MATAHARI EMAS TERBIT
DI LANGIT BOROBUDUR
[Borobudur Writers’ & Cultural Festival, Sebuah Catatan]
Oleh: Sri
Wintala Achmad
Di
tengah maraknya dunia perbukuan masa kini, novel-novel bertemakan silat dan
sejarah nusantara mulai turut mewarnai di dalamnya. Ini menunjukkan bahwa
banyak kreator mulai berminat melebarkan sayapnya dalam menciptakan karya-karya
sastra di luar genre yang ada, seperti: puisi, cerpen, atau novel bertema umum.
Mereka antara lain: Arswendo Atmowiloto (Senapati Pamungkas), Langit Kresna
Hariadi (Gajah Mada), Hermawan Aksan (Dyah Pitaloka, Senja di Langit
Majapahit), Tatang Sumarsono (Singgasana Terakhir Pajajaran), dll.
Perihal
maraknya penerbitan karya-karya novel bertemakan silat dan sejarah nusantara
pula membuktikan bahwa masyarakat pembaca akan karya-karya tersebut mengalmi
peningkatan kuantitatif yang signifikan. Hingga banyak penerbit dengan senang
hati memproduksi dan mempublikasikan karya-karya tersebut di ruang apresiasi
publik yang semakin meluas.
Diterimanya
novel-novel bertema silat dan sejarah nusantara di lingkungan masyarakat
pembaca sastra tampaknya sangat memicu para kreator untuk terus berkarya.
Sekalipun dalam penciptaan karya tersebut, sebagian kreator harus mengeluarkan
banyak biaya untuk melakukan observasi pada berbagai situs sejarah. Di samping,
para kreator harus banyak mengorbankan waktu untuk membaca berbagai referensi,
seperti: Babad Tanah Jawa, Negara Kretagama, Kitab Pararaton, Serar Centhini,
serta serat-serat kuno lainnya.
Di
luar bentuk novel, cerita-cerita bertemakan silat dan sejarah nusantara sesungguhnya
telah diminati banyak masyarakat. Semisal, Tutur Tinular karya Niki Kosasih dan
Bende Mataram karya Herman Pratikto yang pernah didramaradiokan itu mampu
menyedot banyak pendengar baik dari kalangan menengah maupun bawah. Demikian
pula dengan cerita sambung karya SH Mintardja bertajuk Naga Sasra Sabuk Inten
(NSSI) dan Api di Bukit Menoreh (AdBM) yang ditayangkan oleh Harian Kedaulatan
Rakyat telah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat pembaca. Bahkan pada
masa itu, banyak masyarakat pembaca yang membeli (berlangganan) koran karena
ingin selalu mengikuti lanjutan cerita bersambung NSSI dan AdBM tersebut.
Harapan dan Prospek
Realitas
perihal semakin maraknya penerbitan buku-buku novel yang bertemakan silat dan
sejarah nusantara di tengah kehidupan sastra Indonesia tampaknya menjadi
motivasi penyelenggaraan event Musyawarah Agung Penulis Silat dalam Borobudur
Writers’ & Cultural Festival yang berlangsung pada 29 - 31 Oktober 2012 di
kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Suatu event yang diharapkan
bukan sekadar hadir namun dapat memaknai kehadirannya. Pengertian lain, event
ini bukan sekadar diarahkan sebagai ajang romantisme pertemuan antara kreator
dengan pihak-pihak terkait, semisal: penerbit, budayawan, sejarawan, dan
masyarakat sastra; melainkan dimaksudkan untuk memberikan kontribusi positif
terhadap perkembangan buku-buku novel bertemakan silat dan sejarah nasional
baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Agar
dapat menunjang terhadap perkembangan buku-buku novel bertemakan silat dan
sejarah nasional, maka event Musyawarah Agung Penulis Silat dalam Borobudur
Writers’ & Cultural Festival 2012 tersebut seharusnya diarahkan untuk
semakin meningkatkan greget bagi setiap kreator dalam menciptakan
karya-karyanya. Tentu saja, ini harus disertai dengan semakin pedulinya
penerbit-penerbit di Indonesia untuk mempublikasikan karya-karya tersebut.
Mengingat masih banyak penerbit yang memandang bahwa pempublikasian karya-karya
novel bertemakan silat dan sejarah nasional masih merupakan proyek rugi.
Di
samping itu, event Musyawarah Agung Penulis Silat dalam Borobudur Writers’
& Cultural Festival 2012 yang merupakan hasil perumusan dari Dorothea Rosa
Herliany, Wicaksono Adi, Imam Muhtarom, dan Seno Joko Suyono itu hendaklah
dimaknai sebagai media interaksi mutualistik antara kreator dengan pihak-pihak
terkait sebagaimana telah disebutkan di muka. Interaksi mutualistik yang akan
membawa prospek cerah terhadap pemasyarakatan karya-karya novel bertema silat
dan sejarah nasional di ruang apresiasi publik. Apabila hal ini dapat terwujud,
maka karya-karya tersebut tidak hanya memberikan media rekreasi literer bagi
publik, melainkan pula dapat memberikan media edukasi pada publik baik pada
pengetahuan sejarah maupun nilai-nilai keadiluhungan lainnya yang tersirat di
dalamnya.
Tentu
saja, terwujudnya harapan ini tidak dapat dilepaskan dengan peran aktif media
massa dan pemerintah. Mengingat melalui media massa, gaung dari event
Musyawarah Agung Penulis Silat dalam Borobudur Writers’ & Cultural Festival
2012 dapat memicu masyarakat luas untuk mengenal dan membaca karya-karya novel
bertemakan silat dan sejarah nasional. Sedangkan melalui pemerintah (sekalipun
harapannya sangat kecil), event serupa akan selalu diselenggarakan secara
kontinyu. Hingga spirit di dalam upaya pemasyarakatan karya-karya tersebut
dapat terjaga dari tahun ke tahun. Mengingat sangat disayangkan, bila event
tersebut hanya merupakan awal dan sekaligus yang terakhir.
Sekadar Catatan Akhir
Terlepas
dari berbagai harapan di muka, event Musyawarah Agung Penulis Silat dalam
Borobudur Writers’ & Cultural Festival 2012 layak mendapatkan sambutan
hangat. Lantaran event yang akan menghadirkan para pembicara semisal: Arswendo
Atmowiloto, Romo Mudji Sutrisno SJ, Yakob Sumardjo, Seno Gumira Adjidarma;
serta diikuti 70 peserta aktif tersebut dapat menjadi catatan penting bahwa
novel-novel bertema silat dan sejarah nusantara bukan lagi dipandang sebagai
karya remeh-temeh dalam dunia sastra Indonesia.
Terlepas
dari kekurangan dan kelebihannya, event Musyawarah Agung Penulis Silat dalam
Borobudur Writers’ & Cultural Festival 2012 tetap pantas dilukiskan sebagai
matahari emas yang terbit dari langit Borobudur. Matahari emas yang menandai
titik awal kebangkitannya spirit dalam upaya pemasyarakatan karya-karya novel
bertemakan silat dan sejarah nusantara baik di lingkup regional, nasional, dan
bahkan internasional. Semoga hal ini bukan sekadar mimpi terindah di siang
bolong, melainkan realitas manis di masa kini dan mendatang.
Sri
Wintala Achmad
Tinggal
di Cilacap, Jawa TengahSumber foto:
https://yudhiherwibowo.files.wordpress.com/2012/11/622740_10151840788124057_458057245_o.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar