni) dari kecamatan Jatinom menuju Masjid Ageng Ki Ageng Gribig. Dikirabkan lantraran pemahaman bahwa hubungan dinamis cinta-kasih antara gunungan lanang yang bermakna bapa angkasa, jagad ageng, makrokosmis atau Tuhan Kang Hamurbeng Jagad dengan gunungan wadon yang berarti ibu pertiwi, jagad alit, mikrokosmis, atau makhluk penghuni bumi layak diwartakan secara luas kepada seluruh masyarakat.
Melalui hubungan dinamis cinta-kasih antar kosmis, kelangsungan hidup penuh damai di jagad raya ini dapat terealisasi. Karenanya. Yaaqawiyyu dapat dimaknai sebagai media dakwah Islamiah yang cukup cerdas di dalam memulihkan krisis spiritual manusia. Dinyatakan cerdas, dakwah tersebut tidak perlu disampaikan melalui bahasa oral yang bertele-tela. Melainkan melalui bahasa simbol yang dapat ditangkap oleh setiap manusia cerdas dengan sepenuh rasa serta akal-budinya.
Di samping itu, sebaran apem di lembah dapat memicu pemahaman perihal misteri manakala berkah ditaburkan Tuhan dari langit ke muka bumi. Banyak orang telah bekerja keras untuk berebut berkah, namun banyak yang tidak mendapatkannya. Banyak orang yang tidak berebut, namun dapat memperoleh berkah yang banyu mili (mengalir tanpa henti) dari Tuhan. Inilah misteri yang menyarankan manusia untuk senantiasa sabar dan berfikiran positif, bahwa Tuhan di dalam membagi berkah kepada seluruh umat-Nya tidak lepas dengan faktor mangsa-kala (waktu), papan (tempat), serta jatah.

Catatan Membangun
Bepijak pada pemikiran di muka, maka pelaksanaan Upacara Tradisi Bersih Desa Saparan Yaaqawiyyu hendaklah lebih diarahkan sebagai media tuntunan (edukatif) spiritual bagi masyarakat. Bukan sebaliknya, Yaaqawiyyu sekadar menjadi media tontonan (rekreatif) yang berorientasi pada kepentingan bisnis pariwista. Suatu bisnis yang lebih memposisikan keuntungan finansial sebagai target akhirnya ketimbang menjaga nilai atau makna produk budaya tersebut.
Peran sponsor memang dibutuhkan di dalam menopang pendanaan pelaksanaan Yaaqawiyyu. Meskipun demikian, panitia harus memberikan batasan wilayah di dalam memajang media promosinya, seperti baliho, spanduk, umbul-umbul, atau t-shirt panitia. Tempat-tempat semisal Masjid Alit atau Masjid Ageng Ki Ageng Gribig serta lembah yang dijadikan ajang penyebaran apem harus dihindarkan dari media promosi. Hal ini guna menjaga sakralitas serta menghindari klaim negatif masyarakat bahwa Yaaqawiyyu tidak lagi dimaknai sebagai peristiwa budaya, melainkan sebagai gelar produk industri yang sekadar mengabdi kepentingan pasar, selera konsumen, serta berorientasi pada keuntungan finansial.
Agar target pelaksanaan Yaaqawiyyu sebagai media di dalam membangun spiritualitas manusia dapat tercapai, beberapa aktivitas seni-budaya pendukung baik berlatar-belakang Jawa maupun Islam harus dijaga keberlangsungannya. Pemikiran ini layak dikemukakan. Mengingat gelar macapatan bernilai edukasi spiritual yang dikoordinir Almarhum KRT. Surya Puspa Hadinegara (RPA. Suryanto Sastroatmodjo) pada malam inap sepasang gunungan apem di pendhapa tersebut kini hanya tercatat di lembar buku kenangan.
Ditandaskan agar catatan ini hendaklah ditangkap sebagai bahan permenungan bagi semua pihak terkait. Tidak hanya panitia, pemerintah setempat, melainkan semua masyarakat yang masih berkenan menjaga kemurnian visi-misi pelaksanaan Upacara Tradisi Bersih Desa Saparan Yaaqawiyyu sebagai media membangun spiritualitas manusia dengan berorientasikan pada pesan moral Ki Ageng Gribig. Ini merupakan langkah arif bagi generasi Jawa di dalam menjaga amalan mikul dhuwur mendhem jero (menghormati) terhadap leluhurnya yang telah bersemayam damai di alam keabadiannya.

Sri Wintala Achmad,
Pemerhati sastra, seni-budaya, dan sosial,
Ketua Sanggar Seni Gunung Gamping Indonesia,
Tinggal di Cilacap 

sumber foto:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibUXOQUqlpvqxK8gKCQDtfHgFs3BoAbBFHXEY7LPvFCykY2be7Vyc8Kn7AhRfCcKAAcbng04zXrC37VFEggH0_q6veHsjZC2t_wgG_JK3cPVvNHxR59QYs3dRUzXz1d3KgoOa6DinH4KE/s1600/82dbb807ee7e877d589656a79b5e960b.JPG
http://www.timlo.net/baca/68719522921/tahun-ini-pengunjung-tradisi-saparan-yaqowiyu-bebas-retribusi/
 

TEATER

MENGGELIATKAN KEMBALI
GAIRAH KREATIVITAS TEATER INDONESIA
Oleh: Sri Wintala Achmad

Teater dikenal sebagai induk dari segala genre seni (mother of arts). Berbagai disiplin seni, seperti seni musik, seni rupa, seni tari, seni vokal, dan sastra merupakan unsur-unsur penting yang mengkristal di dalam seni teater. Teater pula sering mendapat sebutan seni kolektif. Karena banyak personal, seperti: sutradara, astrada, penulis naskah lakon, penata setting atau penata dekorasi, penata make-up dan busana, penata lampu, penata musik, dan aktor-aktris terlibat di dalamnya.

Poster pementasan Teater Sego Gurih Yogyakarta




Kehadirannya di blantika seni Indonesia, teater dapat dijadikan medium pemahaman akan kesan-pesan di balik peristiwa kehidupan. Karena itu, setiap produk pementasan teater senantiasa merefleksikan kondisi manusia secara kritis terhadap kehidupan personal atau kolektif dengan latar-belakang budaya dan tradisi, sosial, politik, atau religius yang hidup di lingkup kehidupannya.
Bagi insan teater, teater sangat berperan besar di dalam membangun suatu sikap arif di dalam menghadapi segala persolan kehidupan. Sikap arif yang selalu memosisikan proses lebih utama ketimbang tujuan. Pandangan yang berpijak suatu asumsi bahwa berhasil-gagalnya suatu tujuan tergantung pada benar-salahnya suatu proses tersebut bukan hanya diungkapkan Iwan Fals melalui lagu Seperti Matahari, melainkan sebagian besar insan yang telah lama berhelat dengan dunia teater.

Sinopsis Pementasan Teater DTY 'Opera Kecoa'
Namun seiring perkembangan zaman, teater tampaknya mengalami kendala perkembangannya. Sanggar-sanggar teater tinggal nama. Setiap pementasan teater selalu sepi dari pengunjung. Polemik atau pewacanaan sehat tentang teater mulai jarang diangkat oleh beberapa pengamat atau kritikus melalui media massa lokal atau pusat. Memang di luar dugaan, kalau kehidupan teater yang pernah mengalami kegairahan hidup pada periode 70-an hingga 90-an itu berangsur-angsur dalam kondisi sangat memprihatinkan. Seperti si tua bangka yang mencoba bertahan hidup dengan tongkatnya di samping liang lahat.
Realitas getir yang melanda kehidupan teater tidak bisa dibiarkan begitu saja. Persoalan urgen tersebut harus dicari faktor-faktor penyebabnya melalui analisa cermat, kritis, dan obyektif. Hingga solusi persoalan (problem solving)-nya dapat dirumuskan dan diaplikasikan di dalam upaya membangkitkan kembali kegairahan kehidupan teater di masa-masa mendatang. Sekalipun disadari, bahwa kendala-kendala yang bakal dihadapi akan semakin berat.

Persoalan Internal dan Eksternal

Latihan Pementasan Teater DTY 'Opera Kecoa'
Sebelum mengambil langkah untuk menggairahkan kembali dunia teater lokal dan nasional, maka tindakan paling arif yakni mengaji terlebih dahulu perihal berbagai hambatan baik berupa persoalan internal maupun eksternal. Sekalipun tidak serumit mengaplikasikan rumusan teoritik ke dalam praktik pembangkitan kembali kehidupan teater, namun pengajian ini tidak dapat dikerjakan secara serampangan, instant, dan subyektif.
Persoalan internal yang menghambat kegairahan kehidupan teater dapat dicatat, antara lain: pertama, putusnya benang merah komunikasi dialogis antar generasi. Akibat yang ditimbulkan dari persoalan ini, generasi baru di dalam mempelajari teater serupa sekelompok anak ayam kehilangan induknya. Tidak mendapatkan pengarahan perihal bagaimana berteater yang baik. Alhasil tidak musykil, apabila setiap pementasan teater dari generasi baru selalu kedodoran dalam manajeman dan pematangan teknis pementasan. Singkat kata, pementasan di bawah standard kualitas.
Kedua, kecenderungan generasi baru di dalam berteater lebih mengutamakan pentas sebagai tujuan dari pada sebagai bagian dari proses. Akibatnya, apabila pementasan tersebut tidak memenuhi target keberhasilan yang diharapkan, perasaan frustrasi setiap person di dalam kelompok teater akan memperlemah gairah kreativitas selanjutnya. Demikian juga kalau pementasan berhasil, perasaan cepat puas akan menurunkan sikap disiplin di dalam berlatih. Dikarenakan, keberhasilan justu ditangkap sebagai candu yang memabukkan.
Ketiga, terdapat mis-interpreatasi di lingkup generasi baru di dalam menangkap hakikat teater. Teater sekadar dipandang sebagai medium pemanjaan romantisme kolektivitas, dan bukan medium pembentukan jati diri setiap person di dalam kelompok tersebut. Akibatnya, setiap latihan dan pementasan tidak akan mencapai hasil optimal. Spirit totalitas kolektif kurang tercermin baik saat latihan maupun pementasan.

Pementasan Teater Sego Gurih Yogyakarta
Adapun persoalan eksternal yang dicatat sebagai penghambat atas perkembangan kehidupan teater, yakni: pertama, kurangnya dukungan dari generasi teater senior (untuk teater sanggar), rektor, dekan, dan dosen (untuk teater kampus), dan orang tua sendiri. Hal ini dikemungkinkan waktu luang dari teaterawan senior semakin sempit. Di samping, perhatian dari sebagian besar mereka mulai tercurah pada profesi lain yang menjanjikan perbaikan masa depan keluarga dan pribadinya. Sementara kurangnya dukungan dari pihak rektor, dekan, dan dosen, serta orang tua, dikarenakan teater dianggap suatu aktivitas yang sekadar memboros-boroskan waktu percuma, di samping tidak memberikan akses konkret terhadap pemenuhan kebutuhan ekonomis di masa depan.
Kedua, kurangnya dukungan dari pihak sponsor. Bagi pihak sponsor, teater bukan suatu aktivitas kesenian yang tidak berpotensi memberikan keuntungan. Mengingat setiap pementasan teater hanya mampu mengundang audience dengan jumlah sangat terbatas. Tidak seperti event band yang digelar secara out-door. Di samping memiliki kejelasan segment pasar, pula mampu menampung kuantitas audience yang cukup besar.
Ketiga, kurangnya dukungan dari pemerintah. Sejak orde lama, teater telah diklaim sebagai medium kritik atas kebijakan pemerintah. Tidak khayal, kalau setiap pementasan teater sangat sulit mendapatkan dukungan perizinan dan terlebih finansial. Sikap anti teater yang lebih berpijak pada pertimbangan politis itu masih terasa gaungnya pada tampuk pemerintahan sekarang. Akibatnya, perkembangan teater selalu menghadapi kendala di negerinya sendiri.
Keempat, kurangnya dukungan dari publik. Laju perkembangan dunia entertainment yang ditawarkan media televisi dapat diklasifikasikan sebagai salah satu penghambat perkembangan teater. Melalui dunia entertainment, publik sudah dapat memperoleh hiburan rekreatif dan gratis ketimbang pementasan teater yang cenderung mengajaknya untuk berpikir dengan mengeluarkan uang saku buat membeli tiket masuk. Akibatnya, pementasan teater selalu sepi dari pengunjung. Kalau toh ramai-ramai, mereka hanya dari kalangan komunitasnya sendiri. Sungguh tragis!

Solusi dan Upaya Pengembangan

Pementasan Teater DTY 'Opera Kecoa'
Sesudah mengaji berbagai persoalan di muka, kita dapat merumuskan solusi dan merancang metode pengembangan teater untuk disosialisasikan secara luas dan diaplikasikan secara bertahap. Beberapa solusi yang saya tawarkan tersebut, antara lain: pertama, membangun kembali ruang-ruang komunikasi dialogis antar generasi teater. Melalui komunikasi intensif, generasi baru akan memperoleh masukan positif berupa pengarahan tentang proses berteater yang benar baik dalam latihan maupun pementasan.
Kedua, membangun interaksi dialogis antara generasi teater dengan pihak-pihak terkait semisal rektor, dekan, dosen (untuk teater kampus), dan orang tua (untuk teater sanggar). Interaksi ini guna memberikan penjelasan kepada semua pihak, bahwa teater merupakan medium pencerdasan intelektual, penajaman kepekaan batiniah, dan pemerkokoh kepribadian manusia di tengah gemuruh kehidupan yang semakin kompleks. Teater bukan alat seseorang untuk menghasilkan banyak uang.
Ketiga, melakukan pendekatan dengan pemerintah. Pendekatan ini dimaksudkan untuk memberikan penjelasan bahwa teater merupakan medium refleksi yang berperan untuk mengoreksi kehidupan personal, sosial, bangsa, negara, dan penguasanya. Koreksi ini bukan ditujukan untuk menjatuhkan pemerintah dari kursi kekuasaannya, karena teater bukan alat politis. Melainkan sebagai medium penyadaran, teater dapat dijadikan medium koreksi atas kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Keempat, melakukan pendekatan dengan publik melalui pentas keliling dari desa ke desa. Pentas yang seyogyanya dikemas dengan menarik dan tanpa biaya mahal diarahkan guna menyosialisasikan teater secara aktif di ruang apresiasi publik. Hal ini penting, mengingat teater masih diasumsikan publik sebagai konsumsi kaum menengah dan elite. Karena itu agar publik dapat menerima sosialisasi tersebut, pementasan teater tidak harus sarat bahasa simbol, absurd, dan sulit untuk dimengerti, melainkan pementasan dapat dikemas dengan gaya sampakan atau bergaya lenong, ludruk dll.

Pementasan Teater Sego Gurih Yogyakarta

Apabila keempat solusi ini dapat diterapkan di dalam upaya menghidupkan kembali kegairahan proses kreativitas di bidang teater, saya percaya teater akan memiliki peluang untuk berkembang di masa mendatang. Pengembangan yang tidak sekadar memosisikan teater sekadar sebagai medium edukatif, apresiatif, dan korektif di dalam lingkup masyarakat yang terbatas, melainkan sebagai medium rekreatif bagi masyarakat luas.

Catatan Akhir
Uraian di muka sekadar pemikiran perihal bagaimana menggeliatkan kembali gairah proses kreativitas di bidang teater sesudah menyaksikan panggung perteateran semakin sepi dari pewacanaan dari pengamatnya. Sesudah dunia teater tampak mengalami stagnasi kreativitas. Sesudah dunia teater mulai ditinggalkan insan-insan yang pernah habis-habisan behelat di dalamnya, karena tidak pernah menjanjikan kepastian masa depan. Sesudah dunia teater tidak mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah.
Pemikiran ini seyogyanya dijadikan renungan yang mengarah pada penentuan sikap bagi beberapa pihak terkait guna bertindak konkret, yakni menggairahkan kembali geliat kreativitas di bidang teater. Apapun cara, seperti penyelenggaraaan festival atau lomba teater, workshop, diskusi dll adalah baik adanya. Tindakan semacam inilah yang ditunggu-tunggu. Sebab persoalan besar buat dijawab oleh setiap insan teater bukan apa yang kita bicarakan ini, melainkan apa yang kita lakukan sesudah melihat realitas buruk di dalam dunia teater tersebut. Demikian bukan?

Sri Wintala Achmad,
Pemerhati sastra, seni, dan budaya,
Ketua Sanggar Seni Gunung Gamping Indonesia,
Tinggal di Cilacap 

Sumber Foto:
https://web.facebook.com/photo.php?fbid=10153318247728602&set=a.61707533601.70820.685808601&type=3&theater
https://web.facebook.com/photo.php?fbid=1178686712144805&set=pcb.1178686978811445&type=3&theater
https://web.facebook.com/photo.php?fbid=1177865812226895&set=pcb.1177866038893539&type=3&theater
http://www.solopos.com/2014/12/10/malam-ini-komunitas-sego-gurih-pentaskan-naskah-kup-558762
http://jogjanews.com/teater-sego-gurih-pentaskan-purik-di-padepokan-wayang-ukur-mbah-kasman
https://web.facebook.com/photo.php?fbid=10205231418894770&set=a.10205231412494610.1073742150.1525231862&type=3&theater