Entri yang Diunggulkan

INDONESIAN POEM BY BAMBANG DARTO

THE EARLY EVENING When raining the clock is damaged and the sun is dark the day has no wind when the thunder burglarizes chest my he...

Kamis, 11 Desember 2008

BUDAYA TRADISI

MENANGKAP NILAI ADILUHUNG EVENT RITUAL YAAQAWIYYU
Oleh: Sri Wintala Achmad


Di dalam mayasarakat Jawa, Sapar telah dianggap bulan paling selaras untuk melakukan upacara tradisi bersih desa Saparan. Upacara bersih desa tersebut tidak hanya diselenggarakan di beberapa tlatah Ngayogyakarta, seperti di Gamping (Bekakak), Wonolela (Sebaran Apem), atau di Wonokromo (Rebo Pungkasan), melainkan pula di tlatah Jawa Tengah semisal di Pengging, Jatinom-Klaten dll.
Yaaqawiyyu merupakan upacara tradisi Saparan Sebaran Apem di Jatinom-Klaten yang cukup menarik apabila ditilik dari nilai kultural, makna spiritual, serta pengemasan performance-nya. Hingga ketiga unsur tersebut senantiasa menjadi daya dorong bagi masyarakat dengan berlatar belakang kepentingan guna menghadiri upacara tradisi Saparan Yaaqawiyyu yang diselenggarakan setahun sekali.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, hari pertama pelaksanaan Upacara Tradisi Saparan Yaaqawawiyyu dipusatkan di halaman Majid Ageng Ki Ageng Gribig. Di tempat tersebut, sepasang gunungan apem yang diusung dari kantor kecamatan Jatinom serta mendapatkan iringan kirab agung diserahkan oleh pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kepada pemeraga Kiageng Gribig. Kemudian gunungan apem tersebut diinapkan semalam di pendhapa milik R. Soebakdi Soesilowidagdo (ahli waris Ki Ageng Gribig).
Hari ke dua yang merupakan puncak acara Yaaqawiyyu dipusatkan di lembah yang berada di sebelah selatan Masjid Ageng Ki Ageng Gribig. Di lembah yang dibatasi sungai di sebelah selatannya, goa dan sendang Suran di sebelah timurnya, serta sendang Klampeyan di sebelah utaranya, ribuan pengunjung mulai berjubelan semenjak fajar untuk memperebutkan apem-apem yang dilempar oleh para pengageng dan panitia berseragam santri (sorban, baju warna putih, dan sarung) dari puncak dua menara.
Selapas Dluhur, gunungan apem yang diusung dengan melewati jubelan pengunjung dari pendapa menuju lembah tersebut disebarkan. Hingga luncuran apem-apem di angkasa mengingatkan hujan meteorit yang pernah terjadi di Indonesia pada beberapa tahun silam. Meteorit berkah yang ditaburkan Tuhan dari langit bagi seluruh umat-Nya di planit bumi. Sekelompok manusia pendamba berkah yang bakal memberikan kekuatan lahir serta batin.


Nilai dan Makna
Bersumber dari buku panduan Upacara Tradisi Saparan Yaaqawiyyu, bahwa Ki Ageng Gribig yang mendapatkan kue apem dari Mekah tersebut tidak cukup dibagikan untuk keluarga dan sanak-saudaranya. Karenanya, Ki Ageng meminta kepada istrinya untuk membuat kue apem untuk diberikan kepada sanak-saudaranya tanpa memandang perbedaan kelas.
Ajaran cinta kasih Islam yang dipraktikkan Ki Ageng Gribig inilah menjadi landasan dasar pelaksanaan Upacara Tradisi Saparan Yaaqawiyyu di Jatinom-Klaten. Dengan demikian, Yaaqawiyyu selain memiliki nilai kultural pula memiliki makna spiritual di dalam membangun jiwa cinta-kasih manusia kepada sesamanya. Hanya dengan mencinta-kasihi sesamanya, maka manusia membuktikan dirinya telah mencinta-kasihi Tuhan Sang Penebar Berkah.
Tidak heran kalau dalam perkembangannya hubungan cinta-kasih manusia dengan sesamanya atau seluruh manusia dengan Tuhan telah disimbolisasikan di dalam Yaaqawiyyu melalui pengiraban sepasang gunungan apem (gunungan lanang berbentuk lingga serta gunungan wadon berbentuk yoni) dari kecamatan Jatinom menuju Masjid Ageng Ki Ageng Gribig. Dikirabkan lantraran pemahaman bahwa hubungan dinamis cinta-kasih antara gunungan lanang yang bermakna bapa angkasa, jagad ageng, makrokosmis atau Tuhan Kang Hamurbeng Jagad dengan gunungan wadon yang berarti ibu pertiwi, jagad alit, mikrokosmis, atau makhluk penghuni bumi layak diwartakan secara luas kepada seluruh masyarakat.
Melalui hubungan dinamis cinta-kasih antar kosmis, kelangsungan hidup penuh damai di jagad raya ini dapat terealisasi. Karenanya. Yaaqawiyyu dapat dimaknai sebagai media dakwah Islamiah yang cukup cerdas di dalam memulihkan krisis spiritual manusia. Dinyatakan cerdas, dakwah tersebut tidak perlu disampaikan melalui bahasa oral yang bertele-tela. Melainkan melalui bahasa simbol yang dapat ditangkap oleh setiap manusia cerdas dengan sepenuh rasa serta akal-budinya.
Di samping itu, sebaran apem di lembah dapat memicu pemahaman perihal misteri manakala berkah ditaburkan Tuhan dari langit ke muka bumi. Banyak orang telah bekerja keras untuk berebut berkah, namun banyak yang tidak mendapatkannya. Banyak orang yang tidak berebut, namun dapat memperoleh berkah yang banyu mili (mengalir tanpa henti) dari Tuhan. Inilah misteri yang menyarankan manusia untuk senantiasa sabar dan berfikiran positif, bahwa Tuhan di dalam membagi berkah kepada seluruh umat-Nya tidak lepas dengan faktor mangsa-kala (waktu), papan (tempat), serta jatah.

Catatan Membangun
Bepijak pada pemikiran di muka, maka pelaksanaan Upacara Tradisi Bersih Desa Saparan Yaaqawiyyu hendaklah lebih diarahkan sebagai media tuntunan (edukatif) spiritual bagi masyarakat. Bukan sebaliknya, Yaaqawiyyu sekadar menjadi media tontonan (rekreatif) yang berorientasi pada kepentingan bisnis pariwista. Suatu bisnis yang lebih memposisikan keuntungan finansial sebagai target akhirnya ketimbang menjaga nilai atau makna produk budaya tersebut.
Peran sponsor memang dibutuhkan di dalam menopang pendanaan pelaksanaan Yaaqawiyyu. Meskipun demikian, panitia harus memberikan batasan wilayah di dalam memajang media promosinya, seperti baliho, spanduk, umbul-umbul, atau t-shirt panitia. Tempat-tempat semisal Masjid Alit atau Masjid Ageng Ki Ageng Gribig serta lembah yang dijadikan ajang penyebaran apem harus dihindarkan dari media promosi. Hal ini guna menjaga sakralitas serta menghindari klaim negatif masyarakat bahwa Yaaqawiyyu tidak lagi dimaknai sebagai peristiwa budaya, melainkan sebagai gelar produk industri yang sekadar mengabdi kepentingan pasar, selera konsumen, serta berorientasi pada keuntungan finansial.
Agar target pelaksanaan Yaaqawiyyu sebagai media di dalam membangun spiritualitas manusia dapat tercapai, beberapa aktivitas seni-budaya pendukung baik berlatar-belakang Jawa maupun Islam harus dijaga keberlangsungannya. Pemikiran ini layak dikemukakan. Mengingat gelar macapatan bernilai edukasi spiritual yang dikoordinir Almarhum KRT. Surya Puspa Hadinegara (RPA. Suryanto Sastroatmodjo) pada malam inap sepasang gunungan apem di pendhapa tersebut kini hanya tercatat di lembar buku kenangan.
Ditandaskan agar catatan ini hendaklah ditangkap sebagai bahan permenungan bagi semua pihak terkait. Tidak hanya panitia, pemerintah setempat, melainkan semua masyarakat yang masih berkenan menjaga kemurnian visi-misi pelaksanaan Upacara Tradisi Bersih Desa Saparan Yaaqawiyyu sebagai media membangun spiritualitas manusia dengan berorientasikan pada pesan moral Ki Ageng Gribig. Ini merupakan langkah arif bagi generasi Jawa di dalam menjaga amalan mikul dhuwur mendhem jero (menghormati) terhadap leluhurnya yang telah bersemayam damai di alam keabadiannya.

Sri Wintala Achmad,
Pemerhati sastra, seni-budaya, dan sosial,
Ketua Sanggar Seni Gunung Gamping Indonesia,
Tinggal di Cilacap 

sumber foto:
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEibUXOQUqlpvqxK8gKCQDtfHgFs3BoAbBFHXEY7LPvFCykY2be7Vyc8Kn7AhRfCcKAAcbng04zXrC37VFEggH0_q6veHsjZC2t_wgG_JK3cPVvNHxR59QYs3dRUzXz1d3KgoOa6DinH4KE/s1600/82dbb807ee7e877d589656a79b5e960b.JPG
http://www.timlo.net/baca/68719522921/tahun-ini-pengunjung-tradisi-saparan-yaqowiyu-bebas-retribusi/
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar