MEMBANGUN
PERADABAN
MELALUI SENI
RUANG PUBLIK
Oleh: Sri
Wintala Achmad
Mural merupakan salah satu genre seni
rupa out-door (luar ruang). Melalui kerja keras Samuel Indratma, proyek mural
dapat terlaksana dengan gemilang di kota Yogyakarta. Dalam perkembangannya,
Samuel tidak sekadar melibatkan para perupa kontemporer dan tradisi, namun juga
anak-anak muda kampung yang tidak pernah bersentuhan dengan pendidikan formal
seni rupa. Hal ini merupakan salah satu prestasi emas Samuel yang layak diberi
angkatan topi.
Prestasi lain dari Samuel bahwa proyek
mural yang diprakarsainya telah mampu menggeser tradisi graffiti dari para
anggota gang ke arah kreativitas mural. Suatu peradaban baru yang tidak sekadar
memberikan keasrian atau suasana rekreatif pada beberapa titik kota, namun juga
dapat dijadikan media apresiasi kontemplatif bagi publik dan pengunjung wilayah
kota Yogyakarta.
Dari sini, penulis tidak meragukan atas
kredibilitas Samuel di dalam komitmennya membangun peradaban baru publik
Yogyakarta melalui proyek mural. Di samping tidak mengherankan, apabila Samuel
mendapatkan penghargaan (pengakuan) dari Pemerintah Daerah (PEMDA) sebagai
salah seorang budayawan di kota yang dikenal sebagai salah satu barometer
kehidupan seni dan budaya di Indonesia.
Proyek
Mural dan Street Art
Di samping dikenal sebagai salah satu
genre seni rupa out-door, proyek mural dapat dikategorikan ke dalam street art
(seni yang ditampilkan di jalan umum). Sehingga keberadaannya bisa disamakan
dengan media advertensi yang di-display di ruang-ruang strategis, semisal
pertigaan atau perempatan jalan utama kota.
Adapun perbedaannya, yakni: proyek mural
bervisi-misi sebagai media apresiasi kontemplatif publik yang mengarah pada
kelahiran pemahaman terhadap nilai-nilai estetika, etika, dan peradaban di
balik bentuk visual karya mural. Sementara, media advertensi cenderung
merangsang publik guna membeli barang yang diiklankan. Karenanya, proyek mural
dapat memicu lahirnya insan-insan kreatif. Sedangkan, media advertensi
merangsang lahirnya insan-insan konsumtif.
Peran proyek mural sebagai media
rekreasi dan apresiasi kontemplatif bagi publik dapat disejajarkan dengan seni
patung atau diorama luar ruang yang ada di kota Yogyakarta. Demikian pula,
proyek mural dapat disamakan tujuannya dengan seni pertunjukan tari kontemporer
yang pernah dilakukan oleh Didik Ninithowok di depan Gedung Agung Yogyakarta
beberapa tahun silam. Namun sayang, gerakan seni luar ruang yang dilakukan
Didik tersebut tidak terdengar lagi gaungnya.
Hal lain yang layak dicatat dalam
sejarah seni ruang luar Yogyakarta, bahwa proyek mural yang diprakarsai Samuel
tersebut dapat disamakan dengan kerja seni Oda Teda Ena di dalam Instalasi
memedi sawah ‘Menakut-nakuti Orang Kota’ (2000), yang di-display di beberapa
titik strategis kota Yogyakarta. Meskipun kurang optimal, pertunjukan seni dan
instalasi luar ruang ‘Mummy Dancing’ dari Tugu sampai Gedung Agung yang
merupakan kerja seni MN Wibowo dan Komunitas Sastra Pendapa (KSP) pada beberapa
tahun silam juga memiliki visi-misi yang tidak jauh berbeda dengan proyek
mural, yakni membangun kesadaran peradaban baru bagi publik.
Puisi
Pendek, Haiku, dan Street Art
Sesungguhnya tidak hanya seni rupa dan
seni pertunjukan, namun karya sastra (puisi) dapat dijadikan sebagai materi di
dalam mewujudkan atau nunumbuh-kembangkan street art di kota Yogyakarta. Tentu
saja puisi yang dipilih sebagai materi tersebut adalah puisi-puisi pendek atau
berjenis haiku. Salah satu genre puisi tradisi Jepang yang dikenal memiliki
aturan silabus 7,5,7 itu.
Mengapa puisi pendek atau haiku yang
harus dituliskan pada billboard atau neon-sign dan di-display di titik-titik
strategis jalan utama kota? Karena, puisi pendek atau haiku akan lebih cepat
dibaca orang-orang sewaktu mereka sejenak berhenti menunggu lampu hijau traffic
light menyala.
Apabila proyek sosialisasi puisi pendek
atau haiku di ruang publik dengan melibatkan para penyair atau masyarakat umum
tersebut dapat direalisasikan, maka akan terangsanglah kesadaran publik untuk
gemar membaca, mengapresiasi, dan mengontemplasikan nilai-nilai yang tersirat
di balik karya puisi atau haiku.
Di samping itu, proyek sosialisasi puisi
pendek atau haiku ruang publik sangat kontekstual dengan zamannya. Zaman di
mana publik semakin tidak memiliki waktu luang untuk membaca. Karena sebagian
waktunya semakin cenderung dicurahkan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Sekadar
Harapan
Terlepas dari suka atau tidak suka,
bahwa proyek mural dan street art sangat layak untuk direalisasikan secara
kontinyu. Karena itu, tidak ada salahnya kalau proyek tersebut senantiasa
melibatkan para kreator (seniman), masyarakat umum, lembaga-lembaga pemerintah
dan swasta, sponsor dan pendana, serta media massa cetak dan elektronik.
Selain dilaksanakan secara kontinyu,
proyek mural dan street art seyogyanya dikembangkan hingga mencapai tingkat
kualitatifnya. Sehingga kota Yogyakarta akan menjadi museum seni dan budaya
yang memiliki prospek cerah di dalam mendongkrak pegembangan dunia pendidikan
dan pariwisata. Lebih jauh diharapkan, proyek tersebut akan menjadi embrio
lahirnya peradaban baru di lingkup kehidupan publik Yogyakarta khususnya dan
pendatang kota Berhati Nyaman pada umumnya.
Sri Wintala
Achmad
Tinggal di
Cilacap, Jawa Tengah
Sumber foto:
https://pietoyosusanto.wordpress.com/2010/03/05/perjalanan-yogyakarta-kota-mural-gambar-2/mata-bicara-photography-187/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar