Menulis Novel,
Mencipta Dunia
Tersendiri
Oleh: Sri Wintala Achmad
dan R. Toto Sugiharto
Menulis novel bagi Budi Sardjono merupakan pekerjaan yang
sangat menarik. Karena selain beberapa alasan di muka, Budi Sardjono dapat
mencipta dunia tersendiri melalui novel-novelnya. Membuat sesuatu yang
tidak ada menjadi ada. Mempelajari berbagai macam
karakter
manusia, menciptakan tokoh-tokoh, membangun
konflik
antar tokoh, serta
merangkai kata-kata menjadi kalimat.
SEBELUM
dikenal dengan nama pena Budi Sardjono, sastrawan yang terbilang produktif
dalam menulis cerita anak, cerpen, novelet, novel, dan esai baik untuk penerbit
maupun harian, mingguan, dan majalah di Indonesia tersebut semula dikenal
dengan nama Agnes Yani Sardjono. Nama yang mengesankan kepada masyarakat
pembaca sastra, bahwa penulis yang sekarang tinggal di wilayah Kabupaten Sleman
(Yogyakarta) tersebut berkelamin perempuan.
Karena tidak lahir dari keluarga sastrawan,
Budi Sardjono tertarik menulis bukan karena dorongan ayahnya yang bekerja
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ibunya yang berstatus sebagai Ibu Rumah
Tangga, melainkan dari panggilan hati nuraninya sendiri. Ketertarikan untuk
menulis karya sastra itu muncul, ketika puisinya yang dimuat di Majalah Dian
(Flores) mendapatkan honorarium.
Sejak merasakan nikmatnya mendapatkan
honorarium atas puisinya; Budi Sardjono yang semula bercita-cita ingin menjadi
kernet colt kampus semakin produktif dalam menulis dan mengirimkan
karya-karyanya ke koran, majalah, dan penerbit. Namun sesudah mengetahui
honorarium puisi lebih kecil ketimbang honorarium prosa (cerpen, novelet, dan
novel); Budi Sardjono tidak lagi menulis puisi. Berangkat dari pendapat
pribadinya itu, Budi Sardjono yang kemudian dikenal sebagai prosais (lebih
khusus sebagai novelis) tidak terpengaruh lagi untuk menyandang predikat
“penyair”, sungguhpun banyak bergaul dengan para penyair yang tergabung di
dalam komunitas Persada Studi Klup (PSK) asuhan Umbu Landu Paranggi.
Dari Rama Dick, Iwan
Simatupang, hingga Boris Paternak
Spirit Budi Sardjono untuk menekuni
profesinya sebagai penulis prosa semakin berkobar tatkala Pater Dick Hartoko
(Rama Dick) mengajaknya bergabung di majalah BASIS. Sesudah tercatat sebagai
salah seorang redaktur BASIS, Budi Sardjono merasa seperti bebek yang tercebur
ke dalam kolam, makhluk beruntung karena mendapatkan ruang kondusif untuk
mengembangkan profesinya. Ruang di mana Budi Sardjono dapat membaca berbagai
majalah dan buku-buku sastra bermutu tinggi yang merupakan salah satu sumber
inspirasi untuk melahirkan karya-karya novelnya.
Sungguhpun tidak pernah mengarahkan menjadi
penulis karya sastra, namun Rama Dick tetap memiliki peran besar dalam proses
kepenulisan Budi Sardjono. Melalui Rama Dick, Budi Sardjono mendapatkan jalan
yang semakin lebar untuk mengembangkan profesinya sebagai penulis novel.
Selain Rama Dick, terdapat dua nama novelis
besar yakni Iwan Simatupang dan Boris Paternak yang berpengaruh dalam proses
kepenulisan Budi Sardjono. Melalui novel bertajuk “Ziarah” dan “Merahnya Merah”
karya Iwan Simatupang, Budi Sardjono dapat belajar tentang ide-ide liarnya.
Melalui novel bertajuk “Dr. Zhivago” karya Boris Paternak, Budi Sardjono dapat
mempelajari kalimat-kalimatnya yang lembut,
romantis, dan sangat menyentuh.
Karenanya, bila mencermati karya-karya novel Budi Sardjono senantiasa memiliki
gaya kepenulisan gabungan antara Iwan Simatupang dan Boris Paternak.
Mendapat Honor Besar
Disertai Proses Kreatif yang Benar
Dengan menulis novel, Budi Sardjono merasa
memiliki arti. Merasa memiliki sumbangsih (sekalipun hanya sedikit) terhadap dunia sastra di negeri ini. Merasa bisa menghibur secara sehat dan kreatif kepada ribuan orang yang
pernah membaca karya-karya novelnya.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka menulis
novel bagi Budi Sardjono merupakan pekerjaan yang sangat menarik. Karena selain
beberapa alasan di muka, Budi Sardjono dapat mencipta dunia tersendiri melalui
novel-novelnya. Membuat sesuatu yang tidak ada menjadi
ada. Mempelajari berbagai macam karakter manusia, menciptakan tokoh-tokoh, membangun konflik
antar tokoh, serta
merangkai kata-kata menjadi kalimat.
Daya tarik lain dari menulis novel yakni
honornya yang besar bila dipublikasikan oleh penerbit. Terlebih ketika novel
tersebut berhasil memenangkan sayembara. Selain mendapatkan hadiah yang besar,
nama penulisnya akan menjadi lebih terkenal. Karena alasan inilah, Budi
Sardjono menekuni profesi sebagai novelis hingga sekarang.
Akan tetapi untuk dapat menulis novel yang
memenuhi standar kualitatif hingga
menghasilkan honor besar harus disertai dengan proses kreatif yang benar.
Lantas bagaimana dengan proses kreatif Budi Sardjono untuk dapat menuliskan
novel yang berkualitas? Berdasarkan pengalamannya, Budi Sardjono senantiasa
melakukan tiga tahapan proses dalam menciptakan karya-karya novelnya, yakni: pertama, mendapatkan ide. Melalui
pengamatan terhadap kehidupan masyarakat setempat dan nglayap (mengunjungi beberapa tempat yang akan dijadikan setting cerita), wawancara dengan
pihak-pihak terkait, serta membaca buku-buku pendukung; Budi Sardjono akan
mendapatkan ide.
Di dalam mendapatkan ide, Budi Sardjono juga
melakukan riset. Karena riset dapat memperkuat alur dan setting cerita,
serta memerkaya perbendaharaan kosa kata dan idiom-idiom yang ada
di lingkup
masyarakat tertentu. Sehingga
pembaca akan yakin bahwa cerita di dalam novel itu tidak ngayawara atau
sekadar menjadi cerita pelipur lara. Di samping, pembaca
akan mendapatkan informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan cerita dalam novel itu.
Sesudah ide yang sesungguhnya bisa datang
kapan dan di mana saja itu didapatkan, Budi Sardjono tidak pernah melakukan
pencatatan. Akan tetapi, menggodok ide itu masak-masak serta menyimpannya
serapi mungkin di dalam memorinya. Kenapa
demikian? Karena mencatat ide hanya dianggapnya sebagai pemborosan waktu.
Kedua, menuangkan ide.
Ketika ide sudah dirasa matang, Budi Sardjono kemudian menuangkannya ke dalam
karya novel tanpa terlebih dahulu membuat sinopsisnya. Pengertian
lain, Budi Sardjono membiarkan ide itu berkembang sesuai alur yang sering
berubah karena penemuan-penemuan tidak terduga selama proses penulisan.
Pandangan di muka berdasarkan pemahaman Budi
Sardjono, bahwa hidup itu berproses. Karenanya, manusia harus berani mengubah
alur dan menentukan alur hidupnya sendiri. Dari sini, manusia akan mendapatkan
hasil optimal dari karyanya dan bukan hasil sekadarnya karena tergantung pada
nasib.
Ketiga, melakukan
penyuntingan dan koreksi aksara. Sesudah penulisan naskah novel selesai, Budi
Sardjono tidak segera mengirimkannya ke penerbit. Demi menjaga kesempurnaan
karyanya, Budi Sardjono melakukan penyuntingan dan koreksi aksara. Dengan
demikian, naskah tersebut memiliki peluang besar untuk dapat diterbitkan
(dipublikasikan) di ruang apresiasi publik.
Kiat Menulis Novel Sejarah
Sebagai novelis, Budi Sardjono tidak hanya
menulis novel bertema umum, namun pula bertema sejarah. Dalam dunia sastra,
novel bertema sejarah ini sering disebut dengan fiksi sejarah. Karya fiksi yang
ceritanya terinspirasi (bukan memotret) dari kisah sejarah.
Dalam menulis novel sejarah, Budi Sardjono
cenderung memilih tema mitos yang sudah dianggap sejarah oleh publik, semisal:
mitos Nyai Lara Kidul (novel Sang Nyai)
dan Roro Jonggrang (novel Roro Jonggrang). Namun dalam penulisan novel sejarah,
Budi Sardjono bukan sekadar meng-copy
paste sejarah (mitos) yang ada, melainkan mengembangkannya secara liar,
sehingga mampu menghipnotis pembaca. Trik dalam penulisan novel sejarah menurut
Budi Sardjono, sebagai berikut:
1. Sejarah (mitos) > 2. Riset > 3. Mengembangkan
lagi > 4. Mengkreasikan lagi secara liar > 5. Karya baru
Bila menilik trik di muka, maka dapat
dijelaskan bahwa Budi Sardjono dalam menulis novel sejarah selalu mengembangkan
dan mengkreasikan lagi sejarah liar terhadap fakta sejarah. Mengingat novel
sejarah identik dengan fiksi sejarah, maka imajinasi sangat dominan dalam
penulisan. Jika penulis terjebak ke dalam fakta sejarah dan tidak berani
mengolahnya, maka novel sejarah hanya kepanjangan tangan sejarawan. Dalam hal
ini, misi seorang novelis seharusnya menjadi jembatan bagi pembaca untuk
mengajak agar mereka tertarik membaca sejarah yang dianggap “resmi” itu.
Dari Pengalaman
Mistik hingga Pengalaman Mendebarkan
Selama menekuni penulisan novel, banyak
pengalaman mistik, unik, menyenangkan, atau mendebarkan yang dialami Budi
Sardjono. Pengalaman mistik yang dialami Budi Sardjono ketika sedang melakukan
penulisan novel “Sang Nyai” yakni sering melihat bayangan yang berkelebat di
pintu.
Sesudah novel Sang Nyai dirampungkan dan
diterbitkan Diva Press, Budi Sardjono kembali menemukan pengalaman unik yang
merupakan efek dari novel tersebut. Pada suatu hari, Budi Sardjono mendapatkan
telefon dari seorang pengusaha kaya yang sempat membaca novel Sang Nyai. Melalui
telefon, sang penguasaha kaya meminta pada Budi Sardjono yang dianggapnya
sebagai orang pintar itu untuk mempertemukan dirinya dengan Ratu Kidul. Kalau
dapat memenuhi permintaan sang pengusaha kaya itu, Budi Sardjono akan diberi
imbalan ratusan juta rupiah. Karena memang tidak mampu, Budi Sardjono hanya
bilang kepada sang penguasa kaya bahwa cerita dalam novel Sang Nyai hanyalah
fiksi dan bukan pengalanan pertemuannya dengan penguasa laut selatan itu.
Masih berkaitan dengan penglaman yang
ditimbulkan oleh novel Sang Nyai. Namun
kali ini bukan pengalaman mistik dan unik, melainkan pengalaman yang
menyenangkan. Suatu saat, Budi Sardjono mendapatkan telefon dari salah seorang
pembaca novel Sang Nyai. Selain tertarik dengan novel itu, si penelefon meminta
Budi Sardjono untuk datang ke Jakarta. Setiba di Jakarta, Budi Sardjono diajak
untuk menerbitkan majalah kebudayaan Adiluhung. Dengan senang hati, Budi
Sardjono menerima ajakan itu. Ketika majalah Adiluhung terbit, Budi Sardjono
tercatat sebagai pimpinan redaksi.
Selain pengalaman yang menyenangkan,
pengalaman mendebarkan juga pernah dialami Budi Sardjono. Manakala melakukan
riset untuk menulis novelet Kemarau Hutan Jati, Budi Sardjono yang berusaha
membongkar berbagai praktik pencurian kayu itu dicari para benggol maling untuk
dibunuh. Sungguhpun mendebarkan, namun riset yang mempertaruhkan nyawa itu
membuahkan hasil yang manis. Novelet Kemarau Hutan Jati berhasil memenangkan
lomba cipta novelet majalah Femina.
Pandangan:
Masyarakat, Pasar, dan Pemerintah
Sebagai novelis, Budi Sardjono tidak pernah
merasa diabaikan masyarakat. Dari beberapa novelnya yang sering cetak ulang
tersebut, Budi Sardjono meyakini bahwa masyarakat bersedia menerima dan
mengapresiasi karya-karyanya. Namun, Budi Sardjono
tidak pernah mengukur atau menimbang seberapa berat atau
besarnya apresiasi itu. Budi
Sardjono yakin kalau karyanya bermutu, maka masyarakat akan memberi apresiasi. Selain itu, para mahasiswa akan menjadikan
beberapa novelnya sebagai bahan kajian skripsi.
Berkaitan dengan pasar, Budi Sardjono selalu
mempelajari karakter (selera) pembaca. Dengan
demikian, Budi Sardjono selalu menyesuaikan tema dan isi novelnya dengan
karakter pembaca. Hal ini merupakan langkah cerdas, agar novelnya dapat
diterbitkan dan laku keras di pasaran. Berdasarkan strategi brilian dalam
memasarkan novel tersebut, Budi Sardjono akan mendapatkan royalti tambahan
setiap cetak ulang.
Perihal peran pemerintah terhadap novelis
khususnya dan sastrawan pada umumnya, Budi Sardjono tidak pernah memikirkan.
Sebab nasib mereka tidak tergantung pada pemerintah, melainkan pada diri mereka
sendiri. Sungguhpun Budi Sardjono pernah mendapatkan rezeki dari pemerintah
melalui proyek buku Inpres. Melalui hasil dari
proyek tersebut, Budi Sardjono kemudian dapat membangun rumah.
Masih seputar pemerintah. Satu hal yang
membuat jengkel Budi Sardjono bila berbicara tentang kebijakan pemerintah yakni
masih membebankan pajak bagi para penulis. Mengingat penghasilan (honor)
penulis di Indonesia masih di bawah standar kelayakan. Untuk itu, Budi Sardjono
berharap agar pemerintah menganulir PPH 21 bagi para penulis.
Kiat Menjadi
Sastrawan Mandiri dan Tahan Banting
Selama menekuni kepenulisan novel,
Budi Sardjono tidak pernah belajar di perguruan tinggi serta berguru kepada
para seniornya. Pengertian lain, Budi Sardjono merintis profesinya sebagai
novelis dilakukan dengan otodidak. Sungguhpun begitu, Budi Sardjono tetap
menghargai pelatihan sastra melalui sanggar. Mengingat pendidikan sanggar lebih
mengutamakan praktik (70%) ketimbang teori (30%). Di sanggar, terdapat pula
interaksi kreatif yang sehat antara senior dan yunior. Sehingga, orang-orang
yang tekun berlatih di sanggar akan mengerti tujuan hidup berkesusastraan tidak njagakake (mengandalkan) pemerintah. Mereka
juga akan lebih tahan banting.
Agar menjadi sastrawan yang
mandiri dan tahan banting, Budi Sardjono berpesan: pertama, hendaklah seniman atau sastrawan mencintai terhadap
dunia yang digeluti. Kalau hanya coba-coba, dari pada tidak, ikut arus, aji
mumpung;
maka sastrawan tidak akan dapat bertahan lama dalam menekuni
bidang yang digelutinya.
Kedua, seorang sastrawan
harus memiliki niat yang kuat, tahan uji, sanggup bekerja keras, melakukan
inovasi, dan tidak memburu popularitas. Sebab, sastrawan
yang bukan sekadar memburu popularitas, namun pula terus meningkatkan kualitas
karyanya, maka masyarakat akan memberikan apresiasi. Dengan demikian, sastrawan
tersebut akan dikenal secara luas serta prospek karyanya akan mampu menghidupi
jiwa dan raganya.
***
Dengan
menulis novel, Budi Sardjono mencipta dunia tersendiri. Dunia imajiner dengan
tokoh-tokoh yang dihadirkannya senampak ada namun tiada. Dunia rekaan yang
merefleksikan dunia riil, yang penuh dengan berbagai persoalan anak manusia.
Hingga pembaca dapat menangkap bahwa dunia imajiner yang diciptakan Budi Sardjono
seolah tidak ada batasnya dengan dunia riil. Ibarat dua sisi dalam uang logam.
Biodata
Nama:
Budi Sardjono
Kelahira: Yogyakarta, 6 September 1953
Ayah
: Musono (alm)
Ibu:
Mujiyem (almh)
Istri:
Agnes Yaena
Anak: Yohana Fransiska Alisstyaning, Gregorius Riyan Seto
Aji
Pendidikan: Otodidak
Karya
Fiksi:
-
Novelet
Topeng Malaikat (Labuh, 2005).
-
Novelet
Dua Kado Bunuh Diri (Labuh, 2005).
-
Novelet
Rembulan Putih (Labuh, 2005).
-
Novelet
Ojo Dumeh (Nusatama,1997).
-
Novelet
Selendang Kawung (Gita Nagari, 2002).
-
Novelet
Angin Kering Gunungkidul (Gita Nagari, 2005).
-
Novelet
Kabut dan Mimpi (Labuh, 2005).
-
Novel
Sang Nyai (Diva Press, 2011).
-
Novel
Kembang Turi (Diva Press, 2011).
-
Novel
Api Merapi (Diva Press, 2012).
-
Novel
Roro Jonggrang (Diva Press, 2013).
-
Novel
Nyai Gowok (Diva Press, 2014).
Karya
lain:
-
Hidup
Rasa Jeruk, Doa Rasa Capucino (Dioma, 2006)
-
7
Mukjizat Sehari Semalam (Visi Media 2007)
-
Meditasi
Syukur 20 Menit (Kanisius, Cetakan ke-5, 2014)
-
Meditasi
Cinta 20 Menit (Kanisius, Cetakan ke-2, 2014)
-
7
Meditasi Penyegar Hidup (Kanisius, Cetakan ke-3, 2014)
-
Aneka
Homili Prodiakon (Kanisius, Cetakan ke-5, 2014)
-
25 Ayat Dahsyat (Benito Editore, 2011)
-
Anugerah-Anugerah
Prodiakon (Kanisius, 2013)
-
Membuat
Renungan Itu Mudah(Kanisius, 2015)
Pekerjaan:
-
Wakil
Pimpinan Umum Majalah Kebudayaan BASIS (1986-1996).
-
Koresponden
Majalah KARTINI wilayah Jateng – DIY (1989-1998).
-
Redaktur
Pelaksana Majalah UTUSAN (1984-2009).
-
Pemimpin
Redaksi Majalah ADILUHUNG (2013-sekarang).
-
Redaktur
Majalah SABANA (2013-sekarang).
Penghargaan:
-
Novel
“Sang Nyai” memperoleh Penghargaan Sastra dari Balai Bahasa Daerah Istimewa
Yogyakarta, 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar