Entri yang Diunggulkan

INDONESIAN POEM BY BAMBANG DARTO

THE EARLY EVENING When raining the clock is damaged and the sun is dark the day has no wind when the thunder burglarizes chest my he...

Sabtu, 24 Januari 2009

SASTRA

SASTRA, BEKAL MASA DEPAN ANAK-ANAK
Oleh: Sri Wintala Achmad


Di satu sisi, sastra merupakan media manusia untuk mengekspresikan pengalaman empirik, gagasan atau perasaannya secara kreatif. Di sisi lain, sastra merupakan produk budaya atau sebagai potret peradaban manusia. Dengan demikian, seorang kreator sastra agar dapat menciptakan karya-karyanya harus memahami perihal bahasa sebagai simbol, berbagai gaya metafor, serta kaidah-kaidah lainnya yang merupakan unsur-unsur di dalam membangun nuansa estetik.
Dikala peradaban ditumbalkan guna memenuhi gaya hidup ‘modern’, sastra justru berperan di dalam kehidupan manusia baik sebagai pembaca (apresian) maupun kreator. Bagi pembaca (apresian), sastra mampu memberikan kontribusi apresiatif terhadap kandungan nilai-nilainya dan suasana rekreatif. Suasana yang sangat kontekstual dengan zaman, manakala kebutuhan hidup kian menekan. Hingga manusia terkadang dibuat gila atau bahkan tergoda untuk melakukan bunuh diri.
Bagi kreator, sastra yang berperan sebagai media pendewasaan intelektual dan emosionalnya dapat memberikan kontribusi di dalam membangun sikap arif. Sikap yang tidak berpatron pada dimensi subjektif melainkan objektif dan universal. Sikap tersebut berpotensi di dalam membangun fondamen peradaban manusia.

Pelatihan Karya Sastra
Melalui persepsi ini, maka berbagai genre produk sastra, semisal: puisi atau cerpen layak dikenalkan nilai-nilainya baik oleh para orang tua maupun pendidik kepada anak-anak. Tentu saja di dalam pengenalan ini tidak bertujuan mutlak untuk menjadikan anak-anak sebagai sastrawan (penyair/cerpenis), melainkan manusia berkepribadian atau berperadaban tinggi.


Di samping pengenalan nilai-nilai di dalam karya sastra, para orang tua atau pendidik perlu memperkenalkan proses kreatif literer kepada anak-anak. Andaikata mereka tidak sanggup, maka para kreator sastra yang seyogyanya memiliki kepedulian di dalam menyelamatkan generasi masa depan sangat diharapkan.
Berkat dukungan media massa atau lembaga-lembaga budaya milik pemerintah dan swasta, para kreator dapat memberikan pelatihan penciptaan karya sastra kepada anak-anak. Kerja pelatihan yang sangat membutuhkan metode khusus. Di mana para kreator tidak memposisikan sebagai guru berjiwa otoriter, melainkan pengasuh bijak yang memberikan pengarahan alternatif kepada anak-anak dengan berbasis hasil kreativitas.
Dalam hal ini peran media massa adalah membuka rubrik sastra untuk anak-anak. Suatu ribrik yang diharapkan memuat karya-karya hasil kerja pelatihan sastra. Tetapi redaksi hendaklah melakukan seleksi serta memberikan catatan apresiasi terhadap karya-karya yang dikirimkan. Ini akan bermanfaat bagi anak-anak di dalam meningkatkan kualitas kreatif literernya.
Sementara lembaga-lembaga budaya di dalam menopang program pelatihan penciptaan karya sastra adalah memberikan fasilitas ruang pelatihan, pengadaan tenaga pelatih dan dana penunjang. Terkait dengan hal tersebut, lembaga-lembaga budaya yang dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan hendaklah memikirkan terhadap pentingnya perealisasian program pelatihan penciptaan sastra bagi anak-anak.

Metode Pelatihan Karya Sastra
Agar anak-anak gemar mencipta karya sastra, pelatih harus merumuskan metode pelatihan yang tepat, efektif, dan mendapatkan hasil optimal. Metode yang dimaksud berbeda dengan metode pembelajaran sastra di lingkup akademis. Di mana pelatih tidak perlu menekankan teknis-teknis baku di dalam penciptaan karya sastra di dalam ruang kelas bersuasana penjara. Pelatih hendaklah membiarkan anak-anak melakukan proses kreatif sastranya di alam terbuka, seperti: taman, kaki pegunungan, sawah, pantai, tepi sungai atau ruang-ruang terbuka lainnya.


Di ruang-ruang terbuka itulah, pelatih dapat memberikan motivasi kepada anak-anak guna menuliskan perihal yang diamati, dicerap, dan direnungkannya, sebelum menuangkan ide kreartif literernya serta merevisinya. Sesudah karya dianggap sempurna, maka pelatih hendaklah memahami apa dan bagaimana anak-anak itu mengekspresikan pengalaman empiriknya melalui media sastra. Pemahaman ini yang kemudian menjadi dasar pelatih di dalam memberikan pengarahan yang menunjang proses kreatif literer anak-anak di masa mendatang.
Selain memberikan motivasi kepada anak-anak untuk menciptkan karya sastra, pelatih pula dapat memotivasi mereka guna mengirimkan karya-karyanya ke media massa. Ini dimaksudkan guna melatih anak-anak di dalam melakukan kompetisi sehat di bidang kreativitas literer, dan membangun nyali untuk mengomunikasikan karya-karyanya ke ruang apresiasi publik. Dalam jangka panjang, pempublikasian karya sastra tersebut dapat memberikan rasa percaya diri pada anak-anak manakala berada di tengah lingkungan keluarga, sekolah, pergaulan, dan di antara orang-orang baru yang masih asing di dalam lingkungan kehidupan pribadinya.
Rasa percaya diri yang dipupuk semenjak anak-anak belajar sastra tersebut niscaya menjadi bekal di dalam menyikapi berbagai persoalan pelik di dalam kehidupannya. Persoalan yang dapat dipecahkan melalui metode penulisan karya sastra. Agar mendapatkan solusinya yang tepat, maka persoalan harus dipelajari dan dipahami sebelum merumuskan langkah-langkah pemecahannya, serta mengaplikasikan rumusan tersebut di dalam kehidupan sehari-hari.
Rasa percaya diri pula dapat ditangkap sebagai modal utama anak-anak di dalam mendapatkan dua kunci keberhasilan. Pertama, kunci di dalam memupuk keahliannya yang tidak terbatas pada bidang sastra, melainkan bidang-bidang lainnya. Kedua, kunci di dalam membina hubungan kerja sama yang baik dengan pihak lain. Dengan demikian, teramat naïf apabila pelatihan sastra kepada anak-anak sekadar menjadikan mereka sebagai ahli pencipta karya sastra.

Pesan buat Orang Tua
Tidak dipersalahkan apabila masih teramat jarang atau mungkin tidak ada orang tua yang mendambakan anak-anaknya menjadi sastrawan. Sebaliknya, banyak orang tua cenderung mendambakan anak-anaknya yang disekolahkan tinggi-tinggi untuk menjadi pegawai negeri, dokter, insinyur, atau bahkan presiden. Fakta ini harap dimaklumi. Karena sastrawan yang diklaim oleh sebagian besar orang tua sebagai manusia aneh tersebut tidak memiliki masa depan emas. Bukankah sastrawan di negeri ini cenderung dianggap sebagai manusia sampah yang miskin materi?
Ditandaskan akhirnya agar orang tua tidak melarang anak-anak untuk belajar sastra yang diharapkan menjadi bekal di masa depan. Tentu saja bukan bekal untuk mendapatkan kesuksesan materi, melainkan keberhasilan di dalam memperkokoh kepribadiannya. Hingga dipahami, sastra tidak ubah api di kawah candradimuka yang bakal menggodok kepribadian jabang tetuka sebagai pembela kebenaran dan kemanusian.

Sanggar Gunung Gamping Indonesia, 09112008

Sumber Foto:
https://yunjumiati.files.wordpress.com/2011/01/100_3018.jpg
http://putusutrisna.blogspot.co.id/2014_02_01_archive.html

 

TEATER

HOLOCAUST RISING:
DI TENGAH KRISIS TEATER DAN KANIBALISME
Oleh: Sri Wintala Achmad

Tidak terpungkiri bahwa Yogyakarta telah diasumsikan banyak orang sebagai salah satu kantong seni-budaya di Indonesia. Sehingga tidak musykil kalau EMHA Ainun Nadjib pernah menggagas bahwa Yogyakarta berpotensi menjadi ibukota kebudayan. Gagasan Cak Nun tersebut sangat beralasan. Karena berbagai genre kesenian yang merupakan produk budaya telah mengalami pertumbuh-kembangan secara dinamis di kota ini. Tidak hanya seni rupa, sastra, tari, dan seni teater yang bernuansa modern, melainkan yang bernuansa etnik lokal dan nusantara dapat tumbuh subur di Yogyakarta.
Terutama dalam kehidupan seni teater. Sejauh yang saya catat, kesenian teater (mother of arts) yang kini mengalami masa lesu tersebut pernah mengalami masa kegairahannya pada dekade 70-90an. Pada masa itu, banyak kelompok teater baik yang sanggar maupun akademis (sekolah dan kampus) mengalami pertumbuh-kembangan dinamis di kota Yogyakarta.
Dinamika pertumbuh-kembangan kelompok-kelompok teater yang sangat kompetitif di dalam berproses kreatif tersebut, sekadar menyebutkan nama antara lain: Teater Alam, Teater Sanggar Bambu, Teater Dinasti, Teater Starka, Teater Jeprik, Teater Gandrik, Teater Stemka, Teater Tikar, Teater Arena, Teater Aksara, Teater Pusaka, Teater Kita-kita dll. Sementara kelompok-kelompok teater akademis, semisal: Teater Gajah Mada (UGM), Teater Unstrat (IKIP Negeri/UNY), Teater ESKA (IAIN/UIN), Teater KSP (UST), Teater Padmanaba (SMAN 3 Yogyakarta), Teater SMERO (SMEAN 2 Yogyakarta) dll.
Meskipun kehidupan perteateran di Yogyakarta pada masa pasca 2000 cenderung mengalami degradasi kuantitaf, namun tidak berarti kota ini telah sepi dari kelompok teater yang masih konsisten meningkatkan kualitas kreatifnya. Bukankah kita masih sering menangkap getar kreativitas dari beberapa kelompok teater semisal: teater Gardanala, Teater Garasi, dan Saturday Acting Club (SAC)?
What’s SAC?
SAC (Saturday Acting Club) yang berdiri sejak 2002 merupakan kelompok kajian acting yang semula bernama Saturday Acting Class. Kelompok ini merupakan sekumpulan orang yang bergelut di wilayah keilmuan teater dan secara khusus berkonsentrasi pada kajian acting serta mengekplorasi segala gaya acting dari berbagai isme.
Disebabkan kebutuhan untuk mengeksplorasi bentuk-bentuk kajian, maka SAC memutuskan untuk mulai mengekspresikan hasil tersebut ke dalam wujud pementasan teater (2006). Disepakatilah kemudian bahwa SAC untuk mengganti kata class menjadi club. Kata Saturday diambil karena kegiatan regulernya menggunakan hari Sabtu sebagai waktu pertemuan.
Keanggotaan SAC sendiri terdiri dari civitas akademika Institut Seni Indonesia dan orang-orang dari luar institusi yang mempunyai perhatian sama terhadap disiplin ilmu teater. Sampai saat ini SAC mempunyai anggota tetap yang tidak kurang dari 15 personil.
Hal yang dibanggakan, kehadiran SAC di tengah kelesuan dunia perteateran Yogyakarta telah memresentasikan karya-karyanya di ruang apresiasi publik baik di lingkup lokal (Yogyakarta) dan pusat (Jakarta). Karya-karya yang pernah ditampilkan, antara lain: Children First (Kedai Kebun/Teater Arena ISI, 2007); Smole & Ice Cream, Le Guichet, Traller HP. Zero Matrix (Kedai Kebun, 2007); Lithuania, karya Rupert Brook (Gelanggang Teater Gajah Mada/Laboratorium Teater Garasi, 2008); Beringin Soekarno (Kampus USD, 2008); Bintang Tamu Parade Teater ‘Big Days Art’ CATASTROPHE (UNY, 2008); ‘Catastrophe’ dan ‘Zero Matrix’ (Auditorium Teater ISI Yogyakarta/Sanggar Baru TIM dan Universitas Pembangunan Nasional Jakarta, 2008), dan Holocaust Rising yang dipentaskan di Taman Budaya Yogyakarta pada 14-15 Oktober 2008.

Membaca Geliat Holocaust Rising
Siapakah manusia? Banyak orang menyebutkan, manusia sebagai hamba Tuhan yang paling sempurna. Karena manusia terlahir di muka bumi telah dibekali akal budi. Namun realitasnya, banyak manusia cenderung menggunakan nafsu purbani (kebinatangan)-nya, hingga kehidupan yang beradab hanya menjadi mimpi kaum moralis. Hingga kehidupan tidak ubah arena pertikaian antar manusia berjiwa binatang yang menempatkan kepentingan pribadinya di atas kepentingan sesama.
Persepsi yang berpijak pada realitas sosial yang mulai memberhalakan spirit kanibalisme tersebut telah dilukiskan Rossa R. Rosadi (penulis scenario dan sekaligus sutradara) ke dalam pertunjukan teater komtemporer ‘Holocaust Rising’. Melalui pementasan teater yang cenderung mengeksplorasi unsur gerak (tari), posture, monolog ketimbang dialog, Rossa memresentasikan hasil amatan dan cerapan yang diendapkan terhadap fenomena sosial di depan publik (Taman Budaya Yogyakarta, 14-15 Oktober 2008).
Hal yang menarik di mata saya, Rossa tidak hanya melukiskan spirit kanibalisme dari sekelompok orang tolol yang lebih menggunakan power of physic ketimbang power of intelligence, melainkan pula dari sekelompok manusia cerdas yang memilih senyuman manis sebagai pisau lipat buat menikam lawan dari belakang. Pengertian lain, pengkhianaan cerdas telah dipilih oleh kaum kanibal modern (kapitalis) sebagai senjata mematikan.
Dari dimensi ide, Rossa layak diacungi jempol. Karena Rossa telah sanggup memresentasikan kritik sosialnya itu melalui bentuk pementasan teater yang tidak lazim. Namun dari sisi teknik permainan, masih banyak yang harus dibenahi. Terutama kelenturan komposisi, dinamika grafik permainan dan olah vokal dari sebagian pemain yang tidak jelas artikulasinya. Hingga audience yang tidak gamlang mendengar monolog dan dialog antar pemain niscaya gagal menangkap gagasan Rossa.
Meskipun demikian, seluruh anggota SAC layak mendapat penghargaan. Karena nama-nama pemain, semisal: Jamal Abdul Naser, Surie Inalia, Moh. Djunaedi Lubis, Ratna Aniswati, Nanik Endarti, Mariya Yulita Sari, Shanti, Intan Kumalasari, Wheni Black Out dll telah melakukan proses latihan yang sangat optimal. Totalitas latihan di dalam dunia teater memang penting.
Namun totalitas latihan yang tidak disertai dengan metode yang benar, serta pemanfaatan waktu yang efektif hanya akan menghabiskan energi para pemain pada saat pementasan. Hingga image yang muncul di benak audience, pementasan kurang berhasil!

Sekadar Catatan Penutup
Pementasan SAC di dalam pementasan teater ’Holocaust Rising’ yang mendapatkan dukungan TBY tersebut membuktikan bahwa kelompok teater belum punah di Yogyakarta. Meskipun saya tetap memrihatinkan, kuantitas kelompok teater di kota ini dapat dihitung dengan jari. Masalah ini seyogyanya mendapatkan perhatian dan tindakan konkret dari berbagai pihak guna menumbuh-kembangkan kembali atas kuantitas kelompok teater sebagaimana dekade 70-90an.
Selain itu, event pementasan SAC tersebut sanggup membenahi citra TBY sebagai penopang penumbuh-kembangan (kalau tidak mau disebut penyelamatan dari krisis) seni teater di Yogyakarta. Karena sebagai lembaga pemerintah, TBY tidak hanya memberikan fasilitas gedung sebagai tempat latihan dan pementasan, melainkan pula pendanaan. Sekalipun diakui, terealisasinya dan gaung pementasan tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran berbagai pihak yang terkadang tidak mau disebutkan namanya.

Sri Wintala Achmad
Tinggal di Cilacap