Entri yang Diunggulkan

INDONESIAN POEM BY BAMBANG DARTO

THE EARLY EVENING When raining the clock is damaged and the sun is dark the day has no wind when the thunder burglarizes chest my he...

Rabu, 09 Desember 2015

SENI RUPA



KOMUNITAS PERUPA YOGYA LESU
Oleh: Sri Wintala Achmad


Tidak dipungkiri, kehidupan komunitas perupa tumbuh subur di Yogyakarta pada periode 80-90an. Beberapa komunitas yang tumbuh pada periode itu dapat dicatat, di antaranya: Kelompok Dewata (komuitas perupa Bali), Kelompok Sakato (komunitas perupa Padang), Kelomopok Bidar (komunitas perupa Palembang), dll.
            Menakjubkan memang. Beberapa komunitas perupa yang kemudian mampu melahirkan sederetan kreator berpotensi di dalam menembus wilayah eksistensinya baik di tingkat nasional maupun internasional, sekadar menyebutkan nama: Anusapati (Sakato), Yusro Martunus (Sakato), I Made Sukadana (Dewata), Edo Pop (Bidar), dll.

Edo Pop, Keluar dari Mitos Realitas (Menyelusuri Kebenaran),
2000, acrylic on canvas, 150 x 130 cm
Berangkat dari sini dapat dibuktikan, keberadaan komunitas perupa yang didirikan, dipelihara kehidupannya, dan ditingkatkan perkembangan kualitatifnya secara profesional telah memberikan kontribusi konkret terhadap peningkatan citra Yogyakarta sebagai barometer seni rupa nasional. Sekalipun diakui, kalau para perupa (anggota) dari beberapa komunitas tersebut secara geografis tidak dilahirkan di Yogyakarta. Ini bukan masalah. Disamping memang tidak layak dipermasalahkan.
            Adapun masalah yang layak dipersoalkan, perihal bagaimana menjadikan berbagai komunitas perupa tersebut dapat memberikan kontribusi inspiratif terhadap pemunculan komunitas-komunitas baru, yang tetap berorientasi pada tujuan utama, yakni perkembangan kreatif setiap anggotanya. Maka sangat naïf, apabila pembentukan komunitas perupa baru sekadar menitikberatkan peningkatan eksistensi komunitas, dan bukan eksistensi setiap anggota yang diposisikan sebagai tujuan final.

karya Yusra Martunus
            Pemikiran ini perlu ditandaskan, mengingat peran komunitas perupa seharusnya diaplikasikan secara tepat, yakni: pertama, sebagai medium interaksi kreatif antar anggota, yang berlandaskan spirit saling asah, asih, dan asuh. Kedua, sebagai jembatan emas di dalam menemukan jati diri perupa yang terefleksikan pada setiap karyanya senantiasa mengidentifikasikan kekhasan personal. Pengertian lain, keanekaragaman warna pribadi setiap anggota komunitas lebih diutamakan ketimbang keseragaman yang notabene tidak memberikan motivasi di dalam memperkaya persepsi anggota perihal kompleksitas dunia seni rupa. Ketiga, sebagai media pembelajaran kehidupan sosial bagi segenap anggota. Peran komunitas semacam ini sangat kontekstual untuk diprioritaskan, mengingat kehidupan seni rupa di era kapitalisme semakin menjebak perupa ke penjara emas individualistik. Hingga wajar, bagi setiap perupa yang berkapital pas-pasan bakal tidak survive di kompetisi kreatif.

Karya I Made Sukadana
            Dalam perkembangannya, diakui atau tidak, komunitas perupa Yogyakarta mulai mengalami penurunan greget. Sekapipun kota ini masih memiliki beberapa komunitas perupa yang masih bisa diharapkan mampu mencapai tingkat keandalannya, setingkat dengan Kelompok Sakato, Kelompok Dewata, dan Kelompok Bidar tersebut. Namun realitasnya, komunitas-komunitas perupa yang bermunculan belakangan ini masih belum menunjukkan greget di dalam memicu kreativitas setiap anggotanya.
            Lantas bagaimana langah solusif di dalam mebangkitkan kembali greget kehidupan komunitas perupa di Yogyakarta, yang kontribusinya diarahkan lebih pada pembinaan kreatif bagi generasi pemula, yakni para perupa yang niscaya diharapkan mampu sebagai penyelamat dunia seni rupa Yogyakarta?

Karya Anusapati
            Salah satu langkah yang selayaknya diperhatikan, yakni bagaimana membangkitkan kepedulian dari berbagai pihak pendukung, seperti: kurator, kolektor, birokrat, sponsor, pemilik galeri, mass media, dll untuk turut berperan serta di dalam meningkatkan kuantitas serta kredibilitas komunitas perupa Yogyakarta, kawah candradimuka kreativitas bagi para perupa, terutama perupa pemula itu. Dus disadari, tanpa partisipasi mereka, obsesi atas penggairahan kembali di dalam menumbuhkembangkan komunitas perupa di era kapitalisme yang mengarah pada sikap individualistik manusia ini sekadar menjadi mimpi besar di siang bolong.
            Terlepas dari pertanyaan apakah perupa dilahirkan secara alamiah atau secara karbitan, penggairahan kreativitas perupa melalui komunitas yang kredibel, maka langkah-langkah cerdas untuk segera dirumuskan serta diaplikasikan secara intensif oleh seluruh pihak terkait di dalam upaya membawa masa depan emas seni rupa Yogyakarta yang merupakan salah satu akses seni dan budaya Nusantara.

Sri Wintala Achmad
Tinggal di Cilacap
Catatan:
Naskah lama ini pernah dimuat di Mingguan Minggu Pagi

Sumber foto: 
http://jogjanews.com/pameran-seni-rupa-nggresulo-bem-fsr-isi-yogyakarta-ajakan-merenungi-yogyakarta
http://michellechin.net/writings/05.html 
http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/yusra-martunus
http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/made-sukadana
http://archive.ivaa-online.org/artworks/detail/4793

Tidak ada komentar:

Posting Komentar