Entri yang Diunggulkan

INDONESIAN POEM BY BAMBANG DARTO

THE EARLY EVENING When raining the clock is damaged and the sun is dark the day has no wind when the thunder burglarizes chest my he...

Selasa, 08 Desember 2015

SENI RUANG PUBLIK



MEMBANGUN PERADABAN
MELALUI SENI RUANG PUBLIK
Oleh: Sri Wintala Achmad


Mural merupakan salah satu genre seni rupa out-door (luar ruang). Melalui kerja keras Samuel Indratma, proyek mural dapat terlaksana dengan gemilang di kota Yogyakarta. Dalam perkembangannya, Samuel tidak sekadar melibatkan para perupa kontemporer dan tradisi, namun juga anak-anak muda kampung yang tidak pernah bersentuhan dengan pendidikan formal seni rupa. Hal ini merupakan salah satu prestasi emas Samuel yang layak diberi angkatan topi.
Prestasi lain dari Samuel bahwa proyek mural yang diprakarsainya telah mampu menggeser tradisi graffiti dari para anggota gang ke arah kreativitas mural. Suatu peradaban baru yang tidak sekadar memberikan keasrian atau suasana rekreatif pada beberapa titik kota, namun juga dapat dijadikan media apresiasi kontemplatif bagi publik dan pengunjung wilayah kota Yogyakarta.
Dari sini, penulis tidak meragukan atas kredibilitas Samuel di dalam komitmennya membangun peradaban baru publik Yogyakarta melalui proyek mural. Di samping tidak mengherankan, apabila Samuel mendapatkan penghargaan (pengakuan) dari Pemerintah Daerah (PEMDA) sebagai salah seorang budayawan di kota yang dikenal sebagai salah satu barometer kehidupan seni dan budaya di Indonesia.

Proyek Mural dan Street Art
Di samping dikenal sebagai salah satu genre seni rupa out-door, proyek mural dapat dikategorikan ke dalam street art (seni yang ditampilkan di jalan umum). Sehingga keberadaannya bisa disamakan dengan media advertensi yang di-display di ruang-ruang strategis, semisal pertigaan atau perempatan jalan utama kota.
Adapun perbedaannya, yakni: proyek mural bervisi-misi sebagai media apresiasi kontemplatif publik yang mengarah pada kelahiran pemahaman terhadap nilai-nilai estetika, etika, dan peradaban di balik bentuk visual karya mural. Sementara, media advertensi cenderung merangsang publik guna membeli barang yang diiklankan. Karenanya, proyek mural dapat memicu lahirnya insan-insan kreatif. Sedangkan, media advertensi merangsang lahirnya insan-insan konsumtif.
Peran proyek mural sebagai media rekreasi dan apresiasi kontemplatif bagi publik dapat disejajarkan dengan seni patung atau diorama luar ruang yang ada di kota Yogyakarta. Demikian pula, proyek mural dapat disamakan tujuannya dengan seni pertunjukan tari kontemporer yang pernah dilakukan oleh Didik Ninithowok di depan Gedung Agung Yogyakarta beberapa tahun silam. Namun sayang, gerakan seni luar ruang yang dilakukan Didik tersebut tidak terdengar lagi gaungnya.
Hal lain yang layak dicatat dalam sejarah seni ruang luar Yogyakarta, bahwa proyek mural yang diprakarsai Samuel tersebut dapat disamakan dengan kerja seni Oda Teda Ena di dalam Instalasi memedi sawah ‘Menakut-nakuti Orang Kota’ (2000), yang di-display di beberapa titik strategis kota Yogyakarta. Meskipun kurang optimal, pertunjukan seni dan instalasi luar ruang ‘Mummy Dancing’ dari Tugu sampai Gedung Agung yang merupakan kerja seni MN Wibowo dan Komunitas Sastra Pendapa (KSP) pada beberapa tahun silam juga memiliki visi-misi yang tidak jauh berbeda dengan proyek mural, yakni membangun kesadaran peradaban baru bagi publik.

Puisi Pendek, Haiku, dan Street Art
Sesungguhnya tidak hanya seni rupa dan seni pertunjukan, namun karya sastra (puisi) dapat dijadikan sebagai materi di dalam mewujudkan atau nunumbuh-kembangkan street art di kota Yogyakarta. Tentu saja puisi yang dipilih sebagai materi tersebut adalah puisi-puisi pendek atau berjenis haiku. Salah satu genre puisi tradisi Jepang yang dikenal memiliki aturan silabus 7,5,7 itu.
Mengapa puisi pendek atau haiku yang harus dituliskan pada billboard atau neon-sign dan di-display di titik-titik strategis jalan utama kota? Karena, puisi pendek atau haiku akan lebih cepat dibaca orang-orang sewaktu mereka sejenak berhenti menunggu lampu hijau traffic light menyala.
Apabila proyek sosialisasi puisi pendek atau haiku di ruang publik dengan melibatkan para penyair atau masyarakat umum tersebut dapat direalisasikan, maka akan terangsanglah kesadaran publik untuk gemar membaca, mengapresiasi, dan mengontemplasikan nilai-nilai yang tersirat di balik karya puisi atau haiku.
Di samping itu, proyek sosialisasi puisi pendek atau haiku ruang publik sangat kontekstual dengan zamannya. Zaman di mana publik semakin tidak memiliki waktu luang untuk membaca. Karena sebagian waktunya semakin cenderung dicurahkan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.

Sekadar Harapan
Terlepas dari suka atau tidak suka, bahwa proyek mural dan street art sangat layak untuk direalisasikan secara kontinyu. Karena itu, tidak ada salahnya kalau proyek tersebut senantiasa melibatkan para kreator (seniman), masyarakat umum, lembaga-lembaga pemerintah dan swasta, sponsor dan pendana, serta media massa cetak dan elektronik.
Selain dilaksanakan secara kontinyu, proyek mural dan street art seyogyanya dikembangkan hingga mencapai tingkat kualitatifnya. Sehingga kota Yogyakarta akan menjadi museum seni dan budaya yang memiliki prospek cerah di dalam mendongkrak pegembangan dunia pendidikan dan pariwisata. Lebih jauh diharapkan, proyek tersebut akan menjadi embrio lahirnya peradaban baru di lingkup kehidupan publik Yogyakarta khususnya dan pendatang kota Berhati Nyaman pada umumnya.

Sri Wintala Achmad
Tinggal di Cilacap, Jawa Tengah

Sumber foto:
https://pietoyosusanto.wordpress.com/2010/03/05/perjalanan-yogyakarta-kota-mural-gambar-2/mata-bicara-photography-187/
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar