KOMUNITAS PERUPA
YOGYA LESU
Oleh: Sri
Wintala Achmad
Tidak
dipungkiri, kehidupan komunitas perupa tumbuh subur di Yogyakarta pada periode
80-90an. Beberapa komunitas yang tumbuh pada periode itu dapat dicatat, di
antaranya: Kelompok Dewata (komuitas perupa Bali), Kelompok Sakato (komunitas
perupa Padang), Kelomopok Bidar (komunitas perupa Palembang), dll.
Menakjubkan memang. Beberapa
komunitas perupa yang kemudian mampu melahirkan sederetan kreator berpotensi di
dalam menembus wilayah eksistensinya baik di tingkat nasional maupun
internasional, sekadar menyebutkan nama: Anusapati (Sakato), Yusro Martunus
(Sakato), I Made Sukadana (Dewata), Edo Pop (Bidar), dll.
Edo Pop, Keluar dari Mitos
Realitas (Menyelusuri Kebenaran),
2000, acrylic on canvas, 150 x
130 cm
|
Berangkat dari
sini dapat dibuktikan, keberadaan komunitas perupa yang didirikan, dipelihara
kehidupannya, dan ditingkatkan perkembangan kualitatifnya secara profesional
telah memberikan kontribusi konkret terhadap peningkatan citra Yogyakarta
sebagai barometer seni rupa nasional. Sekalipun diakui, kalau para perupa
(anggota) dari beberapa komunitas tersebut secara geografis tidak dilahirkan di
Yogyakarta. Ini bukan masalah. Disamping memang tidak layak dipermasalahkan.
Adapun masalah yang layak
dipersoalkan, perihal bagaimana menjadikan berbagai komunitas perupa tersebut
dapat memberikan kontribusi inspiratif terhadap pemunculan komunitas-komunitas
baru, yang tetap berorientasi pada tujuan utama, yakni perkembangan kreatif
setiap anggotanya. Maka sangat naïf, apabila pembentukan komunitas perupa baru
sekadar menitikberatkan peningkatan eksistensi komunitas, dan bukan eksistensi
setiap anggota yang diposisikan sebagai tujuan final.
karya Yusra Martunus |
Pemikiran ini perlu ditandaskan,
mengingat peran komunitas perupa seharusnya diaplikasikan secara tepat, yakni:
pertama, sebagai medium interaksi kreatif antar anggota, yang berlandaskan
spirit saling asah, asih, dan asuh. Kedua, sebagai jembatan emas di dalam
menemukan jati diri perupa yang terefleksikan pada setiap karyanya senantiasa
mengidentifikasikan kekhasan personal. Pengertian lain, keanekaragaman warna
pribadi setiap anggota komunitas lebih diutamakan ketimbang keseragaman yang
notabene tidak memberikan motivasi di dalam memperkaya persepsi anggota perihal
kompleksitas dunia seni rupa. Ketiga, sebagai media pembelajaran kehidupan
sosial bagi segenap anggota. Peran komunitas semacam ini sangat kontekstual
untuk diprioritaskan, mengingat kehidupan seni rupa di era kapitalisme semakin
menjebak perupa ke penjara emas individualistik. Hingga wajar, bagi setiap
perupa yang berkapital pas-pasan bakal tidak survive di kompetisi kreatif.
Karya I Made Sukadana |
Dalam perkembangannya, diakui atau
tidak, komunitas perupa Yogyakarta mulai mengalami penurunan greget. Sekapipun
kota ini masih memiliki beberapa komunitas perupa yang masih bisa diharapkan
mampu mencapai tingkat keandalannya, setingkat dengan Kelompok Sakato, Kelompok
Dewata, dan Kelompok Bidar tersebut. Namun realitasnya, komunitas-komunitas
perupa yang bermunculan belakangan ini masih belum
menunjukkan greget di dalam memicu kreativitas setiap anggotanya.
Lantas bagaimana langah solusif di
dalam mebangkitkan kembali greget kehidupan komunitas perupa di Yogyakarta,
yang kontribusinya diarahkan lebih pada pembinaan kreatif bagi generasi pemula,
yakni para perupa yang niscaya diharapkan mampu sebagai penyelamat dunia seni
rupa Yogyakarta?
Karya Anusapati |
Salah satu langkah yang selayaknya
diperhatikan, yakni bagaimana membangkitkan kepedulian dari berbagai pihak
pendukung, seperti: kurator, kolektor, birokrat, sponsor, pemilik galeri, mass
media, dll untuk turut berperan serta di dalam meningkatkan kuantitas serta
kredibilitas komunitas perupa Yogyakarta, kawah candradimuka kreativitas bagi
para perupa, terutama perupa pemula itu. Dus disadari, tanpa partisipasi
mereka, obsesi atas penggairahan kembali di dalam menumbuhkembangkan komunitas
perupa di era kapitalisme yang mengarah pada sikap individualistik manusia ini
sekadar menjadi mimpi besar di siang bolong.
Terlepas dari pertanyaan apakah
perupa dilahirkan secara alamiah atau secara karbitan, penggairahan kreativitas
perupa melalui komunitas yang kredibel, maka langkah-langkah cerdas untuk
segera dirumuskan serta diaplikasikan secara intensif oleh seluruh pihak
terkait di dalam upaya membawa masa depan emas seni rupa Yogyakarta yang
merupakan salah satu akses seni dan budaya Nusantara.
Sri Wintala
Achmad
Tinggal di
Cilacap
Catatan:
Naskah lama ini pernah dimuat di Mingguan Minggu Pagi
Sumber foto:
http://jogjanews.com/pameran-seni-rupa-nggresulo-bem-fsr-isi-yogyakarta-ajakan-merenungi-yogyakarta
http://jogjanews.com/pameran-seni-rupa-nggresulo-bem-fsr-isi-yogyakarta-ajakan-merenungi-yogyakarta
http://michellechin.net/writings/05.html
http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/yusra-martunus
http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/made-sukadana
http://archive.ivaa-online.org/artworks/detail/4793
http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/yusra-martunus
http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/made-sukadana
http://archive.ivaa-online.org/artworks/detail/4793
Tidak ada komentar:
Posting Komentar