Entri yang Diunggulkan

INDONESIAN POEM BY BAMBANG DARTO

THE EARLY EVENING When raining the clock is damaged and the sun is dark the day has no wind when the thunder burglarizes chest my he...

Rabu, 09 Desember 2015

SASTRA

PUISI, JALAN SUNYI, DAN KEKASIH ABADI
[Catatan Perjalanan Kreatif Tiga Penyair]

Oleh: Sri Wintala Achmad

Apa itu puisi? Demikianlah pertanyaan yang sering terdengar dari kalangan penyair atau masyarakat pembaca puisi. Sekalipun seorang kritikus yang lebih memiliki tanggung jawab di dalam memberikan jawaban atas pertanyaan ini, namun tidak ada salahnya bila seorang kreator mencoba memahami perihal pengertian puisi. Karena dengan memahaminya, penyair akan dapat menulis puisi dengan baik. Lantas bagaimana pengertian puisi tersebut?
Dalam bahasa Inggris, puisi disebut sebagai poetry atau poem. Akan tetapi secara definitif, terdapat perbedaan pengertian antara poetry dengan poem. Poetry adalah puisi yang mengacu pada isi. Sementara poem adalah puisi yang mengacu pada bentuk, seperti: tipografi, diksi, metafora, dsb. Karenanya dalam pengeritan substansial, puisi lazim dimaknai sebagai ekspresi pengalaman empirik puitik dari seorang penyair yang melibatkan unsur bentuk dan isi. Tentu saja, pengekspresian atas pengalaman empirik puitik tersebut, seorang penyair niscaya mengerahkan sepenuh daya rasa, imjinasi, intuisi, dan logika.
Berpijak dari persepsi di muka, maka setiap pembaca yang ingin memahami karya puisi senantiasa menggunakan pendekatan dua unsur tersebut, yakni bentuk dan isi. Melalui keduanya, pembaca dapat mencermati bentuk dan sekaligus mengapresiasi isi yang tersurat (eksplisit) atau tersirat (implisit) dalam puisi. Dari pengapresiasian isi puisi, pembaca dapat memahami gagasan yang dilukiskan oleh seorang penyair melalui ekspresi puitiknya.
Sebagai pembaca, di dalam saya mencermati dan memahami karya-karya ketiga penyair – Trisantun Abuyafi Ranaatmaja (Ajibarang), Muhammad Rois Rinaldi (Banten), dan Widi Prasetia (Yogyakarta) – yang terkumpul dalam Antologi Puisi ‘KALAMORGANA’ pula senantiasa menggunakan pendekatan bentuk dan isi. Dari kedua unsur tersebut (terutama, isi); saya akan mengetahui tentang gagasan ketiga penyair yang dilukiskan melalui karya-karyanya. Berikut adalah hasil pencermatan saya terhadap karya-karya dari ketiga penyair tersebut.
                                                                                    
Trisnatun: Penyair Sunyi yang Mendamba Hakiki
            Banyak persepsi menyatakan, penyair adalah seorang pengembara sunyi yang selalu menyusuri jalan setapak berkelok dan mendaki di dalam rimba belantara berkabut. Sebuah simbol kehidupan yang hanya dapat dipahami esensinya, bila penyair dapat menguak rahasia lambang-lambang di balik tabirnya. Rahasia yang dapat ditangkap dengan kawaskitan batin.
            Persepsi perihal penyair di muka sejalan dengan karya Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja yang bertajuk TENTANG SEORANG PENYAIR. Pada awal karya tersebut, Trisnanun mengungkapkan perihal esensi penyair sebagai berikut: //maka berlayarlah ia sendirian/mengarungi luasnya samudra kata/menangguk makna dari kedalaman palungnya…//.
Potongan puisi tersebut menunjukkan, Trisnatun telah berhasil menangkap perihal esensi seorang penyair. Seorang yang senantiasa gelisah untuk menjalani laku batin dalam upaya memahami hakikat dari balik gelar kehidupan. Laku batin sebagaimana yang telah Bima tempuh untuk mendapatkan tirta perwitasari di dasar inti samudera laya kehidupan.
            Kiranya kegelisahan telah menjadi bagian kehidupan Trisnatun yang sering dihadapkan pada seleret-seleret persoalan baik bersifat internal maupun eksternal (horisontal atau transendental). Kegelisahan yang menggugah untuk bertanya tentang hakikat segala sesuatu dari lingkup kehidupannya, sekalipun pertanyaan itu acapkali tak menemukan kepastian jawaban. Tilik bait pertama pada puisi ‘CAKRAWALA CINTA’, sebagai berikut: //bertanya dan tak menemukan jawaban. terus mencari tanpa pernah/menemukan. apakah akan terhenti oleh kelelahan?//.
Kegelisahan penyair Trisnatun atas pertanyaan-pertanyaan yang selalu menggelora di dalam benak dan jiwanya, namun dilakukan terus-menerus sebagaimana pekerjaan sisifus yang selalu mendorong batu ke puncak sebelum terjatuh ke kaki gunung tersebut diungkapkan dengan gamblang pada bait terakhir puisi ‘JEJAK’: //…sedangkan gelisah jiwa masih saja bergelora/untuk menyapa dan menyapa/semua tentang kau!//.
Namun apa yang digelisahkan oleh penyair Trisnatun bukanlah sia-sia. Karena pertanyaan demi pertanyaan atau sapaan demi sapaan merupakan suatu proses untuk mengenal lebih jauh tentang ‘kau’ yang bisa dimaknai sebagai hakikat itu sendiri. Hakikat dimana hidup adalah suatu proses yang bergerak secara matematik dari titik ‘1’ hingga titik ‘0’ tersebut tanpa mempertimbangan hasil sebagai capaian terakhir.
Kegelisahan yang tidak terlepas dari segudang pertanyaan tersebut cenderung mewarnai seluruh karya puisi Trisnatun. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak sebatas tentang esensi cinta, namun pula tentang esensi warna-warni kehidupan dan Tuhan itu sendiri. Karenanya selain sebagai penyair dan guru biologi, Trisnatun dapat disebut sebagai filsuf yang mengungkapkan kegelisahan pemikiran-pemikiran filososfisnya melalui puisi. Salah satu media untuk memahami hakikat dari segala hal yang tertangkap oleh jaring indrawi.

Rinaldi: Musyafir yang Berbekal Imaji Menuju Sunyi
            Sebagaimana penyair Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja, penyair Muhammad Rois Rinandi pula telah memandang, bahwa penyair adalah tak ubah seorang musyafir yang senantiasa menempuh jalan sunyi untuk mengenal sang jati diri. Langkah reflektif sepanjang perjalanan menuju batas hayat dan sekaligus sebagai kunci pembuka pintu rumah kesejatian. Selengkapnya persepsi Rinaldi tentang esensi penyair tersebut dapat disimak pada bait kedua puisi ‘HIKAYAT WINGIT’: //sejatinya hidup adalah musafir/meski dalam setiap perjalanan/melintasi negeri imaji tanpa tepi/puisi berpeluh tak pernah selesai/mengukur jarak tempuh terjauh/tapi jika senja t’lah turuni langit/terasa singkat sekali hakikat diri/diamdiam menghimpun sepi/dalamdalam susupi ruang pribadi/punguti tasbih di lintasan wingit/ketika batas itu benar datang/membuka pintu menuju pulang//.
            Lebih jauh melalui puisi ‘BISMILLAH’, Rinaldi yang telah menguak: /…liang lahat: pertemuan paling pribadi antara khaliq dan mahluk…/ adalah sejalan dengan konsep filosofis yang menyatakan bahwa liang lahat adalah ruang awang-uwung. Ruang kasampurnaning dumadi yang disimbolisasikan dengan bilangan ‘0’. Ruang kesempurnaan hidup yang merupakan tempat kemanunggalan kosmis antara makhluk (jagad cilik/mikro-kosmis) dan Khaliq (jagad ageng/makro-kosmis). Dalam konsep sufistik Jawa, kemanunggalan kosmis ini lazim disebut dengan manunggaling kawula lan Gusti. Lebih jauh, persepsi kemanunggalan kosmis yang dirindukan oleh penganut sufistik tersebut telah dilukiskan Rinaldi dengan apiknya melalui bait terakhir puisi ‘BISMILLAH’: //saatnya lintasi jalan sunyi--di kedirian nurani/jadilah qasidah angin yang menabuh rebana rumi/melanggamkan jutaan bait rindu pada Sang Satu/hingga kau mabuk benar ingin lekas bertemu/sebagaimana dalam puisi kau ingin tegak berdiri/tancapkan pilar makna semburatkan cahaya putih/memancar-belahlah hakikat sempurnakan tarikat hati//.
Namun terdapat satu hal yang perlu dicatat, bahwa manusia yang dapat mencapai kemanunggalan kosmis harus memahami terlebih dulu tentang makna sangkaning dumadi (asal kehidupan). Dimana manusia yang telah tercipta dari paduan sperma dan sel telur dan mendapatkan roh dari Tuhan tersebut senantiasa tidak terlepas dengan peran seorang ayah dan ibu. Terutama ibu yang telah mengandung, melahirkan, menyusui, serta merawat anak-anak di muka bumi. Karenanya dalam ajaran agama disebutkan, “Surga berada di bawah telapak kaki ibu!”
Pemahaman bahwa sangkaning dumadi yang merupakan kunci kemanunggalan kosmis di dalam ruang sunyi ‘kematian’ (paripurnaning dumadi) tersebut kiranya diyakini kebenarannya oleh Rinaldi. Melalui puisi ‘KEPADA MAUT’, Rinaldi telah melukiskan keyakinannya itu adalah sebagai berikut: //ketika aku mengerang kesakitan/menyambut kedataganmu/yang gaib tanpa abaaba/lunaskan dulu dahaga puting susu/ dan jika telah datang saatku kembali/akhirilah dengan salam paling ibu//.
            Dari sini dapat ditangkap, bahwa spirit cinta dari seorang penyair Rinaldi pada Tuhan-nya yang diibaratkan sebagai puncak perjalanan sunyinya itu adalah setara dengan kecintaannya pada ibunya. Hulu sungai yang telah mengalirkan air menuju hilir. Simbolisasi dari alam keabadian, tempat dimana Sang Khalig itu berada.

Widi Prasetia, Perindu Sang Satu
            Tak ubahnya karya-karya Muhammad Rois Rinaldi, karya-karya Widi Prasetia pula melukiskan tentang kecintaan seorang anak pada sang ibu, serta kerinduan dari seorang hamba pada Tuhan-nya. Sang Maha Kekasih Abadi yang senantiasa ditakhtakan oleh kaum sufi di kerajaan kalbunya.
            Di mata Widi Prasetia, figur seorang ibu layaknya sebagai penopang kekuatan bagi bangunan jiwa seorang anak yang teramat ringkih. Figur termulia yang pantas dijunjung tinggi dan mendapatkan sembah bakti lebih dari seorang raja oleh seorang anak. Karenanya melalui bait kedua dalam puisi ‘SEPUCUK SAJAK UNTUK IBUNDA DI SELA TAKBIR’, Widi Prasetia melukiskan figur seorang ibu dengan ungkapan ugaharinya namun menyimpan kedalaman maknanya, sebagai berikut: //ibunda, segala tentangmu adalah/alasan untukku terus bertahan di tepian sini/melanjutkan langkah menempuh tualang/meski tak jarang tersandung perih/sebab bagimu, segala bakti kujalani//.
            Selain berbicara tentang ibu, Widi Praseya pula berbicara tentang kerinduan seorang hamba pada Tuhan-nya melalui puisi ‘MUNAJAT’. Dalam puisi tersebut, kerinduan Widi Prasetia untuk manunggal dengan Tuhannya sebagai perwujudan unitas antara sifat dan dzat, cahaya dan lampu, atau panas dan api terungkap pada bait terakhir sebagai berikut: //Tuhanku, untukMu pujapuji/hingga berhenti detik waktu/menunggu jemputMu/bersama semua/pendar rindu/menjadi satu//.
Kerinduan Widi Prasetia akan kemanunggalan kosmis tersirat pula pada bait terakhir puisi ‘HIKAYAT HAKIKAT’: //hanya harap yang bisa kuhimpun/dalam resah yang meratap/hingga di titik nadir, mampu kulunasi segala hikayatku menemu hakikatmu/menjadi satu dengan Sang Satu//. Melalui puisi tersebut, Widi Prasetia mengimplikasikan bahwa tiada harapan di balik kegelisahan jiwa manusia selain menemukan hakikat Sang Khaliq yang merupakan kunci kemanungalan kosmis. Widi Prasetia pun kembali menegaskan spirit sufistiknya melalui dua baris terakhir dari bait terakhir puisiMEMOAR MALAM SUATU KETIKA’: //…dan aku, masih takjub merangkulMu/Sang Satu dalam segala denyarku//.
            Hal yang tak kalah menariknya adalah puisi Widi Prasetia yang bertajuk ‘BALADA SERAT DEWA RUCI’. Selain mengangkat tema wayang, puisi tersebut pula merefleksikan spirit sufistik Widi Prasetia. Karena kandungan serat Dewa Ruci tersebut membeberkan laku spiritual Bima yang dimulai dari Padepokan Sokalima, Gunung Reksamuka, hingga berakhir di inti dasar samudera laya. Laku spiritual Bima yang dimulai dari pemahaman sangkan paraning dumadi hingga jumbuhing kawula-Gusti yang mengarah pada kemanunggalan kosmis, yakni: ‘Aku (Bima) sajroning Ingsuni (Ruci), Ingsun sajroning aku’.

            Seusai mencermati karya-karya Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja, Muhammad Rois Rinaldi, dan Widi Prasetia yang terkoleksi dan terseleksi dalam Antologi Puisi KALAMORGANA memunculkan kesan bahwa ketiga penyair tersebut adalah para pejalan sunyi yang senantiasa merindukan hakikat Sang Ingsun. Kekasih Abadi yang sesungguhnya bertakhta di dalam kerajaan kalbu.
Berbijak dari pandangan di muka, puisi-puisi dari ketiga penyair tersebut dapat dimaknai sebagai tiga anak tangga. Anak tangga pertama, sebagai media untuk pengenalan jati diri dan sekaligus sangkan paraning dumadi (muasal dan tujuan kehidupan). Anak tangga ke dua, sebagai media untuk menunjang upaya penyelarasan kosmis (jumbuhing kawula-Gusti). Anak tangga ke tiga, sebagai media untuk mencapai kemanunggalan kosmis (manunggaling kawula-Gusti) yang bermuara pada kesempurnaan hidup (kasampurnaning dumadi).
Melihat dari siratan maknanya, puisi-puisi yang telah mereka ciptakan tidak terkesan sekadar hadir, namun telah mampu memaknai kehadirannya. Pengertian lain, puisi-puisi tersebut telah mampu memberikan pencerahan batin bagi penyairnya sendiri, dan sekaligus sebagai media refleksi dan kontemplasi bagi pembaca. Dari sinilah, interaksi antara penyair dan masyarakat pembaca dapat terjalin.

Sri Wintala Achmad,
Pembaca puisi tinggal di Cilacap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar