Entri yang Diunggulkan

INDONESIAN POEM BY BAMBANG DARTO

THE EARLY EVENING When raining the clock is damaged and the sun is dark the day has no wind when the thunder burglarizes chest my he...

Selasa, 08 Desember 2015

SASTRA DAN BUDAYA



MATAHARI EMAS TERBIT
DI LANGIT BOROBUDUR
[Borobudur Writers’ & Cultural Festival, Sebuah Catatan]
Oleh: Sri Wintala Achmad


Di tengah maraknya dunia perbukuan masa kini, novel-novel bertemakan silat dan sejarah nusantara mulai turut mewarnai di dalamnya. Ini menunjukkan bahwa banyak kreator mulai berminat melebarkan sayapnya dalam menciptakan karya-karya sastra di luar genre yang ada, seperti: puisi, cerpen, atau novel bertema umum. Mereka antara lain: Arswendo Atmowiloto (Senapati Pamungkas), Langit Kresna Hariadi (Gajah Mada), Hermawan Aksan (Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit), Tatang Sumarsono (Singgasana Terakhir Pajajaran), dll.
Perihal maraknya penerbitan karya-karya novel bertemakan silat dan sejarah nusantara pula membuktikan bahwa masyarakat pembaca akan karya-karya tersebut mengalmi peningkatan kuantitatif yang signifikan. Hingga banyak penerbit dengan senang hati memproduksi dan mempublikasikan karya-karya tersebut di ruang apresiasi publik yang semakin meluas.
Diterimanya novel-novel bertema silat dan sejarah nusantara di lingkungan masyarakat pembaca sastra tampaknya sangat memicu para kreator untuk terus berkarya. Sekalipun dalam penciptaan karya tersebut, sebagian kreator harus mengeluarkan banyak biaya untuk melakukan observasi pada berbagai situs sejarah. Di samping, para kreator harus banyak mengorbankan waktu untuk membaca berbagai referensi, seperti: Babad Tanah Jawa, Negara Kretagama, Kitab Pararaton, Serar Centhini, serta serat-serat kuno lainnya.
Di luar bentuk novel, cerita-cerita bertemakan silat dan sejarah nusantara sesungguhnya telah diminati banyak masyarakat. Semisal, Tutur Tinular karya Niki Kosasih dan Bende Mataram karya Herman Pratikto yang pernah didramaradiokan itu mampu menyedot banyak pendengar baik dari kalangan menengah maupun bawah. Demikian pula dengan cerita sambung karya SH Mintardja bertajuk Naga Sasra Sabuk Inten (NSSI) dan Api di Bukit Menoreh (AdBM) yang ditayangkan oleh Harian Kedaulatan Rakyat telah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat pembaca. Bahkan pada masa itu, banyak masyarakat pembaca yang membeli (berlangganan) koran karena ingin selalu mengikuti lanjutan cerita bersambung NSSI dan AdBM tersebut.

Harapan dan Prospek
Realitas perihal semakin maraknya penerbitan buku-buku novel yang bertemakan silat dan sejarah nusantara di tengah kehidupan sastra Indonesia tampaknya menjadi motivasi penyelenggaraan event Musyawarah Agung Penulis Silat dalam Borobudur Writers’ & Cultural Festival yang berlangsung pada 29 - 31 Oktober 2012 di kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Suatu event yang diharapkan bukan sekadar hadir namun dapat memaknai kehadirannya. Pengertian lain, event ini bukan sekadar diarahkan sebagai ajang romantisme pertemuan antara kreator dengan pihak-pihak terkait, semisal: penerbit, budayawan, sejarawan, dan masyarakat sastra; melainkan dimaksudkan untuk memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan buku-buku novel bertemakan silat dan sejarah nasional baik bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Agar dapat menunjang terhadap perkembangan buku-buku novel bertemakan silat dan sejarah nasional, maka event Musyawarah Agung Penulis Silat dalam Borobudur Writers’ & Cultural Festival 2012 tersebut seharusnya diarahkan untuk semakin meningkatkan greget bagi setiap kreator dalam menciptakan karya-karyanya. Tentu saja, ini harus disertai dengan semakin pedulinya penerbit-penerbit di Indonesia untuk mempublikasikan karya-karya tersebut. Mengingat masih banyak penerbit yang memandang bahwa pempublikasian karya-karya novel bertemakan silat dan sejarah nasional masih merupakan proyek rugi.
Di samping itu, event Musyawarah Agung Penulis Silat dalam Borobudur Writers’ & Cultural Festival 2012 yang merupakan hasil perumusan dari Dorothea Rosa Herliany, Wicaksono Adi, Imam Muhtarom, dan Seno Joko Suyono itu hendaklah dimaknai sebagai media interaksi mutualistik antara kreator dengan pihak-pihak terkait sebagaimana telah disebutkan di muka. Interaksi mutualistik yang akan membawa prospek cerah terhadap pemasyarakatan karya-karya novel bertema silat dan sejarah nasional di ruang apresiasi publik. Apabila hal ini dapat terwujud, maka karya-karya tersebut tidak hanya memberikan media rekreasi literer bagi publik, melainkan pula dapat memberikan media edukasi pada publik baik pada pengetahuan sejarah maupun nilai-nilai keadiluhungan lainnya yang tersirat di dalamnya.
Tentu saja, terwujudnya harapan ini tidak dapat dilepaskan dengan peran aktif media massa dan pemerintah. Mengingat melalui media massa, gaung dari event Musyawarah Agung Penulis Silat dalam Borobudur Writers’ & Cultural Festival 2012 dapat memicu masyarakat luas untuk mengenal dan membaca karya-karya novel bertemakan silat dan sejarah nasional. Sedangkan melalui pemerintah (sekalipun harapannya sangat kecil), event serupa akan selalu diselenggarakan secara kontinyu. Hingga spirit di dalam upaya pemasyarakatan karya-karya tersebut dapat terjaga dari tahun ke tahun. Mengingat sangat disayangkan, bila event tersebut hanya merupakan awal dan sekaligus yang terakhir.

Sekadar Catatan Akhir
Terlepas dari berbagai harapan di muka, event Musyawarah Agung Penulis Silat dalam Borobudur Writers’ & Cultural Festival 2012 layak mendapatkan sambutan hangat. Lantaran event yang akan menghadirkan para pembicara semisal: Arswendo Atmowiloto, Romo Mudji Sutrisno SJ, Yakob Sumardjo, Seno Gumira Adjidarma; serta diikuti 70 peserta aktif tersebut dapat menjadi catatan penting bahwa novel-novel bertema silat dan sejarah nusantara bukan lagi dipandang sebagai karya remeh-temeh dalam dunia sastra Indonesia.
Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, event Musyawarah Agung Penulis Silat dalam Borobudur Writers’ & Cultural Festival 2012 tetap pantas dilukiskan sebagai matahari emas yang terbit dari langit Borobudur. Matahari emas yang menandai titik awal kebangkitannya spirit dalam upaya pemasyarakatan karya-karya novel bertemakan silat dan sejarah nusantara baik di lingkup regional, nasional, dan bahkan internasional. Semoga hal ini bukan sekadar mimpi terindah di siang bolong, melainkan realitas manis di masa kini dan mendatang.

Sri Wintala Achmad
Tinggal di Cilacap, Jawa Tengah



Sumber foto: 
https://yudhiherwibowo.files.wordpress.com/2012/11/622740_10151840788124057_458057245_o.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar