Entri yang Diunggulkan

INDONESIAN POEM BY BAMBANG DARTO

THE EARLY EVENING When raining the clock is damaged and the sun is dark the day has no wind when the thunder burglarizes chest my he...

Kamis, 11 Januari 2018

PROFIL BUDI SARDJONO

Menulis Novel,
Mencipta Dunia Tersendiri
Oleh: Sri Wintala Achmad dan R. Toto Sugiharto


Menulis novel bagi Budi Sardjono merupakan pekerjaan yang sangat menarik. Karena selain beberapa alasan di muka, Budi Sardjono dapat mencipta dunia tersendiri melalui novel-novelnya. Membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Mempelajari berbagai macam karakter manusia, menciptakan tokoh-tokoh, membangun konflik antar tokoh, serta merangkai kata-kata menjadi kalimat.

SEBELUM dikenal dengan nama pena Budi Sardjono, sastrawan yang terbilang produktif dalam menulis cerita anak, cerpen, novelet, novel, dan esai baik untuk penerbit maupun harian, mingguan, dan majalah di Indonesia tersebut semula dikenal dengan nama Agnes Yani Sardjono. Nama yang mengesankan kepada masyarakat pembaca sastra, bahwa penulis yang sekarang tinggal di wilayah Kabupaten Sleman (Yogyakarta) tersebut berkelamin perempuan.
Karena tidak lahir dari keluarga sastrawan, Budi Sardjono tertarik menulis bukan karena dorongan ayahnya yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ibunya yang berstatus sebagai Ibu Rumah Tangga, melainkan dari panggilan hati nuraninya sendiri. Ketertarikan untuk menulis karya sastra itu muncul, ketika puisinya yang dimuat di Majalah Dian (Flores) mendapatkan honorarium.
Sejak merasakan nikmatnya mendapatkan honorarium atas puisinya; Budi Sardjono yang semula bercita-cita ingin menjadi kernet colt kampus semakin produktif dalam menulis dan mengirimkan karya-karyanya ke koran, majalah, dan penerbit. Namun sesudah mengetahui honorarium puisi lebih kecil ketimbang honorarium prosa (cerpen, novelet, dan novel); Budi Sardjono tidak lagi menulis puisi. Berangkat dari pendapat pribadinya itu, Budi Sardjono yang kemudian dikenal sebagai prosais (lebih khusus sebagai novelis) tidak terpengaruh lagi untuk menyandang predikat “penyair”, sungguhpun banyak bergaul dengan para penyair yang tergabung di dalam komunitas Persada Studi Klup (PSK) asuhan Umbu Landu Paranggi.

Dari Rama Dick, Iwan Simatupang, hingga Boris Paternak
Spirit Budi Sardjono untuk menekuni profesinya sebagai penulis prosa semakin berkobar tatkala Pater Dick Hartoko (Rama Dick) mengajaknya bergabung di majalah BASIS. Sesudah tercatat sebagai salah seorang redaktur BASIS, Budi Sardjono merasa seperti bebek yang tercebur ke dalam kolam, makhluk beruntung karena mendapatkan ruang kondusif untuk mengembangkan profesinya. Ruang di mana Budi Sardjono dapat membaca berbagai majalah dan buku-buku sastra bermutu tinggi yang merupakan salah satu sumber inspirasi untuk melahirkan karya-karya novelnya.
Sungguhpun tidak pernah mengarahkan menjadi penulis karya sastra, namun Rama Dick tetap memiliki peran besar dalam proses kepenulisan Budi Sardjono. Melalui Rama Dick, Budi Sardjono mendapatkan jalan yang semakin lebar untuk mengembangkan profesinya sebagai penulis novel.
Selain Rama Dick, terdapat dua nama novelis besar yakni Iwan Simatupang dan Boris Paternak yang berpengaruh dalam proses kepenulisan Budi Sardjono. Melalui novel bertajuk “Ziarah” dan “Merahnya Merah” karya Iwan Simatupang, Budi Sardjono dapat belajar tentang ide-ide liarnya. Melalui novel bertajuk “Dr. Zhivago” karya Boris Paternak, Budi Sardjono dapat mempelajari kalimat-kalimatnya yang lembut, romantis, dan sangat menyentuh. Karenanya, bila mencermati karya-karya novel Budi Sardjono senantiasa memiliki gaya kepenulisan gabungan antara Iwan Simatupang dan Boris Paternak.

Mendapat Honor Besar Disertai Proses Kreatif yang Benar
Dengan menulis novel, Budi Sardjono merasa memiliki arti. Merasa memiliki sumbangsih (sekalipun  hanya sedikit) terhadap dunia sastra di negeri ini. Merasa bisa menghibur secara sehat dan kreatif kepada ribuan orang yang pernah membaca karya-karya novelnya.


Berdasarkan pendapat tersebut, maka menulis novel bagi Budi Sardjono merupakan pekerjaan yang sangat menarik. Karena selain beberapa alasan di muka, Budi Sardjono dapat mencipta dunia tersendiri melalui novel-novelnya. Membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Mempelajari berbagai macam karakter manusia, menciptakan tokoh-tokoh, membangun konflik antar tokoh, serta merangkai kata-kata menjadi kalimat.
Daya tarik lain dari menulis novel yakni honornya yang besar bila dipublikasikan oleh penerbit. Terlebih ketika novel tersebut berhasil memenangkan sayembara. Selain mendapatkan hadiah yang besar, nama penulisnya akan menjadi lebih terkenal. Karena alasan inilah, Budi Sardjono menekuni profesi sebagai novelis hingga sekarang.
Akan tetapi untuk dapat menulis novel yang memenuhi standar kualitatif  hingga menghasilkan honor besar harus disertai dengan proses kreatif yang benar. Lantas bagaimana dengan proses kreatif Budi Sardjono untuk dapat menuliskan novel yang berkualitas? Berdasarkan pengalamannya, Budi Sardjono senantiasa melakukan tiga tahapan proses dalam menciptakan karya-karya novelnya, yakni: pertama, mendapatkan ide. Melalui pengamatan terhadap kehidupan masyarakat setempat dan nglayap (mengunjungi beberapa tempat yang akan dijadikan setting cerita), wawancara dengan pihak-pihak terkait, serta membaca buku-buku pendukung; Budi Sardjono akan mendapatkan ide.
Di dalam mendapatkan ide, Budi Sardjono juga melakukan riset. Karena riset dapat memperkuat alur dan setting cerita, serta memerkaya perbendaharaan kosa kata dan idiom-idiom yang ada di lingkup masyarakat tertentu. Sehingga pembaca akan yakin bahwa cerita di dalam novel itu tidak ngayawara atau sekadar menjadi cerita pelipur lara. Di samping, pembaca akan mendapatkan informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan cerita dalam novel itu.
Sesudah ide yang sesungguhnya bisa datang kapan dan di mana saja itu didapatkan, Budi Sardjono tidak pernah melakukan pencatatan. Akan tetapi, menggodok ide itu masak-masak serta menyimpannya serapi mungkin di dalam memorinya. Kenapa demikian? Karena mencatat ide hanya dianggapnya sebagai pemborosan waktu.
Kedua, menuangkan ide. Ketika ide sudah dirasa matang, Budi Sardjono kemudian menuangkannya ke dalam karya novel tanpa terlebih dahulu membuat sinopsisnya. Pengertian lain, Budi Sardjono membiarkan ide itu berkembang sesuai alur yang sering berubah karena penemuan-penemuan tidak terduga selama proses penulisan.
Pandangan di muka berdasarkan pemahaman Budi Sardjono, bahwa hidup itu berproses. Karenanya, manusia harus berani mengubah alur dan menentukan alur hidupnya sendiri. Dari sini, manusia akan mendapatkan hasil optimal dari karyanya dan bukan hasil sekadarnya karena tergantung pada nasib.
Ketiga, melakukan penyuntingan dan koreksi aksara. Sesudah penulisan naskah novel selesai, Budi Sardjono tidak segera mengirimkannya ke penerbit. Demi menjaga kesempurnaan karyanya, Budi Sardjono melakukan penyuntingan dan koreksi aksara. Dengan demikian, naskah tersebut memiliki peluang besar untuk dapat diterbitkan (dipublikasikan) di ruang apresiasi publik.

Kiat Menulis Novel  Sejarah
Sebagai novelis, Budi Sardjono tidak hanya menulis novel bertema umum, namun pula bertema sejarah. Dalam dunia sastra, novel bertema sejarah ini sering disebut dengan fiksi sejarah. Karya fiksi yang ceritanya terinspirasi (bukan memotret) dari kisah sejarah.
Dalam menulis novel sejarah, Budi Sardjono cenderung memilih tema mitos yang sudah dianggap sejarah oleh publik, semisal: mitos Nyai Lara Kidul (novel Sang  Nyai) dan Roro Jonggrang (novel Roro Jonggrang). Namun dalam penulisan novel sejarah, Budi Sardjono bukan sekadar meng-copy paste sejarah (mitos) yang ada, melainkan mengembangkannya secara liar, sehingga mampu menghipnotis pembaca. Trik dalam penulisan novel sejarah menurut Budi Sardjono, sebagai berikut:

1. Sejarah  (mitos) > 2. Riset > 3. Mengembangkan lagi > 4. Mengkreasikan lagi secara liar > 5. Karya baru

Bila menilik trik di muka, maka dapat dijelaskan bahwa Budi Sardjono dalam menulis novel sejarah selalu mengembangkan dan mengkreasikan lagi sejarah liar terhadap fakta sejarah. Mengingat novel sejarah identik dengan fiksi sejarah, maka imajinasi sangat dominan dalam penulisan. Jika penulis terjebak ke dalam fakta sejarah dan tidak berani mengolahnya, maka novel sejarah hanya kepanjangan tangan sejarawan. Dalam hal ini, misi seorang novelis seharusnya menjadi jembatan bagi pembaca untuk mengajak agar mereka tertarik membaca sejarah yang dianggap “resmi” itu.

Dari Pengalaman Mistik hingga Pengalaman Mendebarkan
Selama menekuni penulisan novel, banyak pengalaman mistik, unik, menyenangkan, atau mendebarkan yang dialami Budi Sardjono. Pengalaman mistik yang dialami Budi Sardjono ketika sedang melakukan penulisan novel “Sang Nyai” yakni sering melihat bayangan yang berkelebat di pintu.
Sesudah novel Sang Nyai dirampungkan dan diterbitkan Diva Press, Budi Sardjono kembali menemukan pengalaman unik yang merupakan efek dari novel tersebut. Pada suatu hari, Budi Sardjono mendapatkan telefon dari seorang pengusaha kaya yang sempat membaca novel Sang Nyai. Melalui telefon, sang penguasaha kaya meminta pada Budi Sardjono yang dianggapnya sebagai orang pintar itu untuk mempertemukan dirinya dengan Ratu Kidul. Kalau dapat memenuhi permintaan sang pengusaha kaya itu, Budi Sardjono akan diberi imbalan ratusan juta rupiah. Karena memang tidak mampu, Budi Sardjono hanya bilang kepada sang penguasa kaya bahwa cerita dalam novel Sang Nyai hanyalah fiksi dan bukan pengalanan pertemuannya dengan penguasa laut selatan itu.
Masih berkaitan dengan penglaman yang ditimbulkan oleh novel Sang Nyai. Namun  kali ini bukan pengalaman mistik dan unik, melainkan pengalaman yang menyenangkan. Suatu saat, Budi Sardjono mendapatkan telefon dari salah seorang pembaca novel Sang Nyai. Selain tertarik dengan novel itu, si penelefon meminta Budi Sardjono untuk datang ke Jakarta. Setiba di Jakarta, Budi Sardjono diajak untuk menerbitkan majalah kebudayaan Adiluhung. Dengan senang hati, Budi Sardjono menerima ajakan itu. Ketika majalah Adiluhung terbit, Budi Sardjono tercatat sebagai pimpinan redaksi.
Selain pengalaman yang menyenangkan, pengalaman mendebarkan juga pernah dialami Budi Sardjono. Manakala melakukan riset untuk menulis novelet Kemarau Hutan Jati, Budi Sardjono yang berusaha membongkar berbagai praktik pencurian kayu itu dicari para benggol maling untuk dibunuh. Sungguhpun mendebarkan, namun riset yang mempertaruhkan nyawa itu membuahkan hasil yang manis. Novelet Kemarau Hutan Jati berhasil memenangkan lomba cipta novelet majalah Femina.

Pandangan: Masyarakat, Pasar, dan  Pemerintah
Sebagai novelis, Budi Sardjono tidak pernah merasa diabaikan masyarakat. Dari beberapa novelnya yang sering cetak ulang tersebut, Budi Sardjono meyakini bahwa masyarakat bersedia menerima dan mengapresiasi karya-karyanya. Namun, Budi Sardjono tidak pernah mengukur atau menimbang seberapa berat atau besarnya apresiasi itu. Budi Sardjono yakin kalau karyanya bermutu, maka masyarakat akan memberi apresiasi. Selain itu, para mahasiswa akan menjadikan beberapa novelnya sebagai bahan kajian skripsi.
Berkaitan dengan pasar, Budi Sardjono selalu mempelajari karakter (selera) pembaca. Dengan  demikian, Budi Sardjono selalu menyesuaikan tema dan isi novelnya dengan karakter pembaca. Hal ini merupakan langkah cerdas, agar novelnya dapat diterbitkan dan laku keras di pasaran. Berdasarkan strategi brilian dalam memasarkan novel tersebut, Budi Sardjono akan mendapatkan royalti tambahan setiap cetak ulang.
Perihal peran pemerintah terhadap novelis khususnya dan sastrawan pada umumnya, Budi Sardjono tidak pernah memikirkan. Sebab nasib mereka tidak tergantung pada pemerintah, melainkan pada diri mereka sendiri. Sungguhpun Budi Sardjono pernah mendapatkan rezeki dari pemerintah melalui proyek buku Inpres. Melalui hasil dari proyek tersebut, Budi Sardjono kemudian dapat membangun rumah.
Masih seputar pemerintah. Satu hal yang membuat jengkel Budi Sardjono bila berbicara tentang kebijakan pemerintah yakni masih membebankan pajak bagi para penulis. Mengingat penghasilan (honor) penulis di Indonesia masih di bawah standar kelayakan. Untuk itu, Budi Sardjono berharap agar pemerintah menganulir PPH 21 bagi para penulis. 

Kiat Menjadi Sastrawan Mandiri dan Tahan Banting
            Selama menekuni kepenulisan novel, Budi Sardjono tidak pernah belajar di perguruan tinggi serta berguru kepada para seniornya. Pengertian lain, Budi Sardjono merintis profesinya sebagai novelis dilakukan dengan otodidak. Sungguhpun begitu, Budi Sardjono tetap menghargai pelatihan sastra melalui sanggar. Mengingat pendidikan sanggar lebih mengutamakan praktik (70%) ketimbang teori (30%). Di sanggar, terdapat pula interaksi kreatif yang sehat antara senior dan yunior. Sehingga, orang-orang yang tekun berlatih di sanggar akan mengerti tujuan hidup berkesusastraan tidak njagakake (mengandalkan) pemerintah. Mereka juga akan lebih tahan banting.
Agar menjadi sastrawan yang mandiri dan tahan banting, Budi Sardjono berpesan: pertama, hendaklah seniman atau sastrawan mencintai terhadap dunia yang digeluti. Kalau hanya coba-coba, dari pada tidak, ikut arus, aji mumpung; maka sastrawan tidak akan dapat bertahan lama dalam menekuni bidang yang digelutinya.
Kedua, seorang sastrawan harus memiliki niat yang kuat, tahan uji, sanggup bekerja keras, melakukan inovasi, dan tidak memburu popularitas. Sebab, sastrawan yang bukan sekadar memburu popularitas, namun pula terus meningkatkan kualitas karyanya, maka masyarakat akan memberikan apresiasi. Dengan demikian, sastrawan tersebut akan dikenal secara luas serta prospek karyanya akan mampu menghidupi jiwa dan raganya.
***

       Dengan menulis novel, Budi Sardjono mencipta dunia tersendiri. Dunia imajiner dengan tokoh-tokoh yang dihadirkannya senampak ada namun tiada. Dunia rekaan yang merefleksikan dunia riil, yang penuh dengan berbagai persoalan anak manusia. Hingga pembaca dapat menangkap bahwa dunia imajiner yang diciptakan Budi Sardjono seolah tidak ada batasnya dengan dunia riil. Ibarat dua sisi dalam uang logam. 


Biodata

Nama: Budi Sardjono
Kelahira: Yogyakarta, 6 September 1953
Ayah : Musono (alm)
Ibu: Mujiyem (almh)
Istri: Agnes Yaena
Anak: Yohana Fransiska Alisstyaning, Gregorius Riyan Seto Aji
Pendidikan: Otodidak

Karya Fiksi:
-          Novelet Topeng Malaikat (Labuh, 2005).
-          Novelet Dua Kado Bunuh Diri (Labuh, 2005).
-          Novelet Rembulan Putih (Labuh, 2005).
-          Novelet Ojo Dumeh (Nusatama,1997).
-          Novelet Selendang Kawung (Gita Nagari, 2002).
-          Novelet Angin Kering Gunungkidul (Gita Nagari, 2005).
-          Novelet Kabut dan Mimpi (Labuh, 2005).
-          Novel Sang Nyai (Diva Press, 2011).
-          Novel Kembang Turi (Diva Press, 2011).
-          Novel Api Merapi (Diva Press, 2012).
-          Novel Roro Jonggrang (Diva Press, 2013).
-          Novel Nyai Gowok (Diva Press, 2014).

Karya lain:
-          Hidup Rasa Jeruk, Doa Rasa Capucino (Dioma, 2006)
-          7 Mukjizat Sehari Semalam (Visi Media 2007)
-          Meditasi Syukur 20 Menit (Kanisius, Cetakan ke-5, 2014)
-          Meditasi Cinta 20 Menit (Kanisius, Cetakan ke-2, 2014)
-          7 Meditasi Penyegar Hidup (Kanisius, Cetakan ke-3, 2014)
-          Aneka Homili Prodiakon (Kanisius, Cetakan ke-5, 2014)
-           25 Ayat Dahsyat (Benito Editore, 2011)
-          Anugerah-Anugerah Prodiakon (Kanisius, 2013)
-          Membuat Renungan Itu Mudah(Kanisius, 2015)

Pekerjaan:
-          Wakil Pimpinan Umum Majalah Kebudayaan BASIS (1986-1996).
-          Koresponden Majalah KARTINI wilayah Jateng – DIY (1989-1998).
-          Redaktur Pelaksana Majalah UTUSAN (1984-2009).
-          Pemimpin Redaksi Majalah ADILUHUNG (2013-sekarang).
-          Redaktur Majalah SABANA (2013-sekarang).

Penghargaan:
-          Novel “Sang Nyai” memperoleh Penghargaan Sastra dari Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, 2012


Sumber:
Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #15, Indra Tranggono, Sri Wintala Achmad, R. Toto Sugiharto, Elyandra Widharta, Taman Budaya Yogyakarta, 2016. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar