Entri yang Diunggulkan

INDONESIAN POEM BY BAMBANG DARTO

THE EARLY EVENING When raining the clock is damaged and the sun is dark the day has no wind when the thunder burglarizes chest my he...

Sabtu, 27 Januari 2018

INDONESIAN POEM BY BAMBANG DARTO

THE EARLY EVENING

When raining the clock is damaged
and the sun is dark
the day has no wind
when the thunder burglarizes chest
my heart is hurt

Oh love, giving no tidings each other
a half of salt a half freshwater seep to the root
when do I look at no yellow leaves
when am I affected by the toxin of love
taken care of five watts-light bulb
at last being made as a sacrifice
 
But it is the darkest February's expression
being left the cleverest eyes
in which footpath aims to the misty hill
it is less over there, being just memory
it is more over there, hi let's get up again
and no waiting like this

My eyes are also angrier
staring at the whole of early evening
and constructing again in the night
before at last diving into the ocean
: upcoming time  





SORE HARI

Hujan turun di saat jam rusak
dan matahari menggelap
Hari tanpa angin
dan ketika geludug menggedor dada
hatiku luka

Ah, cinta yang tak saling berkabar
separo garam separo air tawar merembes ke akar.
Kapan aku tak melihat daun-daun kuning: berguguran
kapan aku tak terkena racun cinta
yang dipelihara lampu lima watt
untuk akhirnya dijadikan korban!

Tapi ini ungkapan februari tergelap
yang ditinggal mata tercerdas
di mana jalan setapak yang menuju bukit itu berkabut
Lebih ke sana sedikit, hanya kenangan
jauh ke sana lagi, hei mari bangkit lagi
dan bukan penantian seperti ini.

Mataku pun lebih nanar
menatap keseluruhan sore
dan membangunnya kembali di malam hari
sebelum akhirnya benar-benar terjun ke laut
: esok hari


Translated by Sri Wintala Achmad

Kamis, 25 Januari 2018

INDONESIAN POEM BY HARI LEO AR

Hari Leo AR












THE BLOOD TEARS THE LOVE TEARS

The blood tears a million tears of hungry children
are the national children's love tears
while saying a greeting for the world
about their wounded luminous and soul
meanwhile at the edges of street
jesters sell many carrions of mouse
wrapped by satin as if a talisman
of falsehood for the independent earth

The blood tears the love tears of a million cadavers
buried silently by land spread fragrance  
and people inhale it
as a past memory
about war and rebellion

The blood tears the melting love tears
flowing through the rivers to the estuary
children swim on the ocean looking for a left granule of gold

‘97


AIRMATA DARAH AIRMATA CINTA

Airmata darah sejuta mata anak-anak lapar
adalah airmata cinta anak-anak bangsa
yang berlari di tepi tembok-tembok sejarah
sambil mengucapkan salam pada dunia
tentang nurani dan jiwa yang terluka
sementara di pinggir-pinggir jalan
para badut menjajakan bangkai tikus
yang dibungkus kain sutera bagai tumbal
kebohongan atas bumi yang merdeka

Airmata darah airmata cinta sejuta mayat
yang diam tertimbun tanah menyebarkan bau wangi
dan orang-orang menghirupnya
menjadi kenangan masa silam
atas perang dan pemberontakan

Airamata darah airmata cinta
meleleh mengaliri sungai-sungai menuju muara
di laut anak-anak berenang mencari butiran emas yang tersisa


‘97


Note:
Translated by Sri Wintala Achmad

Rabu, 24 Januari 2018

INDONESIAN POEM BY KUNTOWIJOYO

Kuntowijoyo





















AFTER JOURNEY 1

On arriving of the tip
you look up to sky
a purple void
Please do, soul
the time's come
you must surrender
The silence'll escort you to camp
in which you've a rest
after the far away journey


SESUDAH PERJALANAN 1

Sesampai di ujung
engkau menengadah ke langit
kekosongan yang lembayung
Ayolah, ruh
tiba saatnya
engkau menyerahkan diri
Sunyi mengantarmu ke kemah
di mana engkau istirahat
sesudah perjalanan yang jauh

Note
This poem is translated by Sri Wintala Achmad

Selasa, 23 Januari 2018

Puisi-Puisi Budhi Wiryawan


Cerita Tentang Lelaki dan Cahaya Lampu Kota

dari sore lelaki ceking yang matanya cekung itu
resah mencari jalan pulang, susah mengendus kenyataan
jika rumah dan kamarnya pekat sekarat
sudah tentu rambu jalan tertutup garis hitam
pinggir korneanya tergores hingga ia tak melihat
sebiru cahaya menerpa
membuat sebentuk bayangan, menggandeng tangannya
mata lelaki itu tak secemerlang mata kucing
tak punya sorot kamera, apalagi lengking suara
untuk menaklukkan malam saja
ia meraba dengan getir yang dalam
Sejam lalu UGD rumah sakit kota mewartakan
sel kanker yang bersarang di paru lelaki itu
telah mengakhiri jalan cinta dan darah,
ia pulang dalam gelap kesumat
dalam getir satire, sedalam ketiadaan cinta
yang enggan merasuk di jantungnya
sebuah cahaya lampu kota
tak lagi menggandeng tangannya

Jangan Bunuh Masa Kanak Dinihari Sebab Ia Bahagia

Aku menarik garis yang kugores di tanah
“ini bagianku dan kau ada di sana”
telah kukumpulkan titik-titik menjadi garis
lalu kutumpuk angan di lingkaran kecil ini
sekadar ingin membongkar fosil ingatanku
yang tak lumer oleh api masa
Masalaluku selalu menerbitkan harapan
lewat kaki, mata dan tangan yang lincah
aku senang berlari menyudahi permainan
sebab jika menangis, ibu selalu marah
“anak yang cengeng, susah menjadi pencundang”
Di sudut permainan yang lain
aku dijebak oleh musuh-musuhku
dipaksa menyerahkan bidang setengah lingkaran
“itu bukan hakmu,” hardiknya
maka jangan bunuh masa kanak dinihari,
sebab ia telah telanjur bahagia

Di Layar Kaca Jangan Tinju Mereka

Aku menonton hujan airmata di layar kaca
aku membayangkan jika aku yang nangis
aku menyaksikan orang berantem di gelas kaca
aku membayangkan jika aku yang ditonjok
Anak-anak sudah lelap dengan mimpi gulingnya
aku kumpulkan berbagai cerita tentang om narto
yang tak pernah pulang, tante narti yang sukanya bawel
tiba-tiba wajah mereka ada di televisi
Anak-anak bertanya, mengapa hujan airmata
sering ada di layar kaca, aku selalu menjawabnya:
karena di sana ada pasar sekaligus pabriknya

Kau di Novel Temanku

Selalu kutemukan kau dalam cerita novel temanku
tak tahu, mengapa kau seperti bidadari
hingga pena temanku menyentuh ujung bibirmu
nampak merah, lalu kau menunduk malu
temanku yang pandai merangkai kata
menutup cerita di novelnya
dengan very-very happy ending
Kini kubermimpi seperti itu
di ranjang coklat tua
saat renung ini melabrak jendela kayu
“ah kau dulu merinduku
kini rinduk itu menumpuk”
menyelinap di tumpukan bantal dan guling
di kamar kita yang selalu wangi, meski
sedikit pengap bau masa lalu

Pintu Kata-kata itu Mati

Di pintumu yang mati aku bicara
adakah kata-kataku yang silau oleh cahaya
memerahkan wajahmu, sehingga kau nampak layu
berkali mulutku tersedak
tak cukup untuk menyimpan kata
Aku selalu mengingat-ingat, bahwa 
setiap yang diikatkan selalu disebut pelarian
setiap yang digenggam selalu disebut ingin kabur
lalu aku ada di antara mana ?
tersandera di tubuh kata ?
Kata pintu:
“Contohlah bunga, meski tak wangi
tetap saja namanya bunga”

Belajar Membuat Sarang Burung

Burung itu sedang belajar membuat sarang
kakinya yang satu pincang, tapi
mulutnya lincah memindahkan jerami
ke ibu pohon yang berdaun rimbung
Mengapa ia memilih pohon mangga di depan rumahku
padahal ada pohon lain punya tetangga
yang lebih teduh dan aman
dari serangan musuh yang tak kelihatan,
pohon manggaku adalah tentara
yang setiap menjaga tumpah darah cinta
Usai bertelur, dan anak burung itu dewasa
aku tak lagi bisa berkisah, tentang kesetiaan
dan amsal cinta sejati yang mandah
sebab yang ada telah dibawa terbang
Bodohnya aku, lupa bertanya, numpang di pohon mana
setelah tak berumah lagi di pohonku ?

Puisi yang Tak Mati-mati di Parangkusumo

Kau mengenalku seperti halnya meja, mesin ketik
dan bau minyak wangi menyedak. Biasanya sisir tergeletak
seinchi di depan cermin. Lalu wajahku memastikan
aku masih punya rencana untuk mendatangi malammu
membagi kertas yang kutulis dengan tangan gemetar
“puisi yang luka oleh pisau cerita tapi tak mati-mati”
Kau adalah senja seperti Parangkusumo memenjarakan
perahu-perahu nelayan yang kotor oleh pasir basah
ikan-ikan tua yang baru belajar menghidupkan siripnya
aku kau kumpulkan bersama mereka, pasir letih menyisir


Pernah tersiar di surat kabar “Minggu Pagi” 20 Desember 2015 

MENGENANG KARYA-KARYA RAGIL SUWARNO PRAGOLAPATI

Ragil Suwarno Pragolapati

Ragil Suwarno Pragolapati dan putrinya
Ririn Pranabuwani Khudiiswari
(Foto: Jayadi Kastari)

PAMITKU PADAMU

Kau-aku tuntas melewatkan pagi-sore dibuncah kepenatan
Siang-malam kebersamaan pun padat cerita dan kenangan
Kau-aku banyak belajar dari kerja, omongan atau diam
Aneh! Sempat juga hati berbunga dan pikiran mekar
Asyik! Banyak imbal-beri manfaat, tahu fungsinya belajar

Kau-aku remaja kembali, sesekali jadi seperti bocah kecil
Telanjang tanpa cadar dan topeng, hilang malu dan minder
Kau-aku tahu tidaklah menarik lagi 1.001 kehebatan diri
Sebaliknya 1.000.000 kelemahan orang tidak selalu jelek
Ajaib! Kasih-sayang sejati tumbuh dari hal-ihwal naïf

Kau-aku menunggal dalam sebuah dunia, di sini, kemarin
Kita suntuk belajar tanpa pandang usia, guru dan murid
Kau-aku tahu, tugas kita seumur hayat: mendidik pribadi
Kok ajaib, hancurlah congkak dan kikuk, risi dan minder
Karena kasih! Hidup ini penuh arti, dalam cinta ugahari

Kau-aku diprogram jadual dan waktu, semua kini berlalu
Di sini, berakhir seluruhnya, biarpun belum puas tuntas
Kau-aku wajib pulang pada jagad kehidupan masing-masing
Kembali pada rutin. Pulang ke rumah tangga kita sendiri
Kini, di sini, pamitku padamu adalah memutus pilu-pedih
Kau-aku dipertemukan Tuhan, segera kembali berjauhan
”Tidak ada selamat berpisah!” kataku meredam perasaan
“Sampai jumpa kembali!” bisikmu dengan senyum getir
Kau-aku wajib pulang, tidak mengkhianati rumah pribadi
Pamitku padamu adalah beribu memori, abadi dalam nurani

Jakarta 1986, Jember 1987, Klaten 1988


MEMBACA KORAN TEMPEL

Hari-hari memberikan kabar monoton. Isi mirip beda judul
Advertensi pun menerkam semua kolom besar, over membius
“Gadis diperkosa!” teriak seorang bocah, jemu dan kecal
Kau pun menekur. Mahkota perawan dikoyak di kolam sudut
Brahmacorah seksualita jadi siluman di desa-desa dan kota
Hakim, KUHP dan palu pengadilan menabukan opini kecewa
Hukum suka melecehkan kesucian perawan pada vonis ringan
“Hakim itu dilahirkan dari rahim wanita!” gerutumu marah
“Jika memvonis pemerkosa, bayangkan ibunyalah korbannya!”
Esok, esok, dan esoknya lagi, kabar serupa muncul kembali
Di halaman dua, ada vonis hakim. Ringan! Dicemooh publik
Di halaman muka, ada “Seminar Keadilan Hukum” jadi proyek

Jagran, 1988



SANG BRAHMANCARI

Yogya mengirim gerimis pagi bagimu di serambi masjid
Sendumu menyisa pada asap rokok, mengepulkan fantasi
Nasib nglangut. Mandi tidak perlu, berkumur pun cukup
Kambuhan penyakit 1968-1971. kau terbius dingin sudut
Ke timur, membayang Sala. Ke barat, takutkan Purwareja
Menundukmu risaukan Ampel dan Ungaran, baladamu deksura
“Aku grehasta! Punya istri dan anak!” bisikmu menyesal
“Tetapi hidupku brahmancari! Sendirian bagai perjaka!”
Kau pun tengadah. Tuhan dan ayat mengabur pada mendung
Kau menunduk. Nasibmu ruwet menolak sesal pangkal-ujung
Nah, kau berbenah. Kembali mengembarai rimba raya Yogya
Meredam lapar-dahaga. Mengejami diri malang papa nestapa

Kauman, 1988




RAGIL SUWARNO PPAGOLAPATI, lahir di Pati, 22 Januari 1948. Bersama Umbu Landu , Imam Budhi Santosa, dan Teguh Ranusastra Asmara mendirikan Persada Studi Klub (PSK) pada tanggal 5 Maret 1969. Karya-karyanya yang berupa puisi, cerpen, esai, cerita anak dimuat di berbagai media, al: Horison, Basis, Kedaulatan Rakyat, Eksponen, Minggu Pagi, Pelopor Yogya, Kawanku, Aktuil, Semangat, dll. Karyanya yang dibukukan: Antologi Alit, Tiga Bayangan, Bulaksumur Malioboro, Empat Penyair Yogya, Antologi Free, Titising Kedurakan, Keglandhang Wirang, Melawan Hantu, Kuda Garang di Bumi Gersang, Penyair Tiga Generasi, Jalan Berlumpur, Sidharta Gautama, dan Suaka Diri. Mendapatkan penghargaan atas karyanya dari Menteri Keuangan Radius Prawiro, juga menerima penghargaan seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, melalui Gubernur Sri Sultan Hamengkuwana X.



Senin, 22 Januari 2018

SASTRA, SENI, DAN BUDAYA INDONESIA: PUISI-PUISI BAMBANG DARTO

SASTRA, SENI, DAN BUDAYA INDONESIA: PUISI-PUISI BAMBANG DARTO

PUISI-PUISI BAMBANG DARTO

APEL DAN GADIS

Apel merah matang mengeras di dada gadis
mungkin dirabuk pakai kosmetik
kadang nampak lembek
bagai ilham yang sulit menangkap teka-teki

kukunyah dagingnya
dan si gadis pun mengejap bodoh
mengapa ia tak mengumpatku "bangsat"
atau "kau pencuri"
Kenapa ia malah tanya tentang bulan bintang-bintang
yang menggerombol dan berputar-putar di langit tanpa awan!

Tidak!
Aku kehilangan kata yang siap
selain hanya lelucon
Apakah ia suka
itu tergantung kuncinya:
senggama!

Hukum timbalbalik alam memang tak bisa ditolak oleh sembarang orang. Segala sesuatu yang terjadi ada balasan yang kadang di luar dugaan.Itulah kebenaran rahasia misteri yang disampaikan alam dan dibenarkan oleh penyair sufi besar: Jalalludin Rumi. (Status FB Bambang Darto menjelang hari terakhirnya 1, sumber: https://www.facebook.com/badar.bambang?fref=nf&pnref=story)


SORE HARI

Hujan turun di saat jam rusak
dan matahari menggelap
Hari tanpa angin
dan ketika geludug menggedor dada
hatiku luka

Ah, cinta yang tak saling berkabar
separo garam separo air tawar merembes ke akar.
Kapan aku tak melihat daun-daun kuning: berguguran
kapan aku tak terkena racun cinta
yang dipelihara lampu lima watt
untuk akhirnya dijadikan korban!

Tapi ini ungkapan februari tergelap
yang ditinggal mata tercerdas
di mana jalan setapak yang menuju bukit itu berkabut
Lebih ke sana sedikit, hanya kenangan
jauh ke sana lagi, hei mari bangkit lagi
dan bukan penantian seperti ini.

Mataku pun lebih nanar
menatap keseluruhan sore
dan membangunnya kembali di malam hari
sebelum akhirnya benar-benar terjun ke laut
: esok hari


(Status FB Bambang Darto menjelang hari terakhirnya 1,
sumber: 
https://www.facebook.com/badar.bambang?fref=nf&pnref=story)

TERCERAI DARI LAUT

Jika mawar lesi tak memerah kembali
apa yang dibisikkan musim pada matahari
Jika bulan tak muncul dan bintang-bintang tak berhamburan
apa yang dibisikkan musim pada malam

Mawar pun berkata: "kawan tercerai dari kawan
ikan tercerai dari lautnya
di dunia ini mana yang abadi."

Betapa mimpi mengungguli tidur
betapa jalan mengungguli rencana

Adakah seseorang harus menunduk
untuk membayangkan langit!

Saat itu mustinya aku kembali ke laut
mukjizat luas yang mengajariku untuk lebih hidup dan dewasa!


(Status FB Bambang Darto menjelang hari terakhirnya 1,
sumber: 
https://www.facebook.com/badar.bambang?fref=nf&pnref=story)




BAMBANG DARTO, lahir di Nganjuk, 26 Februari 1950. Meninggal di Yogyakarta pada hari Sabtu 20 Januari 2018. Menulis sejak tahun 1972 dan bergabung di Persada Studi Klup (PSK) asuhan pimpinan Umbu Landu Paranggi. Karya-karyanya berupa puisi, esai, dan cerpen. Puisi-puisinya yang tersebar di berbagai media lokal dan pusat. Beberapa puisinya dimuat dalam antologi bersama: Tugu (1986), Tonggak IV (1987), dll. 

Kamis, 18 Januari 2018

SASTRA, SENI, DAN BUDAYA INDONESIA: PUISI-PUISI SURYANTO SASTROATMODJO

SASTRA, SENI, DAN BUDAYA INDONESIA: PUISI-PUISI SURYANTO SASTROATMODJO

PUISI-PUISI SURYANTO SASTROATMODJO

BALADA PURING

1
Keris kuna, belati tua
menyentak mimpi keranda
Tapi siapakah mengetuk pintu berkarat ini
selain persekutuanku sendiri?

2
Demikian Puring bersama gelojoh puisi
menebarkan aroma paling sangit
serta menyeka pelipisku: o, sedu-nikmat
karena daku pelabuhnya. Dan di sini punjer bengawan

3
Lantas dituntaskan tarian ronggeng
mengusap jelujur rembangan. Tangis tak berbasuh
Sebayang penggal onani
ditinggal sekar buron bauran

4
Sangkal-sangkal jadi memberat:
O, aduh! aduh! -- pekikan tanpa ujung
tengah malam desa Puring
mengalur geliur sinting

5
Cuma aku terbebas dari amarah gladrah
Kala talas-talas menggatal di jantung
dan batinku terkoyak nista
jauh dari sebuah bentangan gelisah

6
Mungkinlah kawal dan gelepar
menguasai dongeng pancawarna
Tatkala sanjung tak lagi dibendung
oleh serbuan si anak ontang-anting

7
Adalah itu, pekik-pekik tengah sandungan
dan belum pamit pada guru. Bukit longsor di utara
seperti lecehan seorang pembual. Asing dan dangkal
jadi sebuah limit sipit

8
Maka pada juntrung pelabuhan, cintaku membenam
bagai kentalnya air mani di kenikmatan cumbana
Seraya melantunkan puisi Asmaradana
Kawah letih, buana merintih
landungnya sanggama pasrah
Dan hidup adalah hutang pada Sang Poyang



BALADA BIANGLALA

I
Tarian tanah gamping di celup suntukku
O, derap kajian ufuk
Menjenguk setugal malam. Pelatuk sangsi ke situ
Dan adalah rengkuhan puncak
Malahan ada yang silam berkepundan
pabila bukit boyong ke pedalaman
dan para dalang mengulir blencong

II
Terang bagai manikmata pencalang
aku merogoh lambung lubuk
lantas bicara bahwa ada cuaca kuyup
Maka adalah merdunya kidung
seonggok pengestu bunda kandung
Wahai, jalan setapak ini adalah goresanku!

III
Meski usia muda bukan pelengkap derita
adalah dikau juga menggalang siksa
dalam penantian kisruh tanpa nada?
Wataklah dilambuk bencah sawah
padahal tiap jengkal gesang ugahari
adalah juga sejelang juru bicara
O, aku sendiri menistai Kyai-Nyai Puring
dan memerankan Jaka Ladrang nan gempal

IV
Sampai akhirnya kutemukan benua baru
bukan dalam lelatu. Bukan pendaman justa leluhur
Bukan siapa pun. Cuma gelegak rerasan bergeboyar
Lantas para jiran mengusap tangis
Desa Kuning mengucap selamat tinggal
bagi Jaka Ladrang yang raib
dari haribaan kadang-karuh



BALADA NILAKANDI

I
Dan pagi pun resik. Menala bakti rumesik
dalam tayung-tayungan kelana
Kuhamparkan tembang anclum. Tembang alum
lamun warna bumiku tambah ungu
kemudian satu pahala menyeru ujung-ujung
cenungan istirah sangsi
sampai sebuah sangkakala menderu

II
Bukankah biduk tak berpelita
menguasai pagi sekali, dan sekali lagi
Mengusah serapah simbah
dan akhirnya membilang syukur pada matahari
Entah pabila suntingan saksi
serta pabila pengharapan dini
menggeliar kowar dan jentar
-- penyap di ribaan Mak Tijah!
lantas berakhir di beledru tawang –

III
Nilakandi, o bayang baurku sendiri
tatkala alam menyatukan puspita maya
dan di awal tepungan – karuh dan rengkuh
senantiasa kasih hadir. Mengungkai gelisah
biar aku jadi gembala, o, dingin
dan menyembah kabut di pulungan lilin

IV
Sampai matra ke selikur lindur. Sampai daya luruh
dan alangkah jauh gapaian senandung
Seru dan sentak si bocah lurung
ditundung, diharung dan dilarung
cakrawala yang tanpa tudung




SURYANTO SASTROATMODJO (KRT Suryo Puspo Hadinegoro), lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, 5 November 1951. Terakhir bekerja di Harian Bernas. Menulis dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Karya-karya sastranya dimuat di berbagai media massa baik pusat maupun daerah. Karya-karya sastranya dibukukan dalam: Pagi Cerah Awal April, Setetes Embun Pagi, Di atas Andong Yogya, Di Kaki Langit Utara, Surat-Surat Cinta, Aku Pangeran Muda, Tugu (1986), dll. Selain sebagai penyair (sastrawan); memperhatikan kehidupan sastra, seni, dan budaya Jawa; serta sejarah.