Entri yang Diunggulkan

INDONESIAN POEM BY BAMBANG DARTO

THE EARLY EVENING When raining the clock is damaged and the sun is dark the day has no wind when the thunder burglarizes chest my he...

Rabu, 16 Desember 2015

SASTRA



SASTRAWAN, IBU KANDUNG SANG GURU ZAMAN
Sri Wintala Achmad

Nut jaman kelakone (Menyelaraskan dengan zaman yang terjadi). Demikian ungkapan para sesepuh Jawa yang sering penulis dengar, manakala memberikan saran kepada generasinya atas perkembangan zaman. Diibaratkan seorang biduan, generasi yang berhasil di dalam membawakan lagu kehidupan hingga nada terakhir (kematian)-nya harus mampu menyesuaikan irama zaman.
Laikkah ungkapan semacam itu dijadikan orientasi oleh setiap manusia tanpa kecuali selama menjalani profesinya? Persepsi tersebut selanjutnya akan penulis jadikan rujukan untuk menilik kehidupan para sastrawan Indonesia selama menjalani profesinya di bidang sastra. Tidak hanya kaum novelis atau cerpenis. Melainkan pula bangsa penyair yang puisi- puisinya kian hari dianak-tirikan oleh media massa dan penerbit. Tidak hanya mereka yang tingggal di pusat (baca: Jakarta). Akan tetapi mereka yang masih setia tinggal di daerah, seperti di Yogyakarta, Bandung, Malang, Lampung, Makasar, Bali dll.
Para sastrawan boleh bangga manakala kehidupan sastra tidak hanya ditopang oleh banyak media massa. Para pengusaha penerbitan pun mulai membuka tangan untuk mempublikasikan karya sastra, terutama yang berbau teenlit atau ciklit. Lantaran karya-karya yang cenderung bersifat rekreatif tersebut amat diminati publik. Sebagaimana sinetron, lawak, atau entertainment lain yang ditayangkan oleh seluruh stasiun televisi baik nasional maupun lokal di Indonesia.
Lebih membanggakan lagi, karya sastra tidak melulu ditulis oleh para sastrawan. Fakta menunjukkan banyak kaum selebritis tertarik menulis karya sastra untuk diterbitkan dalam bentuk buku. Hingga kesan yang muncul di permukaan, kehidupan sastra di Indonesia menghiruk-pikuk sebagaimana lalu-lalang kendaraan di Jakarta. Saling berburu dan mendahului. Demi ambisi mengambil posisi di garis depan. Meskipun itu harus ditempuh melalui jalan pintas yang sangat insant.
Fenomena kegairahan sebagian sastrawan atau kaum selebritis di dalam mendukung perkembangan sastra teenlit atau ciklit sesungguhnya bukan masalah. Di zaman yang tengah sarat persoalan politik, ekonomi, dan bahkan bencana alam; sastra teenlit atau ciklit berpotensi besar sebagai angin segar buat mengendorkan otak di kepala. Publik sudah butuh rekreasi, harapan dan mimpi baru yang berkhasiat buat mengalpakan sejenak segala persoalan. Kemelut krisis politik, ekonomi, dan bencana alam yang melanda kehidupan manusia telah ditangkap oleh para produsen (baca: penulis) sastra teenlit atau ciklit sebagai peluang emas dalam menggali sumber penghasilan alternatif atau eksistensi. Lantaran banyak penerbit bersedia mempublikasikan (medistribusikan) karya-karya semacam itu di pasaran. Jangan heran kemudian kalau kita memasuki toko buku, karya-karya teenlit dan ciklit yang dilahirkan oleh sebagian sastrawan atau kaum seleberitis, serta penulis new comer mendominasi rak-rak sastra!
Sekali lagi bukan masalah! Dikarenakan hal itu merupakan upah mereka yang mampu membaca peluang dari dalam angkutan zaman di tengah kesemrawutan lalu-lintas kehidupan. Akan tetapi hal menarik untuk digali dari balik persoalan tersebut, yakni motivasi apa yang melatar-belakangi para produsen sastra teenlit atau ciklit? Jenang (kebutuhan ekonomis)? Jeneng (popularitas)? Keduanya? Atau motivasi lain, di mana penulis tidak mampu menangkapnya?
Suatu pertanyaan membutuhkan jawaban. Sekalipun penulis sadar, bahwa terdapat pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. Lantaran pertanyaan itu sudah mengandung jawabannya. Sembari menunggu jawaban, penulis akan menguraikan tiga motivasi dasar yang melatar-belakangi seorang penulis sastra melahirkan karya-karyanya, yakni: jenang, jeneng, dan idealisme.
Pertama , jenang (kebutuhan ekonomis). Motivasi ini menjadi pemicu penulis sastra di dalam menciptakan karya-karyanya, manakala kebutuhan ekonomi diposisikan lebih tinggi dari ambisi popularitas dan nilai kualitatif karya. Karenanya, penulis tersebut harus jeli di dalam menyesuaikan tema karya dengan selera pasar. Alhasil, karya yang diciptakan tidak sekadar sebagai penghuni manis sebuah laci, melainkan rak-rak buku sastra di toko buku. Di sana, penulis berharap karya-karya yang dibukukan dengan kemasan cover dan judul memikat itu agar dibeli dan dibaca konsumennya.
Kedua , jeneng (popularitas). Motivasi ini biasanya melatar-belakangi para penulis yang lebih berorientasi pada faktor popularitas ketimbang ekonomi atau idealisme. Mengingat kebutuhan ekonomis mereka sudah tercukupi. Bahkan untuk menopang pempublikasian karya yang diharapkan mampu melejitkan popularitas di ruang publik, mereka tidak tanggung-tanggung merogoh kocek dari dompet.
Ketiga, idealialisme. Motivasi ini biasanya dimiliki oleh sebagian sastrawan yang cenderung memperjuangkan nilai kualitatif, apresiatif, dan edukatif karya ketimbang nilai nominal atau pencapaian popularitas. Bagi mereka, karya sastra merupakan prasasti bernilai edukatif di tengah kesemrawutan lalu-lalang kehidupan yang cenderung memanjakan kepuasan fisikal manusia ketimbang pemenuhan kebutuhan spiritual.
Selain sebagai media ekspresi atas pengalaman empirik atau imajinatif, karya sastra dapat dijadikan alat pencapaian jeneng, jenang, atau idealisme seorang sastrawan atau penulis sastra. Hingga pendapat orang yang menyatakan karya sastra dengan segala genrenya tidak sekudus ayat-ayat kitab suci dapat dibenarkan.
Sekalipun demikian, penulis tetap menghargai motivasi sebagian sastrawan yang menciptakan karya-karya sastra senantiasa berorientasi untuk senantiasa memperjuangkan nilai-nilai kualitatif, apresiatif, dan edukatifnya. Sikap penulis yang menghargai sebagian sastrawan ideal tersebut seyogyanya tidak diartikan dengan menafikan jerih payah para penulis sastra teenlit atau ciklit. Mengingat para sastrawan ideal tersebut telah berjuang secara konsisten di dalam menjaga kemurnian peran sastra sebagai medium edukatif bagi publik. Spirit perjuangan yang terus berkobar di dalam jiwanya senantiasa diposisikan lebih tinggi ketimbang upaya pencapaian popularitas dan ekonomi.
Para sastrawan ideal bukan sekelompok pahlawan yang wajib dicatat dengan tinta emas di dalam buku sejarah tokoh dunia, nasional, atau regional. Namun dari mereka kita termotivasi untuk tetap menjaga darah dan napas penciptaan karya-karya sastra yang abadi. Dari mereka, kita dapat menentukan motivasi mana yang layak dipilih selama menekuni proses kreatif di bidang sastra.
Melalui spirit perjuangan mereka, kita dapat menentukan sikap yang musti mengarahkan karya sastra sebagai guru dan bukan korban zaman (selera pasar). Sikap ini seyogyanya ditempuh, kalau sastrawan tidak mau diklaim sebagai produsen (pabrikan) karya sastra. Akan tetapi, kreator yang senantiasa menciptakan karya-karyanya dengan motivasi untuk selalu mengekspresikan interpretasi baru terhadap pengalaman empirik dan imajinatifnya. Hal ini yang selayaknya diberikan kepada publik manakala zaman dalam kondisi sakit.  Irama zaman belum berakhir. Lagu kehidupan manusia masih bergaung. Karya sastra yang ditulis sastrawan atau penulis sastra masih turut mewarnai di dalamnya.
Sebagaimana di dalam taman bunga, karya sastra diibaratkan setangkai kembang yang semustinya tidak sekadar menyegarkan saat dinikmati. Karya sastra harus menjadi medium inpirasi edukatif bagi publik. Sekelompok kekupu atau kumbang yang berterbangan merindu madu bunga sastra.
Apa yang penulis sampaikan ini hanya sebuah harapan. Agar sastrawan tulen tetap kokoh pada prinsip sebagai ibu kandung sang guru zaman. Bukan korban zaman yang turut memanjakan publik ke dalam bilik harapan atau mimpi berkepanjangan. Bukan penuang alkohol memabukkan bagi publik. Sekelompok insan yang seharusnya tidak diajarkan lari dari realitas, tertawa dengan airmata, atau membusungkan dada sekalipun dengan jiwa koyak. Berdosa!!!

SASTRA



FACEBOOK, MEDIUM INTERAKSI KULTURAL
DAN PEMPUBLIKASIAN PUISI
Sri Wintala Achmad


Tertarik pada persepsi salah seorang kawan tentang produk teknologi internet yang belakangan ini semakin banyak penggunanya. Baginya, arah kegunaan internet sangat tergantung pada penggunanya. Bagi pengguna bermoral jahat, internet cenderung dimanfaatkan untuk memenuhi tujuan kejahatannya, semisal: penyebaran virus, pemasangan situs porno, penyebaran informasi tentang ajaran beraliran sesat yang sangat bertentangan dengan ajaran dari berbagai agama syah di Indonesia. Bagi pengguna berjiwa arif dan cerdas, internet sangat bermanfaat untuk memperluas cakrawala pengetahuan, meningkatkan usaha yang digelutinya, mengembangkan jaringan perkawanan yang mengarah pada pencapaian keberhasilan usaha, memperluas cakrawala pengetahuan, dll.
Tidak seorang dapat menolak kebenaran atas persepsi kawan saya tentang internet tersebut. Sekarang tinggal sejauh mana sikap pengguna di dalam memanfaatkan internet. Mengingat kegunaan internet yang merefleksikan peradaban (sekaligus kebiadaban) zaman tersebut sangat tergantung pada penggunanya.

Facebook bukan Sekadar Medium Mencari Teman
Teringat persepsi salah seorang kawan tentang kegunaan internet, teringat pula saya pada kegunaan facebook yang diluncurkan oleh Mark Zulkerberg pada tanggal 4 Februari 2004. Facebook yang merupakan salah satu medium mencari dan memperluas jaringan perkawanan tersebut sekarang tidak hanya digunakan oleh mahasiswa Harvard, melainkan pula oleh sebagian masyarakat dunia.
Terlepas dari sifat negatifnya, facebook memiliki kegunaan besar bagi pengguna internet yang bersikap arif dan cerdas. Mengingat facebook yang bukan sekadar untuk mencari dan memperluas jaringan perkawanan tersebut dapat dijadikan sebagai medium tukar-menukar informasi dan gagasan positif antara pengguna satu dengan pengguna lainnya. Terutama bagi pengguna yang memiliki perhatian khusus terhadap kebudayaan, facebook dapat menopang kelancaran interaksi kultural baik di lingkup lokal, nasional, maupun internasional.
Kesadaran di lingkup insan budaya terhadap kegunaan positif facebook di dalam menopang interaksi kultural tersebut merupakan kebanggaan tersendiri. Karenanya saya tidak berdecak kagum kalau banyak pelaku budaya dari berbagai daerah di Indonesia telah menjadi pengguna facebook.
Kesempurnaan pun terbentuk ketika banyak redaktur budaya dari beberapa media massa cetak di Indonesia turut mengambil bagian di dalamnya. Apa yang saya ungkapkan ini sekadar mengukuhkan kebenaran pendapat, bahwa facebook telah menjadi salah satu medium interaksi kultural alternatif, manakala para pelaku budaya semakin hari tidak memiliki waktu cukup untuk berkumpul di tempat-tempat tertentu seperti tempo dulu. Di samping itu, berinteraksi kultural via facebook terbukti lebih murah dan sangat efektif.

Facebook, Medium Publikasi Sastra (Puisi) Alternatif
Sungguh naif apabila facebook hanya digunakan sebagai medium tegur-sapa antar sastrawan (terutama, penyair) yang tidak mendatangkan manfaat apapun. Mengingat facebook juga dapat dijadikan medium publikasi alternatif terhadap karya sastra (puisi) melalui grup-grup yang berkategori ‘Book and Literature’. Adapun grup-grup yang dapat dimasuki oleh setiap pengguna yang memiliki perhatian khusus terhadap puisi, antara lain: Facebook’s Poet & Writers Registry, 2:00 a.m, A Poetry Group, Poetry, Khalil Gibran, Samuel Beeket, Rumi, Writers, dll.
Diakui bahwa facebook sebagai medium publikasi alternatif, dikarenakan madia massa cetak di Indonesia yang masih bersedia mempublikasikan puisi tersebut belum mampu memberikan kepuasan bagi para penyair. Karena di samping penyair harus antri atas pemuatan karyanya, media massa cetak hanya menyediakan kolom puisi yang sangat terbatas.
Peluang yang diberikan facebook pada penyair seharusnya dimanfaatkan seoptimal mungkin. Karena itu, penyair tidak perlu menunggu waktu untuk mentranslasi puisi-puisinya ke dalam bahasa Inggris. Hal ini dimaksudkan agar puisi-puisi tersebut dapat diapresiasi oleh pengguna facebook (pemerhati puisi) dari berbagai negara di dunia. Alhasil sebagian masyarakat dunia akan mengetahui, bahwa Indonesia pula memiliki penyair yang dapat diperhitungkan kualitasnya di tingkat dunia.

Sekadar Catatan Akhir
Perkembangan teknologi informasi internet yang telah disikapi Mark dengan peluncuran facebook sebagai medium mencari dan memperluas jaringan perkawanan niscaya memiliki kegunaan ganda selama penggunanya dapat memperlakukannya secara arif dan cerdas. Di samping manfaat facebook yang sangat besar tersebut tidak hanya dinikmati oleh sebatas masyarakat barat, melainkan masyarakat timur. Tidak ketinggalan masyarakat Indonesia yang di dalamnya para pelaku budaya dan sastrawan (penyair).
Sudah bukan waktunya, para pelaku budaya dan sastrawan (penyair) sebagai sekelompok insan anti internet yang dapat menopang kelancaran interaksi kultural dan pempublikasian karya sastra (puisi) melalui facebook. Di samping musti disadari, bahwa facebook dapat dijadikan salah satu kunci pembuka tempurung kekatakan kita yang berhasrat besar ingin melihat luasnya dunia.

Sri Wintala Achmad,
Pemerhati budaya dan pengguna facebook
Tinggal di Cilacap, Jawa Tengah

Sumber Foto:
http://www.business2community.com/facebook/1-billion-facebook-users-signed-on-in-a-single-day-01315834

Senin, 14 Desember 2015

SASTRA



SASTRA YOGYA TIDAK PERNAH MATI
Sri Wintala Achmad

Sejak Persada Studi Klub (PSK) hingga sekarang, telah ratusan sastrawan dilahirkan di Yogyakarta. Seiring perjalanan waktu, sebagian mereka masih banyak yang konsisten sebagai penulis sastra. Namun, sebagian lainnya memilih pensiun. Mengingat profesi lain dipertimbangkan lebih memberikan harapan akan perbaikan nasib ekonomis dirinya dan keluarganya di hari kelak.
Diakui melalui PSK yang didirikan Umbu Landu Paranggi, Suwarno Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara dan Iman Budi Santosa telah memberikan kontribusi positif atas geliat sastra di Yogyakarta. Tidak hanya kala itu, melainkan gemanya masih kita tangkap sampai detik ini. Sekadar menyebut nama, semisal: Iman Budi Santosa, Fauzi Absal dan lain-lain, masih konsisten sebagai sastrawan.
Konsistensi dari beberapa sastrawan PSK yang pula turut memperjuangkan pertumbuh-kembangan sastra di Yogyakarta tersebut telah mengukuhkan legitimasi bahwa mereka adalah para suhu (baca: bukan pendekar) sastra. Tempat jujugan (tujuan) para sastrawan pemula menimba ilmu sastra. Mereka akan selalu mengajarkan: karya sastra bukan sekadar permainan kata-kata indah. Akan tetapi, karya sastra seyogianya ditangkap sebagai refleksi pengalaman empirik literer yang diciptakan sastrawan melalui proses pengamatan, pencerapan, metabolisme (pengendapan), penuangan dan revisi berulang kali. Hingga karya sastra mencapai tingkat kesempurnaannya.
Sekalipun demikian, mereka akan sadar bahwa geliat sastra Yogyakarta di hari kelak tetap tergantung di tangan generasinya selama menekuni proses kreativitasnya. Karena itu, kebulatan tekad generasi sastra guna menguasai teknik penuangan, memperkokoh spesifikasi gaya penciptaan, mempertajam sense dan intelektual (imajinasi, intuisi dan logika), serta pemahaman akan ilmu bahasa, filsafat dan pengetahuan lain sangat diperlukan.
Langkah lain yang harus ditempuh oleh generasi sastra, yakni: pertama, banyak membaca karya dari sastrawan lain baik yang dipublikasikan melalui media massa, buku, dan situs sastra di internet. Dengan banyak membaca karya dari sastrawan lain, generasi sastra akan mendapatkan referensi dan termotivasi untuk selalu menciptakan karya yang memiliki standar kualitasnya.
Kedua, menjalin interaksi kreatif dengan sesama sastrawan secara intensif. Langkah ini dianggap efektif guna menunjang spirit proses penciptaan karya sastra. Tingkat efektivitasnya tidak hanya dibuktikan oleh para sastrawan PSK. Para sastrawan pasca PSK seangkatan Andrik Purwasito, Ahmadun Y Herfanda, Bambang Widiatmoko, Joko Pinurbo, Ida Ayu Galuh Pethak, Nana Irnawati, Indra Tranggono, Denok Kristianti, Marjuddin Suaeb, Budi Nugroho, Usdika Ibranora pula membangun jalinan interaksi kreatif antar-sastrawan baik melalui media sanggar maupun kelompok studi sastra.
Bahkan aktivitas Pengadilan Puisi versi Lingkar Kreativitas Sastra Yogya telah diarahkan sebagai medium interaksi kreatif antar-sastrawan muda pada penghujung dekade 80-an hingga awal dekade 90-an itu. Hingga beberapa nama sastrawan, semisal: Hamdy Salad, Dorothea Rosa Herliany, Adi Wicaksono, Agus Noor, Abidah El Khalieqi, Mathori A Elwa, Ahmad Syubanuddin Alwi, Otto Sukatno CR, Whani Darmawan, Sufat Farida, Ulfatin CH, Lephen Purwarahardja, Achid BS, Rina Ratih Sri Sudaryani, Mukti Haryadi, Ismet NM Harris, M Nurgani Asyik, Syam Candra Mentik dan lain-lain menyemerbak serupa bunga-bunga di taman sastra Yogyakarta.
Sayang memang, aktivitas sastra yang diselenggarakan oleh Lingkar Kreativitas Sastra Yogya secara mobil dari rumah sastrawan satu ke rumah sastrawan lainnya atau dari kampus satu ke kampus lainnya itu, hanya berlangsung beberapa tahun. Namun, keberakhiran aktivitas tersebut tidak berarti keberakhiran sastra di Yogyakarta. Secara faktual, Sigit Sugito membentuk Paguyuban Teater Bantul (PTB). Paguyuban ini tidak sekadar sebagai wadah aktivitas teater, melainkan pula sebagai medium interaksi kreatif sesama sastrawan Bantul khususnya dan Yogyakarta umumnya.
Di luar dugaan, Suwarno Pragolapati pun turut turun gunung untuk menggairahkan kehidupan sastra di Yogyakarta. Melalui Sanggar Yogya Sastra Pers (SYS), Mas Warno mengumpulkan para generasi muda yang berminat untuk menulis karya sastra. Selain itu, melalui dukungan Sumantri Citropati, berbagai acara sastra seperti pertunjukan dan diskusi dapat diselenggarakan di Perwatin secara intensif. Hingga Perwatin (awal dekade 90-an) telah menjadi media interaksi kreatif efektif bagi para sastrawan. Ajang diskusi sastra yang terbuka sampai fajar tiba. Luar biasa! Berkat dukungan dari kawan-kawannya, kerja keras Mas Warno tidak sia-sia. Terbukti beliau mampu membangkitkan kembali proses kreativitas literer Kuswahyo SS Rahardjo almarhum yang telah membeku sekian tahun. Kelahiran Muhammad Fuad Riyadi dan Endang Susanti Rustamadji di dunia sastra Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari bimbingan beliau.
Lagi-lagi sejarah membuktikan bahwa sastra Yogyakarta tidak pernah mati. Sekalipun beberapa kelompok pengembang sastra, seperti; PSK, Lingkar Kreativitas Sastra Yogya, PTB dan SYS telah mengakhiri aktivitasnya. Paruh dekade 90-an, Asa Jatmiko dkk telah membentuk Himpunan Sastrawan Muda Indonesia (HISMI). Aktivitas sastra yang mendapatkan dukungan dari Taman Budaya Yogyakarta (TBY) itu mampu memberikan kontribusi kepada sastrawan muda di dalam meniti proses kreativitasnya.
Baru pada pasca 2000 sesudah HISMI berangsur-angsur tidak menggeliatkan aktivitas sastranya, persoalan regenerasi sastrawan yang efektif di Yogyakarta tampak muncul di permukaan. Hingga nama-nama semisal Hasta Indriyana, Pay Jarot Sujarwo, Abror Y Prabowo, Y Wibowo, Sriyono Daningrono, Bambang Susilo dkk harus meluangkan waktu buat ngangsu kawruh (menimba pengetahuan) sastra dari rumah ke rumah para suhu sastra.
Upaya para generasi sastra di dalam melakukan interaksi kreatif di bidang sastra tersebut merupakan langkah taktis guna meningkatkan kualitas karya-karyanya. Agar eksistensi kesastrawanannya tidak diragukan lagi sebagaimana para generasi sebelumnya yang masih eksis di Yogyakarta kala itu, seperti: Raudal Tanjung Banua, Satmoko Budi Santoso, Aning Ayu Kusuma, Edi AH Iyubenu, Ita Dian Novita, Zainal Arifin Thoha, Kuswaidi Syafi’ie, Akhmad Muhaimin Azzet, Abdul Azis Sukarno dll.
Apa yang sekilas saya paparkan di atas, seyogianya ditangkap sebagai sumbangsih pemikiran atas kegelisahan tentang masa depan sastra Yogyakarta, yang mana nasibnya sangat tergantung pada sikap generasi berikutnya itu. Karenanya, apabila sastra diibaratkan sebagai kereta, maka para generasi sastra harus mampu menjawab buat apa dan untuk siapa sastra diciptakan, serta melalui jalan mana dan ke mana sastra diarahkan? Persoalan ini harus dijawab terlebih dulu. Agar penciptaan karya sastra tidak diasumsikan dengan membangun rumah mimpi yang sekadar membawa kehidupan manusia jauh dari bumi pijakan.
Dengan memahami konsepsi dan motivasi di dalam penciptaan karya sastra, para generasi tersebut niscaya mampu menciptakan image bahwa masa depan kehidupan sastra di Yogyakarta niscaya kian membaik. Di mana sastrawan-sastrawan arif dan rendah hati bakal dilahirkan. Sekelompok insan yang selalu memosisikan sastra sebagai media pembelajaran kehidupannya. Hingga mereka serupa suhu bagi dirinya sendiri. Bukan pendekar di dunia persilatan, yang selalu menganggap pihak-pihak berseberangan sebagai lawan bebuyutan.
Terakhir ditandaskan, kita tidak perlu menggelisahkan perihal masa depan sastra di Yogyakarta. Mengingat solusi arif atas persoalan tersebut bukan polemik kusir berkepanjangan, melainkan apa yang mampu dilakukan seoptimal mungkin di dalam upaya menumbuhkembangkan sastra di kota ini. Hingga Yogyakarta yang diasumsikan sebagai salah satu barometer sastra di Indonesia senantiasa terjaga eksistensinya.
 
Sumber: 
Kedaulatan Rakyat Minggu, 3 November 2006.
https://komunitassastra.wordpress.com/2009/12/13/sastra-yogya-tidak-pernah-mati/