TEMU SASTRA JAWA
BUKAN HIBURAN
SESAAT
Oleh: Sri Wintala Achmad
Sebagian pemerhati
Sastra Jawa mengatakan, bahwa Sastra Jawa sudah senasib kakek jompo yang
berdiri dengan topangan tongkat rapuh di tepi lubang kubur. Sementara sebagian
pemerhati lainnya memberikan persepsi tanpa basa-basi, “Sastra Jawa sudah mengalami
sakaratul maut. Sebentar lagi mati.”
Persepsi buruk perihal nasib
kehidupan Sastra Jawa di muka sekiranya yang dijadikan pijakan atas penyelenggaraan
Temu Sastra Jawa – ‘Sastra Jawa Madhangi Jagad’ di Yogyakarta (Hotel Grand
Surya), Jumat-Kamis, 4-6 Desember 2015. Salah satu event yang cukup mewah (kalau tidak mau disebut megah) dengan melibatkan
sejumlah sastrawan Jawa, pemerhati Sastra Jawa, dan instansi terkait dari
Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.
Membebaskan
Nasib Buruk Sastra Jawa
Kalau
memperhatikan tema penyelenggaraan Temu Sastra Jawa yang diselengarakan oleh
Dinas Kebudayaan Yogyakarta (DKY) tersebut, kiranya event ini bertujuan agar Sastra Jawa dapat memberi penerang dunia (madhangi jagad). Bukan hanya dunia lahir,
namun juga dunia batin yang menghampar di dalam jiwa manusia. Dengan demikian,
Sastra Jawa diobsesikan sebagai salah satu media di dalam membangun dunia batin
(kepribadian) manusia Jawa yang mengalami abrasi akibat pengaruh budaya modern
(baca: budaya Barat).
Tujuan Sastra
Jawa dapat menjadi penerang dunia sungguh luhur, namun betapa susah untuk dijangkau.
Karena diibaratkan, tujuan tersebut serupa hendak menjadikan Sastra Jawa
sebagai jembatan bianglala untuk meraih bintang kejora paling agung yang
memancar keemasan di lapisan langit terpuncak. Tujuan yang tidak lebih sebagai mimpi
indah setiap tengah malam, dan tidak pernah terwujud manakala kembali terjaga pagi
hari.
Pendapat di atas
perlu dikemukakan, mengingat kehidupan Sastra Jawa sudah senasib anak burung yang
kehilangan induknya. Kalau tidak segera mendapatkan pertolongan, anak burung itu
akan tewas. Tentu saja, menolong anak burung itu bukan sekadar memberi hiburan
sesaat hingga terdiam dari cericitnya yang sangat berisik dan memelas. Melainkan mengasuh dengan penuh
kasih-sayang, menyuapi dengan sabar dan tulus, serta memberikan ruang kepak
yang selapang-lapangnya. Bukan justru memenjarakannya, ketika anak burung itu tumbuh
dewasa di dalam sangkar gading yang sempit.
Membebaskan
Sastra Jawa dari nasib buruknya serupa memberikan pertolongan pada anak burung
yang kehilangan induknya. Artinya, beberapa lembaga baik swasta maupun pemerintah
yang menghendaki tetap berlangsungnya kehidupan Sastra Jawa hingga mengalami
pertumbuhkembangan seyogyanya bukan sekadar mengadakan event pertemuan, dan terlebih pelatihan (workshop) penulisan, atau lomba cipta (baca) karya Sastra Jawa yang
hanya bersifat hiburan sesaat. Tetapi upaya tersebut harus disertai dengan
langkah pendampingan supaya para sastrawan Jawa tetap setia menggubah karya-karnya
(geguritan, cerkak, cerbung, atau novel) yang memenuhi standar kualitatif.
Langkah
pendampingan terhadap sastrawan Jawa bukan sekadar berhenti sampai di situ.
Langkah pendampingan selanjutnya, dimana lembaga swasta atau pemerintah harus
memberikan santunan dana kepada setiap sastrawan potensial untuk menerbitkan
karya-karyanya. Bukan sekadar mendorong para sastrawan supaya tetap setia mempublikasikan
karya-karya di beberapa Kalawarti Basa Jawa yang kuantitasnya mulai bisa dihitung
dengan jari satu tangan.
Langkah
pendampingan terhadap para sastrawan Jawa yang dilakukan oleh lembaga swasta
atau pemerintah harus dibarengi dengan pembinaan dalam bidang penulisan serta
peningkatan minat baca terhadap karya Sastra Jawa di lingkup sekolah. Mengapa
demikian? Karena buku-buku yang memuat karya Sastra Jawa yang diterbitkan oleh
lembaga swasta atau pemerintah (bisa bekerja sama dengan penerbit profesional)
seyogyanya didistribusikan ke sekolah-sekolah sebagai penunjang pelajaran
Bahasa dan Sastra Jawa bagi seluruh anak didik. Bila upaya ini terealisasikan,
maka Sastra Jawa yang ditujukan sebagai penerang dunia atau membangun
kepribadian manusia sejak usia dini tersebut akan terwujud.
Apabila karya Sastra
Jawa sudah diminati oleh generasi penerus yang dimulai dari lingkup sekolah,
maka akan terbentuklah masyarakat pembaca setia. Karenanya tidak pelak lagi,
kehidupan Sastra Jawa akan mengalami suatu pertumbuhkembangan yang signifikan di
masa mendatang. Banyak sastrawan berbakat akan dilahirkan. Kalawarti Basa Jawa
yang memuat karya-karya Sastra Jawa akan mengalami suatu peningkatan jumlah dan
oplah, karena meningkatnya kuantitas pembaca (pelanggan). Tidak hanya di lingkup
sekolah, namun pula di ruang-ruang publik yang lebih luas.
Pesan
yang Layak Diperhatikan
Terakhir ditandaskan, hendaklahn event Temu Sastra Jawa yang
diselenggarakan oleh DKY tersebut dijadikan sebagai garis start di dalam menyelamatkan, melestarikan, serta menumbuhkembangkan
Sastra Jawa yang prospeknya dapat meningkatkan kualitas kreatif bagi para
sastrawan serta sekaligus mampu membangun kepribadian generasi Jawa.
Sehingga amatlah
naif, apabila event Temu Sastra Jawa tersebut
sekadar dimaknai secara dangkal yakni sebagai ajang kangen-kangenan antar sastrawan yang datang dari berbagai daerah,
adu pintar berolah gagasan antar pemerhati (ahli) Sastra Jawa, atau pesta pora
yang menghabiskan banyak dana tanpa memberikan gema. Tanpa membuahkan hasil yang
benar-benar nyata.
Sri Wintala Achmad
Peserta Temu Sastra Jawa dari Jawa Tengah
Tinggal di Cilacap Utara, Cilacap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar