PUISI, JALAN
SUNYI, DAN KEKASIH ABADI
[Catatan
Perjalanan Kreatif Tiga Penyair]
Oleh: Sri Wintala Achmad
Apa itu puisi?
Demikianlah pertanyaan yang sering terdengar dari kalangan penyair atau
masyarakat pembaca puisi. Sekalipun seorang kritikus yang lebih memiliki
tanggung jawab di dalam memberikan jawaban atas pertanyaan ini, namun tidak ada
salahnya bila seorang kreator mencoba memahami perihal pengertian puisi. Karena
dengan memahaminya, penyair akan dapat menulis puisi dengan baik. Lantas
bagaimana pengertian puisi tersebut?
Dalam bahasa
Inggris, puisi disebut sebagai poetry
atau poem. Akan tetapi secara
definitif, terdapat perbedaan pengertian antara poetry dengan poem. Poetry adalah puisi yang mengacu pada
isi. Sementara poem adalah puisi yang
mengacu pada bentuk, seperti: tipografi, diksi, metafora, dsb. Karenanya dalam
pengeritan substansial, puisi lazim dimaknai sebagai ekspresi pengalaman
empirik puitik dari seorang penyair yang melibatkan unsur bentuk dan isi. Tentu
saja, pengekspresian atas pengalaman empirik puitik tersebut, seorang penyair
niscaya mengerahkan sepenuh daya rasa, imjinasi, intuisi, dan logika.
Berpijak dari
persepsi di muka, maka setiap pembaca yang ingin memahami karya puisi senantiasa
menggunakan pendekatan dua unsur tersebut, yakni bentuk dan isi. Melalui
keduanya, pembaca dapat mencermati bentuk dan sekaligus mengapresiasi isi yang
tersurat (eksplisit) atau tersirat (implisit) dalam puisi. Dari pengapresiasian
isi puisi, pembaca dapat memahami gagasan yang dilukiskan oleh seorang penyair
melalui ekspresi puitiknya.
Sebagai
pembaca, di dalam saya mencermati dan memahami karya-karya ketiga penyair – Trisantun
Abuyafi Ranaatmaja (Ajibarang),
Muhammad Rois Rinaldi (Banten), dan Widi Prasetia (Yogyakarta) – yang terkumpul
dalam Antologi Puisi ‘KALAMORGANA’ pula senantiasa menggunakan pendekatan
bentuk dan isi. Dari kedua unsur tersebut (terutama, isi); saya akan mengetahui
tentang gagasan ketiga penyair yang dilukiskan melalui karya-karyanya. Berikut
adalah hasil pencermatan saya terhadap karya-karya dari ketiga penyair
tersebut.
Trisnatun:
Penyair Sunyi yang Mendamba Hakiki
Banyak persepsi menyatakan, penyair
adalah seorang pengembara sunyi yang selalu menyusuri jalan setapak berkelok
dan mendaki di dalam rimba belantara berkabut. Sebuah simbol kehidupan yang
hanya dapat dipahami esensinya, bila penyair dapat menguak rahasia
lambang-lambang di balik tabirnya. Rahasia yang dapat ditangkap dengan kawaskitan batin.
Persepsi perihal penyair di muka
sejalan dengan karya Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja yang bertajuk TENTANG SEORANG
PENYAIR. Pada awal karya tersebut, Trisnanun mengungkapkan perihal esensi
penyair sebagai berikut: //maka berlayarlah ia
sendirian/mengarungi luasnya samudra kata/menangguk makna dari kedalaman
palungnya…//.
Potongan puisi tersebut menunjukkan, Trisnatun telah berhasil
menangkap perihal esensi seorang penyair. Seorang yang senantiasa gelisah untuk
menjalani laku batin dalam upaya memahami hakikat dari balik gelar kehidupan.
Laku batin sebagaimana yang telah Bima tempuh untuk mendapatkan tirta perwitasari di dasar inti samudera laya kehidupan.
Kiranya kegelisahan telah menjadi
bagian kehidupan Trisnatun yang sering dihadapkan pada seleret-seleret
persoalan baik bersifat internal maupun eksternal (horisontal atau
transendental). Kegelisahan yang menggugah untuk bertanya tentang hakikat
segala sesuatu dari lingkup kehidupannya, sekalipun pertanyaan itu acapkali tak
menemukan kepastian jawaban. Tilik bait pertama pada puisi ‘CAKRAWALA CINTA’,
sebagai berikut: //bertanya dan tak menemukan jawaban. terus mencari tanpa
pernah/menemukan. apakah akan terhenti oleh kelelahan?//.
Kegelisahan penyair Trisnatun atas pertanyaan-pertanyaan yang
selalu menggelora di dalam benak dan jiwanya, namun dilakukan terus-menerus
sebagaimana pekerjaan sisifus yang selalu mendorong batu ke puncak sebelum
terjatuh ke kaki gunung tersebut diungkapkan dengan gamblang pada bait terakhir
puisi ‘JEJAK’: //…sedangkan gelisah jiwa masih saja bergelora/untuk menyapa dan menyapa/semua
tentang kau!//.
Namun apa yang digelisahkan oleh penyair Trisnatun
bukanlah sia-sia. Karena pertanyaan demi pertanyaan atau sapaan demi sapaan
merupakan suatu proses untuk mengenal lebih jauh tentang ‘kau’ yang bisa dimaknai
sebagai hakikat itu sendiri. Hakikat dimana hidup adalah suatu proses yang
bergerak secara matematik dari titik ‘1’ hingga titik ‘0’ tersebut tanpa
mempertimbangan hasil sebagai capaian terakhir.
Kegelisahan yang tidak terlepas dari segudang pertanyaan
tersebut cenderung mewarnai seluruh karya puisi Trisnatun.
Pertanyaan-pertanyaan yang tidak sebatas tentang esensi cinta, namun pula
tentang esensi warna-warni kehidupan dan Tuhan itu sendiri. Karenanya selain
sebagai penyair dan guru biologi, Trisnatun dapat disebut sebagai filsuf yang
mengungkapkan kegelisahan pemikiran-pemikiran filososfisnya melalui puisi.
Salah satu media untuk memahami hakikat dari segala hal yang tertangkap oleh
jaring indrawi.
Rinaldi: Musyafir yang Berbekal
Imaji Menuju Sunyi
Sebagaimana penyair Trisnatun
Abuyafi Ranaatmaja, penyair Muhammad Rois Rinandi pula telah memandang, bahwa
penyair adalah tak ubah seorang musyafir yang senantiasa menempuh jalan sunyi
untuk mengenal sang jati diri. Langkah reflektif sepanjang perjalanan menuju
batas hayat dan sekaligus sebagai kunci pembuka pintu rumah kesejatian.
Selengkapnya persepsi Rinaldi tentang esensi penyair tersebut dapat disimak
pada bait kedua puisi ‘HIKAYAT WINGIT’: //sejatinya
hidup adalah musafir/meski dalam setiap perjalanan/melintasi negeri imaji tanpa
tepi/puisi berpeluh tak pernah selesai/mengukur jarak tempuh terjauh/tapi jika
senja t’lah turuni langit/terasa singkat sekali hakikat diri/diamdiam
menghimpun sepi/dalamdalam susupi ruang pribadi/punguti tasbih di lintasan wingit/ketika
batas itu benar datang/membuka pintu menuju pulang//.
Lebih jauh melalui puisi
‘BISMILLAH’, Rinaldi yang telah menguak: /…liang
lahat: pertemuan paling pribadi antara khaliq dan mahluk…/ adalah sejalan
dengan konsep filosofis yang menyatakan bahwa liang lahat adalah ruang awang-uwung. Ruang kasampurnaning dumadi yang disimbolisasikan dengan bilangan ‘0’.
Ruang kesempurnaan hidup yang merupakan tempat kemanunggalan kosmis antara
makhluk (jagad cilik/mikro-kosmis)
dan Khaliq (jagad ageng/makro-kosmis).
Dalam konsep sufistik Jawa, kemanunggalan kosmis ini lazim disebut dengan manunggaling kawula lan Gusti. Lebih
jauh, persepsi kemanunggalan kosmis yang dirindukan oleh penganut sufistik
tersebut telah dilukiskan Rinaldi dengan apiknya melalui bait terakhir puisi
‘BISMILLAH’: //saatnya lintasi jalan
sunyi--di kedirian nurani/jadilah qasidah angin yang menabuh rebana
rumi/melanggamkan jutaan bait rindu pada Sang Satu/hingga kau mabuk benar ingin
lekas bertemu/sebagaimana dalam puisi kau ingin tegak berdiri/tancapkan pilar
makna semburatkan cahaya putih/memancar-belahlah hakikat sempurnakan tarikat
hati//.
Namun
terdapat satu hal yang perlu dicatat, bahwa manusia yang dapat mencapai
kemanunggalan kosmis harus memahami terlebih dulu tentang makna sangkaning dumadi (asal kehidupan).
Dimana manusia yang telah tercipta dari paduan sperma dan sel telur dan
mendapatkan roh dari Tuhan tersebut senantiasa tidak terlepas dengan peran
seorang ayah dan ibu. Terutama ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui,
serta merawat anak-anak di muka bumi. Karenanya dalam ajaran agama disebutkan,
“Surga berada di bawah telapak kaki ibu!”
Pemahaman
bahwa sangkaning dumadi yang
merupakan kunci kemanunggalan kosmis di dalam ruang sunyi ‘kematian’ (paripurnaning dumadi) tersebut kiranya
diyakini kebenarannya oleh Rinaldi. Melalui puisi ‘KEPADA MAUT’, Rinaldi telah
melukiskan keyakinannya itu adalah sebagai berikut: //ketika aku mengerang kesakitan/menyambut kedataganmu/yang gaib tanpa
abaaba/lunaskan dulu dahaga puting susu/ dan jika telah datang saatku
kembali/akhirilah dengan salam paling ibu//.
Dari sini dapat ditangkap, bahwa
spirit cinta dari seorang penyair Rinaldi pada Tuhan-nya yang diibaratkan
sebagai puncak perjalanan sunyinya itu adalah setara dengan kecintaannya pada
ibunya. Hulu sungai yang telah mengalirkan air menuju hilir. Simbolisasi dari
alam keabadian, tempat dimana Sang Khalig itu berada.
Widi Prasetia, Perindu Sang Satu
Tak ubahnya karya-karya Muhammad
Rois Rinaldi, karya-karya Widi Prasetia pula melukiskan tentang kecintaan
seorang anak pada sang ibu, serta kerinduan dari seorang hamba pada Tuhan-nya.
Sang Maha Kekasih Abadi yang senantiasa ditakhtakan oleh kaum sufi di kerajaan
kalbunya.
Di mata Widi Prasetia, figur seorang
ibu layaknya sebagai penopang kekuatan bagi bangunan jiwa seorang anak yang
teramat ringkih. Figur termulia yang pantas dijunjung tinggi dan mendapatkan
sembah bakti lebih dari seorang raja oleh seorang anak. Karenanya melalui bait
kedua dalam puisi ‘SEPUCUK SAJAK UNTUK IBUNDA DI SELA TAKBIR’, Widi Prasetia
melukiskan figur seorang ibu dengan ungkapan ugaharinya namun menyimpan
kedalaman maknanya, sebagai berikut: //ibunda,
segala tentangmu adalah/alasan untukku terus bertahan di tepian
sini/melanjutkan langkah menempuh tualang/meski tak jarang tersandung
perih/sebab bagimu, segala bakti kujalani//.
Selain berbicara tentang ibu, Widi
Praseya pula berbicara tentang kerinduan seorang hamba pada Tuhan-nya melalui
puisi ‘MUNAJAT’. Dalam puisi
tersebut, kerinduan Widi Prasetia untuk manunggal
dengan Tuhannya sebagai perwujudan unitas antara sifat dan dzat, cahaya dan
lampu, atau panas dan api terungkap pada bait terakhir sebagai berikut: //Tuhanku,
untukMu pujapuji/hingga berhenti detik waktu/menunggu jemputMu/bersama semua/pendar rindu/menjadi satu//.
Kerinduan Widi Prasetia akan kemanunggalan
kosmis tersirat pula pada bait terakhir puisi ‘HIKAYAT HAKIKAT’:
//hanya harap yang bisa kuhimpun/dalam
resah yang meratap/hingga di titik nadir, mampu kulunasi segala hikayatku
menemu hakikatmu/menjadi satu dengan Sang Satu//. Melalui puisi tersebut,
Widi Prasetia mengimplikasikan bahwa tiada harapan di balik kegelisahan jiwa
manusia selain menemukan hakikat Sang Khaliq yang merupakan kunci kemanungalan
kosmis. Widi Prasetia pun kembali
menegaskan spirit sufistiknya melalui dua baris terakhir dari bait
terakhir puisi ‘MEMOAR
MALAM SUATU KETIKA’: //…dan aku, masih takjub merangkulMu/Sang Satu dalam segala denyarku//.
Hal yang tak
kalah menariknya adalah puisi Widi Prasetia yang bertajuk ‘BALADA SERAT DEWA
RUCI’. Selain mengangkat tema wayang, puisi tersebut pula merefleksikan spirit
sufistik Widi Prasetia. Karena kandungan serat Dewa Ruci tersebut membeberkan
laku spiritual Bima yang dimulai dari Padepokan Sokalima, Gunung Reksamuka,
hingga berakhir di inti dasar samudera laya. Laku spiritual Bima yang dimulai
dari pemahaman sangkan paraning dumadi
hingga jumbuhing kawula-Gusti yang
mengarah pada kemanunggalan kosmis, yakni: ‘Aku
(Bima) sajroning Ingsuni (Ruci), Ingsun sajroning aku’.
Seusai mencermati karya-karya
Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja, Muhammad Rois Rinaldi, dan Widi Prasetia yang
terkoleksi dan terseleksi dalam Antologi Puisi KALAMORGANA memunculkan kesan
bahwa ketiga penyair tersebut adalah para pejalan sunyi yang senantiasa
merindukan hakikat Sang Ingsun. Kekasih Abadi yang sesungguhnya bertakhta di
dalam kerajaan kalbu.
Berbijak dari
pandangan di muka, puisi-puisi dari ketiga penyair tersebut dapat dimaknai
sebagai tiga anak tangga. Anak tangga pertama, sebagai media untuk pengenalan
jati diri dan sekaligus sangkan paraning
dumadi (muasal dan tujuan kehidupan). Anak tangga ke dua, sebagai media
untuk menunjang upaya penyelarasan kosmis (jumbuhing
kawula-Gusti). Anak tangga ke tiga, sebagai media untuk mencapai
kemanunggalan kosmis (manunggaling
kawula-Gusti) yang bermuara pada kesempurnaan hidup (kasampurnaning dumadi).
Melihat dari
siratan maknanya, puisi-puisi yang telah mereka ciptakan tidak terkesan sekadar
hadir, namun telah mampu memaknai kehadirannya. Pengertian lain, puisi-puisi
tersebut telah mampu memberikan pencerahan batin bagi penyairnya sendiri, dan
sekaligus sebagai media refleksi dan kontemplasi bagi pembaca. Dari sinilah,
interaksi antara penyair dan masyarakat pembaca dapat terjalin.
Sri Wintala Achmad,
Pembaca puisi tinggal di Cilacap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar