Entri yang Diunggulkan

INDONESIAN POEM BY BAMBANG DARTO

THE EARLY EVENING When raining the clock is damaged and the sun is dark the day has no wind when the thunder burglarizes chest my he...

Kamis, 18 Januari 2018

PUISI-PUISI SURYANTO SASTROATMODJO

BALADA PURING

1
Keris kuna, belati tua
menyentak mimpi keranda
Tapi siapakah mengetuk pintu berkarat ini
selain persekutuanku sendiri?

2
Demikian Puring bersama gelojoh puisi
menebarkan aroma paling sangit
serta menyeka pelipisku: o, sedu-nikmat
karena daku pelabuhnya. Dan di sini punjer bengawan

3
Lantas dituntaskan tarian ronggeng
mengusap jelujur rembangan. Tangis tak berbasuh
Sebayang penggal onani
ditinggal sekar buron bauran

4
Sangkal-sangkal jadi memberat:
O, aduh! aduh! -- pekikan tanpa ujung
tengah malam desa Puring
mengalur geliur sinting

5
Cuma aku terbebas dari amarah gladrah
Kala talas-talas menggatal di jantung
dan batinku terkoyak nista
jauh dari sebuah bentangan gelisah

6
Mungkinlah kawal dan gelepar
menguasai dongeng pancawarna
Tatkala sanjung tak lagi dibendung
oleh serbuan si anak ontang-anting

7
Adalah itu, pekik-pekik tengah sandungan
dan belum pamit pada guru. Bukit longsor di utara
seperti lecehan seorang pembual. Asing dan dangkal
jadi sebuah limit sipit

8
Maka pada juntrung pelabuhan, cintaku membenam
bagai kentalnya air mani di kenikmatan cumbana
Seraya melantunkan puisi Asmaradana
Kawah letih, buana merintih
landungnya sanggama pasrah
Dan hidup adalah hutang pada Sang Poyang



BALADA BIANGLALA

I
Tarian tanah gamping di celup suntukku
O, derap kajian ufuk
Menjenguk setugal malam. Pelatuk sangsi ke situ
Dan adalah rengkuhan puncak
Malahan ada yang silam berkepundan
pabila bukit boyong ke pedalaman
dan para dalang mengulir blencong

II
Terang bagai manikmata pencalang
aku merogoh lambung lubuk
lantas bicara bahwa ada cuaca kuyup
Maka adalah merdunya kidung
seonggok pengestu bunda kandung
Wahai, jalan setapak ini adalah goresanku!

III
Meski usia muda bukan pelengkap derita
adalah dikau juga menggalang siksa
dalam penantian kisruh tanpa nada?
Wataklah dilambuk bencah sawah
padahal tiap jengkal gesang ugahari
adalah juga sejelang juru bicara
O, aku sendiri menistai Kyai-Nyai Puring
dan memerankan Jaka Ladrang nan gempal

IV
Sampai akhirnya kutemukan benua baru
bukan dalam lelatu. Bukan pendaman justa leluhur
Bukan siapa pun. Cuma gelegak rerasan bergeboyar
Lantas para jiran mengusap tangis
Desa Kuning mengucap selamat tinggal
bagi Jaka Ladrang yang raib
dari haribaan kadang-karuh



BALADA NILAKANDI

I
Dan pagi pun resik. Menala bakti rumesik
dalam tayung-tayungan kelana
Kuhamparkan tembang anclum. Tembang alum
lamun warna bumiku tambah ungu
kemudian satu pahala menyeru ujung-ujung
cenungan istirah sangsi
sampai sebuah sangkakala menderu

II
Bukankah biduk tak berpelita
menguasai pagi sekali, dan sekali lagi
Mengusah serapah simbah
dan akhirnya membilang syukur pada matahari
Entah pabila suntingan saksi
serta pabila pengharapan dini
menggeliar kowar dan jentar
-- penyap di ribaan Mak Tijah!
lantas berakhir di beledru tawang –

III
Nilakandi, o bayang baurku sendiri
tatkala alam menyatukan puspita maya
dan di awal tepungan – karuh dan rengkuh
senantiasa kasih hadir. Mengungkai gelisah
biar aku jadi gembala, o, dingin
dan menyembah kabut di pulungan lilin

IV
Sampai matra ke selikur lindur. Sampai daya luruh
dan alangkah jauh gapaian senandung
Seru dan sentak si bocah lurung
ditundung, diharung dan dilarung
cakrawala yang tanpa tudung




SURYANTO SASTROATMODJO (KRT Suryo Puspo Hadinegoro), lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, 5 November 1951. Terakhir bekerja di Harian Bernas. Menulis dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Karya-karya sastranya dimuat di berbagai media massa baik pusat maupun daerah. Karya-karya sastranya dibukukan dalam: Pagi Cerah Awal April, Setetes Embun Pagi, Di atas Andong Yogya, Di Kaki Langit Utara, Surat-Surat Cinta, Aku Pangeran Muda, Tugu (1986), dll. Selain sebagai penyair (sastrawan); memperhatikan kehidupan sastra, seni, dan budaya Jawa; serta sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar