SASTRAWAN, IBU KANDUNG SANG GURU ZAMAN
Sri Wintala
Achmad
Nut
jaman kelakone (Menyelaraskan dengan zaman yang terjadi). Demikian ungkapan
para sesepuh Jawa yang sering penulis dengar, manakala memberikan saran kepada
generasinya atas perkembangan zaman. Diibaratkan seorang biduan, generasi yang
berhasil di dalam membawakan lagu kehidupan hingga nada terakhir (kematian)-nya
harus mampu menyesuaikan irama zaman.
Laikkah
ungkapan semacam itu dijadikan orientasi oleh setiap manusia tanpa kecuali
selama menjalani profesinya? Persepsi tersebut selanjutnya akan penulis jadikan
rujukan untuk menilik kehidupan para sastrawan Indonesia selama menjalani
profesinya di bidang sastra. Tidak hanya kaum novelis atau cerpenis. Melainkan
pula bangsa penyair yang puisi- puisinya kian hari dianak-tirikan oleh media
massa dan penerbit. Tidak hanya mereka yang tingggal di pusat (baca: Jakarta).
Akan tetapi mereka yang masih setia tinggal di daerah, seperti di Yogyakarta,
Bandung, Malang, Lampung, Makasar, Bali dll.
Para
sastrawan boleh bangga manakala kehidupan sastra tidak hanya ditopang oleh
banyak media massa. Para pengusaha penerbitan pun mulai membuka tangan untuk
mempublikasikan karya sastra, terutama yang berbau teenlit atau ciklit.
Lantaran karya-karya yang cenderung bersifat rekreatif tersebut amat diminati
publik. Sebagaimana sinetron, lawak, atau entertainment lain yang ditayangkan
oleh seluruh stasiun televisi baik nasional maupun lokal di Indonesia.
Lebih
membanggakan lagi, karya sastra tidak melulu ditulis oleh para sastrawan. Fakta
menunjukkan banyak kaum selebritis tertarik menulis karya sastra untuk
diterbitkan dalam bentuk buku. Hingga kesan yang muncul di permukaan, kehidupan
sastra di Indonesia menghiruk-pikuk sebagaimana lalu-lalang kendaraan di
Jakarta. Saling berburu dan mendahului. Demi ambisi mengambil posisi di garis
depan. Meskipun itu harus ditempuh melalui jalan pintas yang sangat insant.
Fenomena
kegairahan sebagian sastrawan atau kaum selebritis di dalam mendukung
perkembangan sastra teenlit atau ciklit sesungguhnya bukan masalah. Di zaman
yang tengah sarat persoalan politik, ekonomi, dan bahkan bencana alam; sastra
teenlit atau ciklit berpotensi besar sebagai angin segar buat mengendorkan otak
di kepala. Publik sudah butuh rekreasi, harapan dan mimpi baru yang berkhasiat
buat mengalpakan sejenak segala persoalan. Kemelut krisis politik, ekonomi, dan
bencana alam yang melanda kehidupan manusia telah ditangkap oleh para produsen
(baca: penulis) sastra teenlit atau ciklit sebagai peluang emas dalam menggali
sumber penghasilan alternatif atau eksistensi. Lantaran banyak penerbit
bersedia mempublikasikan (medistribusikan) karya-karya semacam itu di pasaran.
Jangan heran kemudian kalau kita memasuki toko buku, karya-karya teenlit dan
ciklit yang dilahirkan oleh sebagian sastrawan atau kaum seleberitis, serta
penulis new comer mendominasi rak-rak sastra!
Sekali
lagi bukan masalah! Dikarenakan hal itu merupakan upah mereka yang mampu
membaca peluang dari dalam angkutan zaman di tengah kesemrawutan lalu-lintas
kehidupan. Akan tetapi hal menarik untuk digali dari balik persoalan tersebut,
yakni motivasi apa yang melatar-belakangi para produsen sastra teenlit atau
ciklit? Jenang (kebutuhan ekonomis)? Jeneng (popularitas)? Keduanya? Atau
motivasi lain, di mana penulis tidak mampu menangkapnya?
Suatu
pertanyaan membutuhkan jawaban. Sekalipun penulis sadar, bahwa terdapat pertanyaan
yang tidak memerlukan jawaban. Lantaran pertanyaan itu sudah mengandung
jawabannya. Sembari menunggu jawaban, penulis akan menguraikan tiga motivasi
dasar yang melatar-belakangi seorang penulis sastra melahirkan karya-karyanya,
yakni: jenang, jeneng, dan idealisme.
Pertama
, jenang (kebutuhan ekonomis). Motivasi ini menjadi pemicu penulis sastra di
dalam menciptakan karya-karyanya, manakala kebutuhan ekonomi diposisikan lebih
tinggi dari ambisi popularitas dan nilai kualitatif karya. Karenanya, penulis
tersebut harus jeli di dalam menyesuaikan tema karya dengan selera pasar.
Alhasil, karya yang diciptakan tidak sekadar sebagai penghuni manis sebuah
laci, melainkan rak-rak buku sastra di toko buku. Di sana, penulis berharap
karya-karya yang dibukukan dengan kemasan cover dan judul memikat itu agar
dibeli dan dibaca konsumennya.
Kedua
, jeneng (popularitas). Motivasi ini biasanya melatar-belakangi para penulis
yang lebih berorientasi pada faktor popularitas ketimbang ekonomi atau
idealisme. Mengingat kebutuhan ekonomis mereka sudah tercukupi. Bahkan untuk
menopang pempublikasian karya yang diharapkan mampu melejitkan popularitas di
ruang publik, mereka tidak tanggung-tanggung merogoh kocek dari dompet.
Ketiga,
idealialisme. Motivasi ini biasanya dimiliki oleh sebagian sastrawan yang
cenderung memperjuangkan nilai kualitatif, apresiatif, dan edukatif karya
ketimbang nilai nominal atau pencapaian popularitas. Bagi mereka, karya sastra
merupakan prasasti bernilai edukatif di tengah kesemrawutan lalu-lalang
kehidupan yang cenderung memanjakan kepuasan fisikal manusia ketimbang
pemenuhan kebutuhan spiritual.
Selain
sebagai media ekspresi atas pengalaman empirik atau imajinatif, karya sastra
dapat dijadikan alat pencapaian jeneng, jenang, atau idealisme seorang
sastrawan atau penulis sastra. Hingga pendapat orang yang menyatakan karya
sastra dengan segala genrenya tidak sekudus ayat-ayat kitab suci dapat
dibenarkan.
Sekalipun
demikian, penulis tetap menghargai motivasi sebagian sastrawan yang menciptakan
karya-karya sastra senantiasa berorientasi untuk senantiasa memperjuangkan
nilai-nilai kualitatif, apresiatif, dan edukatifnya. Sikap penulis yang
menghargai sebagian sastrawan ideal tersebut seyogyanya tidak diartikan dengan
menafikan jerih payah para penulis sastra teenlit atau ciklit. Mengingat para
sastrawan ideal tersebut telah berjuang secara konsisten di dalam menjaga
kemurnian peran sastra sebagai medium edukatif bagi publik. Spirit perjuangan
yang terus berkobar di dalam jiwanya senantiasa diposisikan lebih tinggi ketimbang
upaya pencapaian popularitas dan ekonomi.
Para
sastrawan ideal bukan sekelompok pahlawan yang wajib dicatat dengan tinta emas
di dalam buku sejarah tokoh dunia, nasional, atau regional. Namun dari mereka
kita termotivasi untuk tetap menjaga darah dan napas penciptaan karya-karya
sastra yang abadi. Dari mereka, kita dapat menentukan motivasi mana yang layak
dipilih selama menekuni proses kreatif di bidang sastra.
Melalui
spirit perjuangan mereka, kita dapat menentukan sikap yang musti mengarahkan
karya sastra sebagai guru dan bukan korban zaman (selera pasar). Sikap ini
seyogyanya ditempuh, kalau sastrawan tidak mau diklaim sebagai produsen
(pabrikan) karya sastra. Akan tetapi, kreator yang senantiasa menciptakan
karya-karyanya dengan motivasi untuk selalu mengekspresikan interpretasi baru
terhadap pengalaman empirik dan imajinatifnya. Hal ini yang selayaknya
diberikan kepada publik manakala zaman dalam kondisi sakit. Irama zaman belum berakhir. Lagu kehidupan
manusia masih bergaung. Karya sastra yang ditulis sastrawan atau penulis sastra
masih turut mewarnai di dalamnya.
Sebagaimana
di dalam taman bunga, karya sastra diibaratkan setangkai kembang yang
semustinya tidak sekadar menyegarkan saat dinikmati. Karya sastra harus menjadi
medium inpirasi edukatif bagi publik. Sekelompok kekupu atau kumbang yang
berterbangan merindu madu bunga sastra.
Apa
yang penulis sampaikan ini hanya sebuah harapan. Agar sastrawan tulen tetap
kokoh pada prinsip sebagai ibu kandung sang guru zaman. Bukan korban zaman yang
turut memanjakan publik ke dalam bilik harapan atau mimpi berkepanjangan. Bukan
penuang alkohol memabukkan bagi publik. Sekelompok insan yang seharusnya tidak
diajarkan lari dari realitas, tertawa dengan airmata, atau membusungkan dada
sekalipun dengan jiwa koyak. Berdosa!!!