Entri yang Diunggulkan

INDONESIAN POEM BY BAMBANG DARTO

THE EARLY EVENING When raining the clock is damaged and the sun is dark the day has no wind when the thunder burglarizes chest my he...

Rabu, 21 September 2016

SASTRA

MEMBACA KEUNTUNGAN STUDI SASTRA
BAGI GURU, SISWA, DAN SEKOLAH
Oleh: Sri Wintala Achmad

Diakui bahwa sastra tidak hanya dapat dijadikan sebagai media rekreasi yang dapat menginspirasi bagi pembacanya, namun pula mampu membentuk kepribadian bagi kreatornya. Dengan melihat kontribusinya, maka sastra layak diajarkan oleh seorang guru yang menguasai bidang tersebut kepada seluruh anak didik di sekolah.

Agar studi sastra di sekolah dapat memenuhi capaian target idealisnya, tentu saja seorang guru tidak sekadar cenderung mengajarkan sejarah sastra yang kurang memberikan kontribusi terhadap pembentukan kepribadian siswa. Akan tetapi, seorang guru harus mampu mengajarkan bagaimana mencintai, mengapresiasi, mengkritisi, serta menggubah karya sastra baik prosa (novel atau cerpen) maupun puisi.

Apabila seorang guru tidak menguasai keseluruhan cabang studi sastra, maka jangan diharap siswa akan mencintai dan mampu mengapresiasi, mengkritisi, serta menggubah karya sastra yang baik. Dengan demikian, guru tersebut pula tidak dapat menjadikan studi sastra sebagai media di dalam membentuk kepribadian siswa.

Perihal guru yang tidak menguasai keseluruhan cabang studi sastra kiranya telah menjadi problem klasik. Hal ini dikarenakan banyak guru sastra adalah notabene pengajar bahasa Indonesia yang hanya mengajarkan sejarah dan barangkali kritik sastra. Akibatnya pelajaran sastra di sekolah yang cenderung terasa tawar tersebut kurang menarik bagi siswa.

Dikarenakan telah menjadi problem klasik, maka tidak terpenuhinya studi sastra (terutama, kreativitas di bidang karya sastra) bagi para siswa harus mendapatkan solusinya. Salah satu solusi yang dapat diambil, antara lain: pertama, workshop penulisan karya sastra bagi para guru. Dimana pengetahuan yang diperoleh oleh para guru tersebut kemudian dapat diajarkan kepada seluruh siswa. Ke dua, ekstra kurikuler penulisan karya sastra bagi siswa yang hingga saat ini belum disentuh oleh banyak sekolah formal.

Workshop dan Diklat Sastra
Berangkat dari realitas (keprihatinan) studi sastra di sekolah, pihak-pihak (lembaga) yang bertanggung jawab terhadap persoalan tersebut termotivasi untuk melaksanakan kegiatan workshop penulisan karya sastra bagi para guru. Salah satu lembaga yang telah menunjukkan konsistensinya dalam merealisasikan studi penulisan karya sastra di sekolah adalah Balai Bahasa Jawa Tengah (BBJT). Melalui program workshop penulisan karya sastra bagi para guru Bindo SMP di Cilacap (2014), BBJT berupaya agar para pengajar bahasa Indonesia tidak hanya mengajarkan bahasa Indonesia dan sejarah sastra, namun pula teknik menulis karya sastra yang baik kepada para siswa.

Perhatian BBJT terhadap pentingnya terhadap pembelajaran karya sastra bagi para siswa yang harus dikuasai oleh para guru layak mendapatkan apresiasi. Terlebih ketika BBJT melanjutkan program tersebut dengan program lanjutan yakni diklat bertajuk Menggauli Sastra dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra yang dilaksanakan pada Kamis-Sabtu (9-11 April 2015) di pendapa Kabupaten Cilacap. Suatu program yang diikuti oleh 120 guru dan disertai beberapa program kesusastraan lainnya, yakni: Launching Antologi Puisi ‘Merengkuh Angan’ karya para guru Bindo SMP terbitan BBJT dan Antologi Puisi Bilingual Spring Fiesta karya penyair 9 negara (Indonesia, Hongkong, Singapura, Malaysia, Pakistan, India, Arizona, Serbia, dan Canada) terbitan Araska Publisher & Indonesian and English Poetry Group oleh Tatto Suwarto Pamudji (Bupati Cilacap); Musikalisasi Puisi oleh siswa-siswi Sekolah Dasar Negeri Sidareja (Cilacap), dan Baca Puisi oleh penyair Yogyakarta, Purwokerto, dan Cilacap (Bambang Darto, Daru Maheldaswara, Syam Chandra Mantiek, Wadie Maharief, Wanto Tirta, Lili Kuswanti, dll).

Ekstra Kurikuler Sastra      
Disadari bahwa apa yang dilakukan BBJT di dalam memberikan pembekalan pengetahuan penulisan karya sastra bagi para guru tidak akan membuahkan hasil maksimal bila tidak diamalkan. Pengertian lain, siswa tidak akan mendapatkan pengetahuan tentang penulisan karya sastra bila para guru tidak mengajarkannya di luar kurikulum yang ditetapkan. Dari sini, sekolah harus tanggap yakni membuka ekstra kurikuler penulisan sastra bagi siswa. Setara dengan ekstra kurikuler teater, seni rupa, tari, musik, dll.

Apabila para guru yang telah mendapatkan pembekalan pengetahuan penulisan sastra belum sanggup mengajarkan kepada siswa tentang menulis karya sastra yang baik, maka tidak ada salahnya sekolah melibatkan sastrawan sebagai pengajar ekstra kurikuler sastra. Sehingga hasil yang dicapai dari kegiatan tersebut akan lebih dapat dirasakan oleh siswa.

Hasil positif lain yang akan dituai dari ekstra kurikuler sastra tidak hanya menjadikan siswa gemar menulis karya sastra; namun pula dapat membantu siswa di dalam membentuk kepribadian, mencerdaskan logika dan imajinasi, serta memperluas wawasannya. Dikarenakan, seorang penulis karya sastra akan senantiasa gemar membaca berbagai buku yang akan memberikan kontribusi di dalam mendapatkan ide-ide kreatifnya.

Di samping itu, ekstra kurikuler sastra akan memberikan pembekalan pada siswa untuk menjadi kreator sastra yang karya-karyanya akan dipublikasikan oleh harian, mingguan, tabloid, majalah, atau penerbit buku. Dengan demikian, sekolah dimana siswa itu tinggal turut mendapatkan nama harumnya. Mengingat siswa yang karya-karyanya dimuat di media niscaya mencantumkan nama sekolahnya. Keuntungan lain, ekstra kurikuler sastra pula akan memberikan pembekalan pada siswa yang berminat menjadi sastrawan. Salah satu profesi di masa modern ini dapat dijadikan sebagai bekal hidup di dalam menopang kebutuhan ekonomisnya di masa mendatang. Semoga harapan ini bukan isapan jempol belaka!

Sri Wintala Achmad
Tinggal di Cilacap, Jawa Tengah

Senin, 19 September 2016

SASTRA JAWA

TEMU SASTRA JAWA
BUKAN HIBURAN SESAAT
Oleh: Sri Wintala Achmad

Sebagian pemerhati Sastra Jawa mengatakan, bahwa Sastra Jawa sudah senasib kakek jompo yang berdiri dengan topangan tongkat rapuh di tepi lubang kubur. Sementara sebagian pemerhati lainnya memberikan persepsi tanpa basa-basi, “Sastra Jawa sudah mengalami sakaratul maut. Sebentar lagi mati.”
            Persepsi buruk perihal nasib kehidupan Sastra Jawa di muka sekiranya yang dijadikan pijakan atas penyelenggaraan Temu Sastra Jawa – ‘Sastra Jawa Madhangi Jagad’ di Yogyakarta (Hotel Grand Surya), Jumat-Kamis, 4-6 Desember 2015. Salah satu event yang cukup mewah (kalau tidak mau disebut megah) dengan melibatkan sejumlah sastrawan Jawa, pemerhati Sastra Jawa, dan instansi terkait dari Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Membebaskan Nasib Buruk Sastra Jawa
Kalau memperhatikan tema penyelenggaraan Temu Sastra Jawa yang diselengarakan oleh Dinas Kebudayaan Yogyakarta (DKY) tersebut, kiranya event ini bertujuan agar Sastra Jawa dapat memberi penerang dunia (madhangi jagad). Bukan hanya dunia lahir, namun juga dunia batin yang menghampar di dalam jiwa manusia. Dengan demikian, Sastra Jawa diobsesikan sebagai salah satu media di dalam membangun dunia batin (kepribadian) manusia Jawa yang mengalami abrasi akibat pengaruh budaya modern (baca: budaya Barat).
Tujuan Sastra Jawa dapat menjadi penerang dunia sungguh luhur, namun betapa susah untuk dijangkau. Karena diibaratkan, tujuan tersebut serupa hendak menjadikan Sastra Jawa sebagai jembatan bianglala untuk meraih bintang kejora paling agung yang memancar keemasan di lapisan langit terpuncak. Tujuan yang tidak lebih sebagai mimpi indah setiap tengah malam, dan tidak pernah terwujud manakala kembali terjaga pagi hari.
Pendapat di atas perlu dikemukakan, mengingat kehidupan Sastra Jawa sudah senasib anak burung yang kehilangan induknya. Kalau tidak segera mendapatkan pertolongan, anak burung itu akan tewas. Tentu saja, menolong anak burung itu bukan sekadar memberi hiburan sesaat hingga terdiam dari cericitnya yang sangat berisik dan memelas. Melainkan mengasuh dengan penuh kasih-sayang, menyuapi dengan sabar dan tulus, serta memberikan ruang kepak yang selapang-lapangnya. Bukan justru memenjarakannya, ketika anak burung itu tumbuh dewasa di dalam sangkar gading yang sempit.
Membebaskan Sastra Jawa dari nasib buruknya serupa memberikan pertolongan pada anak burung yang kehilangan induknya. Artinya, beberapa lembaga baik swasta maupun pemerintah yang menghendaki tetap berlangsungnya kehidupan Sastra Jawa hingga mengalami pertumbuhkembangan seyogyanya bukan sekadar mengadakan event pertemuan, dan terlebih pelatihan (workshop) penulisan, atau lomba cipta (baca) karya Sastra Jawa yang hanya bersifat hiburan sesaat. Tetapi upaya tersebut harus disertai dengan langkah pendampingan supaya para sastrawan Jawa tetap setia menggubah karya-karnya (geguritan, cerkak, cerbung, atau novel) yang memenuhi standar kualitatif.  
Langkah pendampingan terhadap sastrawan Jawa bukan sekadar berhenti sampai di situ. Langkah pendampingan selanjutnya, dimana lembaga swasta atau pemerintah harus memberikan santunan dana kepada setiap sastrawan potensial untuk menerbitkan karya-karyanya. Bukan sekadar mendorong para sastrawan supaya tetap setia mempublikasikan karya-karya di beberapa Kalawarti Basa Jawa yang kuantitasnya mulai bisa dihitung dengan jari satu tangan.
Langkah pendampingan terhadap para sastrawan Jawa yang dilakukan oleh lembaga swasta atau pemerintah harus dibarengi dengan pembinaan dalam bidang penulisan serta peningkatan minat baca terhadap karya Sastra Jawa di lingkup sekolah. Mengapa demikian? Karena buku-buku yang memuat karya Sastra Jawa yang diterbitkan oleh lembaga swasta atau pemerintah (bisa bekerja sama dengan penerbit profesional) seyogyanya didistribusikan ke sekolah-sekolah sebagai penunjang pelajaran Bahasa dan Sastra Jawa bagi seluruh anak didik. Bila upaya ini terealisasikan, maka Sastra Jawa yang ditujukan sebagai penerang dunia atau membangun kepribadian manusia sejak usia dini tersebut akan terwujud.
Apabila karya Sastra Jawa sudah diminati oleh generasi penerus yang dimulai dari lingkup sekolah, maka akan terbentuklah masyarakat pembaca setia. Karenanya tidak pelak lagi, kehidupan Sastra Jawa akan mengalami suatu pertumbuhkembangan yang signifikan di masa mendatang. Banyak sastrawan berbakat akan dilahirkan. Kalawarti Basa Jawa yang memuat karya-karya Sastra Jawa akan mengalami suatu peningkatan jumlah dan oplah, karena meningkatnya kuantitas pembaca (pelanggan). Tidak hanya di lingkup sekolah, namun pula di ruang-ruang publik yang lebih luas.  

Pesan yang Layak Diperhatikan
            Terakhir ditandaskan, hendaklahn event Temu Sastra Jawa yang diselenggarakan oleh DKY tersebut dijadikan sebagai garis start di dalam menyelamatkan, melestarikan, serta menumbuhkembangkan Sastra Jawa yang prospeknya dapat meningkatkan kualitas kreatif bagi para sastrawan serta sekaligus mampu membangun kepribadian generasi Jawa.
Sehingga amatlah naif, apabila event Temu Sastra Jawa tersebut sekadar dimaknai secara dangkal yakni sebagai ajang kangen-kangenan antar sastrawan yang datang dari berbagai daerah, adu pintar berolah gagasan antar pemerhati (ahli) Sastra Jawa, atau pesta pora yang menghabiskan banyak dana tanpa memberikan gema. Tanpa membuahkan hasil yang benar-benar nyata.

Sri Wintala Achmad
Peserta Temu Sastra Jawa dari Jawa Tengah
Tinggal di Cilacap Utara, Cilacap
           

            

BUDAYA

BWCF 2013:
Membuka Kran Kesadaran Potensi Bahari dan Rempah
Oleh: Sri Wintala Achmad


Penyelenggaraan Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) oleh Samana Foundation pada 29 - 31 Oktober 2012 bisa dikatakan sukses. Berkat kesuksesan tersebut, Samana Foundation bermaksud kembali menggelar BWCF pada 17 - 20 Oktober 2013. Namun tema yang diusung tidak menohok tentang Cerita Silat dan Sejarah Nusantara, melainkan Memori Rempah dan Bahari Nusantara. Apapun temanya, penyelenggaraan BWCF tetap konsisten sebagai media penggali kebudayaan Nusantara yang sekian lama terkubur jaman. Ini merupakan salah satu nilai tersendiri untuk dicatat dan layak mendapatkan angkatan topi.
Melalui BWCF 2013 yang akan diselenggarakan di lima tempat, yakni: Hotel Manohara, Rumah Buku Dunia Tera, Hotel Royal Ambarukmo, Hotel Hyatt Regency, dan Hotel Sheraton Mustika tersebut; masalah rempah dan bahari Nusantara bakal dibahas oleh beberapa pakar, antara lain: Singgih Tri Sulistyono, Susanto Zuhdi, John N Miksic, Gusti Asnan, Edward Polenggomang, Riza Damanik, Bondan Kanumoyoso, Daud Aris Tanudirjo, Budi Prakoso, Bona Beding, Remy Silado, dll.
Selain seminar, BWCF 2013 pula akan menyajikan beberapa aktivitas budaya yang sangat menarik, yakni: Pameran Foto, Pemutaran Film, Pentas Musik, Panggung Sastra dari Laut, Pesta Buku, dan Pemberian Penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan Award ke-2 yang akan diberikan pada Susanto Zuhdi, Agus Aris Munadar, Supratikno Rahardjo, dan Mudji Sutrisno. Seluruh aktivitas kultural tersebut akan melibatkan penulis sastra berlatar belakang sejarah Nusantara, sejarawan, antropolog, pelaut, budayawan, mahasiswa, wartawan, dsb.

Membuka Kran Kesadaran
            Bila dihayati dengan seksama, Nusantara yang diibaratkan tanah surga oleh Koesplus dengan bahari sebagai kolam susu itu tampaknya bukan sekadar isapan jempol. Namun kesadaran terhadap potensi bahari yang dikembangkan sejak jaman Mataram Kuno, Singhasari, dan Majapahit seolah surut semenjak pemerintahan Orde Baru Soeharto. Masa dimana pemerintah cenderung menguras potensi agraria (hasil bumi) ketimbang menggali potensi bahari (hasil laut).


            Pengurasan hasil bumi semisal penebangan kayu hingga merusak hutan dan lingkungan, percepatan produk padi dengan menggunakan pupuk kimiawi hingga menghancurkan kesuburan sawah, atau penggusuran lahan-lahan produktif untuk mendirikan perumahan-perumahan murah merupakan bukti konkret bahwa bumi Nusantara mulai terancam keselamatannya.
Berpijak dari realitas memprihatinkan di muka, kiranya penyelenggaraan BWCF 2013 mengandung harapan untuk membuka kran kesadaran kepada publik agar lebih berpaling pada pemanfaatan potensi bahari. Artinya, penggalian hingga pengurasan hasil bumi yang membawa dampak buruk pada keselamatan bumi dan seluruh penghuninya agar ditinggalkan atau ditekan seoptimal mungkin.
Dengan berpaling pada pemanfaatan potensi bahari tidak diartikan untuk melakukan pengurasan habis-habisan pada hasil laut, melainkan mengoptimalkan fungsi laut sebagai sarana menunjang kesejahteraan umat manusia. Tentu saja, upaya ini harus disertai dengan menjaga kebersihan lingkungan bahari dan seluruh makhluk hidup yang tinggal di sekitar atau di dalamnya. Sebab tanpa menjaga keselamatan laut, maka pemanfaatan potensi bahari juga akan menghancurkan laut itu sendiri secara perlahan. Dengan demikian, budaya mencintai laut hendaklah menjadi fokus perhatian dalam seminar BWCF 2013.
            Selain menyoal bahasan Bahari Nusantara, penyelenggaraan BWCF 2013 pula diarahkan untuk menggali perihal kekayaan Nusantara lainnya yakni rempah. Salah satu kekayaan Nusantara yang bermanfaat besar, namun belum mendapatkan perhatian secara optimal. Mengingat rempah yang menjadi bahan obat-obatan tradisional (jamu) dan bumbu masak tersebut sangat bermanfaat bagi kesehatan.
            Budaya mengonsumsi jamu atau kuliner dengan menggunakan bahan rempah akan dipresentasikan oleh beberapa pakar pada event BWCF 2013. Dalam hal ini, BWCF 2013 berupaya untuk membuka kran kesadaran bahwa gaya hidup manusia dengan mengonsumsi jamu dan kuliner dengan bahan rempah adalah lebih higinis ketimbang mengonsumsi obat-obatan kimiawi dan makanan instant.

Catatan Akhir
            Dengan menelaah tema yang diusung, kiranya penyelenggaraan BWCF 2013 cenderung diaarahkan sebagai media kontemplatif perihal pemikiran-pemikiran para leluhur Nusantara. Pemikiran-pemikiran arif dalam mengantisipasi arus modern yang cenderung mengajarkan manusia untuk hidup serba insant namun berefek samping buruk pada kesehatan raga dan keselamatan bumi. Terlepas dari tema, BWCF 2013 tetap menarik untuk senantiasa diikuti kiprahnya.

Sri Wintala Achmad,
 tinggal di Cilacap
Catatan:
Naskah ini telah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Minggu, 20 Oktober 2013.
Sumber Foto:
http://cabiklunik.blogspot.co.id/2013/10/tifa-melihat-budaya-maritim-lewat-bwcf.html

SENI RUPA