SASTRA YOGYA TIDAK PERNAH MATI
Sri Wintala Achmad
Sejak
Persada Studi Klub (PSK) hingga sekarang, telah ratusan sastrawan dilahirkan di
Yogyakarta. Seiring perjalanan waktu, sebagian mereka masih banyak yang
konsisten sebagai penulis sastra. Namun, sebagian lainnya memilih pensiun.
Mengingat profesi lain dipertimbangkan lebih memberikan harapan akan perbaikan
nasib ekonomis dirinya dan keluarganya di hari kelak.
Diakui
melalui PSK yang didirikan Umbu Landu Paranggi, Suwarno Pragolapati, Teguh
Ranusastra Asmara dan Iman Budi Santosa telah memberikan kontribusi positif
atas geliat sastra di Yogyakarta. Tidak hanya kala itu, melainkan gemanya masih
kita tangkap sampai detik ini. Sekadar menyebut nama, semisal: Iman Budi
Santosa, Fauzi Absal dan lain-lain, masih konsisten sebagai sastrawan.
Konsistensi
dari beberapa sastrawan PSK yang pula turut memperjuangkan pertumbuh-kembangan
sastra di Yogyakarta tersebut telah mengukuhkan legitimasi bahwa mereka adalah
para suhu (baca: bukan pendekar) sastra. Tempat jujugan (tujuan) para sastrawan
pemula menimba ilmu sastra. Mereka akan selalu mengajarkan: karya sastra bukan
sekadar permainan kata-kata indah. Akan tetapi, karya sastra seyogianya
ditangkap sebagai refleksi pengalaman empirik literer yang diciptakan sastrawan
melalui proses pengamatan, pencerapan, metabolisme (pengendapan), penuangan dan
revisi berulang kali. Hingga karya sastra mencapai tingkat kesempurnaannya.
Sekalipun
demikian, mereka akan sadar bahwa geliat sastra Yogyakarta di hari kelak tetap
tergantung di tangan generasinya selama menekuni proses kreativitasnya. Karena
itu, kebulatan tekad generasi sastra guna menguasai teknik penuangan,
memperkokoh spesifikasi gaya penciptaan, mempertajam sense dan intelektual
(imajinasi, intuisi dan logika), serta pemahaman akan ilmu bahasa, filsafat dan
pengetahuan lain sangat diperlukan.
Langkah
lain yang harus ditempuh oleh generasi sastra, yakni: pertama, banyak membaca
karya dari sastrawan lain baik yang dipublikasikan melalui media massa, buku,
dan situs sastra di internet. Dengan banyak membaca karya dari sastrawan lain,
generasi sastra akan mendapatkan referensi dan termotivasi untuk selalu
menciptakan karya yang memiliki standar kualitasnya.
Kedua,
menjalin interaksi kreatif dengan sesama sastrawan secara intensif. Langkah ini
dianggap efektif guna menunjang spirit proses penciptaan karya sastra. Tingkat
efektivitasnya tidak hanya dibuktikan oleh para sastrawan PSK. Para sastrawan
pasca PSK seangkatan Andrik Purwasito, Ahmadun Y Herfanda, Bambang Widiatmoko,
Joko Pinurbo, Ida Ayu Galuh Pethak, Nana Irnawati, Indra Tranggono, Denok
Kristianti, Marjuddin Suaeb, Budi Nugroho, Usdika Ibranora pula membangun
jalinan interaksi kreatif antar-sastrawan baik melalui media sanggar maupun
kelompok studi sastra.
Bahkan
aktivitas Pengadilan Puisi versi Lingkar Kreativitas Sastra Yogya telah
diarahkan sebagai medium interaksi kreatif antar-sastrawan muda pada penghujung
dekade 80-an hingga awal dekade 90-an itu. Hingga beberapa nama sastrawan,
semisal: Hamdy Salad, Dorothea Rosa Herliany, Adi Wicaksono, Agus Noor, Abidah
El Khalieqi, Mathori A Elwa, Ahmad Syubanuddin Alwi, Otto Sukatno CR, Whani
Darmawan, Sufat Farida, Ulfatin CH, Lephen Purwarahardja, Achid BS, Rina Ratih
Sri Sudaryani, Mukti Haryadi, Ismet NM Harris, M Nurgani Asyik, Syam Candra
Mentik dan lain-lain menyemerbak serupa bunga-bunga di taman sastra Yogyakarta.
Sayang
memang, aktivitas sastra yang diselenggarakan oleh Lingkar Kreativitas Sastra
Yogya secara mobil dari rumah sastrawan satu ke rumah sastrawan lainnya atau
dari kampus satu ke kampus lainnya itu, hanya berlangsung beberapa tahun.
Namun, keberakhiran aktivitas tersebut tidak berarti keberakhiran sastra di
Yogyakarta. Secara faktual, Sigit Sugito membentuk Paguyuban Teater Bantul
(PTB). Paguyuban ini tidak sekadar sebagai wadah aktivitas teater, melainkan
pula sebagai medium interaksi kreatif sesama sastrawan Bantul khususnya dan
Yogyakarta umumnya.
Di
luar dugaan, Suwarno Pragolapati pun turut turun gunung untuk menggairahkan
kehidupan sastra di Yogyakarta. Melalui Sanggar Yogya Sastra Pers (SYS), Mas
Warno mengumpulkan para generasi muda yang berminat untuk menulis karya sastra.
Selain itu, melalui dukungan Sumantri Citropati, berbagai acara sastra seperti
pertunjukan dan diskusi dapat diselenggarakan di Perwatin secara intensif.
Hingga Perwatin (awal dekade 90-an) telah menjadi media interaksi kreatif
efektif bagi para sastrawan. Ajang diskusi sastra yang terbuka sampai fajar
tiba. Luar biasa! Berkat dukungan dari kawan-kawannya, kerja keras Mas Warno
tidak sia-sia. Terbukti beliau mampu membangkitkan kembali proses kreativitas
literer Kuswahyo SS Rahardjo almarhum yang telah membeku sekian tahun.
Kelahiran Muhammad Fuad Riyadi dan Endang Susanti Rustamadji di dunia sastra
Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari bimbingan beliau.
Lagi-lagi
sejarah membuktikan bahwa sastra Yogyakarta tidak pernah mati. Sekalipun
beberapa kelompok pengembang sastra, seperti; PSK, Lingkar Kreativitas Sastra
Yogya, PTB dan SYS telah mengakhiri aktivitasnya. Paruh dekade 90-an, Asa
Jatmiko dkk telah membentuk Himpunan Sastrawan Muda Indonesia (HISMI).
Aktivitas sastra yang mendapatkan dukungan dari Taman Budaya Yogyakarta (TBY)
itu mampu memberikan kontribusi kepada sastrawan muda di dalam meniti proses
kreativitasnya.
Baru
pada pasca 2000 sesudah HISMI berangsur-angsur tidak menggeliatkan aktivitas
sastranya, persoalan regenerasi sastrawan yang efektif di Yogyakarta tampak
muncul di permukaan. Hingga nama-nama semisal Hasta Indriyana, Pay Jarot
Sujarwo, Abror Y Prabowo, Y Wibowo, Sriyono Daningrono, Bambang Susilo dkk
harus meluangkan waktu buat ngangsu kawruh (menimba pengetahuan) sastra dari
rumah ke rumah para suhu sastra.
Upaya
para generasi sastra di dalam melakukan interaksi kreatif di bidang sastra
tersebut merupakan langkah taktis guna meningkatkan kualitas karya-karyanya. Agar
eksistensi kesastrawanannya tidak diragukan lagi sebagaimana para generasi
sebelumnya yang masih eksis di Yogyakarta kala itu, seperti: Raudal Tanjung
Banua, Satmoko Budi Santoso, Aning Ayu Kusuma, Edi AH Iyubenu, Ita Dian Novita,
Zainal Arifin Thoha, Kuswaidi Syafi’ie, Akhmad Muhaimin Azzet, Abdul Azis
Sukarno dll.
Apa
yang sekilas saya paparkan di atas, seyogianya ditangkap sebagai sumbangsih
pemikiran atas kegelisahan tentang masa depan sastra Yogyakarta, yang mana
nasibnya sangat tergantung pada sikap generasi berikutnya itu. Karenanya,
apabila sastra diibaratkan sebagai kereta, maka para generasi sastra harus
mampu menjawab buat apa dan untuk siapa sastra diciptakan, serta melalui jalan
mana dan ke mana sastra diarahkan? Persoalan ini harus dijawab terlebih dulu.
Agar penciptaan karya sastra tidak diasumsikan dengan membangun rumah mimpi
yang sekadar membawa kehidupan manusia jauh dari bumi pijakan.
Dengan
memahami konsepsi dan motivasi di dalam penciptaan karya sastra, para generasi
tersebut niscaya mampu menciptakan image bahwa masa depan kehidupan sastra di
Yogyakarta niscaya kian membaik. Di mana sastrawan-sastrawan arif dan rendah
hati bakal dilahirkan. Sekelompok insan yang selalu memosisikan sastra sebagai
media pembelajaran kehidupannya. Hingga mereka serupa suhu bagi dirinya
sendiri. Bukan pendekar di dunia persilatan, yang selalu menganggap pihak-pihak
berseberangan sebagai lawan bebuyutan.
Terakhir
ditandaskan, kita tidak perlu menggelisahkan perihal masa depan sastra di
Yogyakarta. Mengingat solusi arif atas persoalan tersebut bukan polemik kusir
berkepanjangan, melainkan apa yang mampu dilakukan seoptimal mungkin di dalam
upaya menumbuhkembangkan sastra di kota ini. Hingga Yogyakarta yang diasumsikan
sebagai salah satu barometer sastra di Indonesia senantiasa terjaga
eksistensinya.
Kedaulatan Rakyat Minggu, 3 November 2006.
https://komunitassastra.wordpress.com/2009/12/13/sastra-yogya-tidak-pernah-mati/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar