Entri yang Diunggulkan

INDONESIAN POEM BY BAMBANG DARTO

THE EARLY EVENING When raining the clock is damaged and the sun is dark the day has no wind when the thunder burglarizes chest my he...

Rabu, 09 Desember 2015

SASTRA



ODYSSEY:
DARI LAKU SPIRITUAL HINGGA TAKDIR MANUSIA
Oleh: Sri Wintala Achmad

Sejauh pengamatan saya, banyak redaktur sastra koran di Indonesia bukan sekadar sebagai penyeleksi atas karya-karya yang menimbun di meja redaksi sebelum dimuat di lembar sastra, namun pula sebagai penggubah karya sastra baik puisi maupun cerpen. Nama-nama semisal Ahmadun Yosi Herfanda, Triyanto Triwikromo, Isbedy Stiawan ZS, Gunoto Saparie, Jayadi Kastari, Ismet NM Haris, Latief Noor Rochman, dll adalah para penggubah karya sastra yang pernah (masih) aktif sebagai redaktur sastra dari sebuah harian atau mingguan.
            Tampaknya sudah menjadi kebijakan dari harian atau mingguan terkait, bahwa seorang redaktur sastra merupakan penggubah karya sastra atau setidaknya pengamat sastra yang baik. Hal ini dimaksudkan agar karya yang diseleksi untuk dimuat di lembar sastra bukan sekadar karya, namun karya yang memenuhi standar kualitasnya. Hingga karya tersebut dapat memberikan inspirasi bagi pembaca atau mendorong motivasi penulis sastra di dalam menggubah karya yang berkualitas. Karya yang bukan sekadar hadir, namun memaknai kehadirannya.
            Banyak karya dari para redaktur sastra baik yang telah dibukukan atau belum. Salah satu buku yang melengkapi buku-buku karya sastra dari para redaktur sastra sebelumnya adalah Odyssey. Sebuah buku antologi puisi yang digubah oleh Latief Noor Rochman. Seorang redaktur sastra dari mingguan Minggu Pagi Yogyakarta yang dikenal sangat supel dalam pergaulan. Tidak hanya dengan para sastrawan, namun pula dengan para seniman dan budayawan.

Rekam Kontemplatif Perjalanan Panjang
            Menangkap makna Odyssey yang merupakan tajuk antologi puisi tunggal Latief Noor Rochman teringat akan merk mobil buatan Jepang. Sebuah merk yang memberi kesan bahwa mobil tersebut dimaksudkan sebagai alat transportasi di dalam melakukan perjalanan panjang. Pengesanan ini sangat beralasan. Mengingat berdasarkan kamus bahasa Inggris, kata Odyssey mengandung makna Perjalanan Panjang atau Petualangan.
            Berangkat dari makna tajuk antologi puisi tersebut, saya menangkap bahwa kehadiran antologi puisi Odyssey merupakan bentuk rekam kontemplatif perjalanan panjang yang konkret dari Latief Noor Rochman. Tak khayal, bila karya-karya di dalam Odyssey sangat kental dengan ungkapan-ungkapan filosofis yang dapat menggugah permenungan bagi pembaca.
            Banyak persoalan dihadapi di sepanjang perjalanan hidup yang tentunya mengilhami Latief Noor Rochman untuk dijadikan tema karya-karya puisinya. Namun bila membaca seluruh karya di dalam Odyssey, tema seputar perjalanan dan takdir lebih mendominasi. Sementara tema seputar agama, wanita, dongeng, wayang, dan sisi-sisi kehidupan lainnya hanya mendapatkan porsi secukupnya. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa Odyssey cenderung merefleksikan gagasan-gagasan Latief Noor Rochman mengenai esensi dari sebuah laku hidup dan kodrat manusia yang diekspresikan ke dalam karya puisi. Salah satu genre karya sastra yang substansinya sebagai media ekpresi kontemplatif bagi setiap penyair.

Esensi Tujuan Sebuah Perjalanan
            Di dalam kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari hukum waktu dan ruang. Karena dikaruniai akal-budi, manusia harus mampu mengatasi hukum waktu dan ruang tersebut. Mengatasi hukum waktu, artinya manusia harus memaknai sang kala dengan sebijak-bijaknya. Mengatasi hukum ruang, artinya manusia harus menjadi sang katak pemberontak yang bernyali besar untuk membebaskan diri dari tempurungnya. Dunia kecil yang memerangkapnya sebagai manusia paling tolol di balik omongan besar atau kecongkakannya.
            Pada masa silam (barangkali masih relevan di masa kini), bahwa manusia yang ingin mengetahui luasnya dunia dan hakikat dari tujuan hidup harus melakukan suatu perjalanan panjang. Suatu proses atau laku yang dipesankan oleh penyair Latief Noor Rochman harus berbekalkan pada kesabaran dan keyakinan (ketidakgamangan). Karena tanpa bekal tersebut, perjalanan hanya akan berbuah kesesatan yang membingungkan. Lebih jauh, simak petikan bait ke-3 dalam puisi Jawab yang Benar Kuharap: //…Sudah terjilid dalam kliping perjalanan/atau semata waktu yang belum ketemu/dan mengajariku sabar menunggu?/Gamang makin menelikung/merecoki bilik jantung, menumbuhkan dengung//.
Perjalanan yang seyogyanya menjadi laku fisikal dan utamanya laku spiritual manusia, menurut Latief Noor Rochman harus pula berbekalkan jiwa sentosa yang tidak mengenal istilah lelah dan putus asa. Laku spiritual tetap dilakukan, sekalipun jalan ke depan penuh kelokan dan semakin menantang untuk ditapaki. Berikut adalah kutipan lengkap karya yang menyingkap makna esensial dari laku spiritual dimana Nirwana sebagai tujuan akhirnya:

Perjalanan yang Tak Pernah Usai

jangan redakan lelah
sebelum sampai labirin terdalam
sebelum menyentuh aksara
yang terpahat
di dinding purba:
prasasti hakiki pengalir liur
yang tak pernah berhenti mencari.

biarkan debu melambari nyali
yang tak pernah beringsut mati
selalu mengena sasar bidik
yang tersangkut perahu cadik:
tapak pasti pengunggah mantra
pelancar jalan ke surga.

tidak hanya berhenti di sini
ke depan, berkelok, dan terus menapaki,
berbekal keyakinan yang terbelit doa
dan kegamangan.

"tak perlu memikir, jangan diseret
ke ranah akal sehat, biarkan ia menetes
seperti yang dikodratkan. keyakinan adalah keimanan.
 keimanan adalah benih
yang terbiak di ladang nirwana."

kita tidak butuh terminal,
tanah lapang, emperan gedung,

pun gerumbulan taman.
tak ada sisa waktu yang bisa menegaskan
sebuah kepasrahan.
angin laut selalu mendorong hujan tak henti mencambuki mata dan kaki
terus mengitari peta pasti
meski belum terjamin bisa didekapi
: jalan saja, liat yang akan terjadi!

            Melalui puisi Magnum Opus, Latief Noor Rochman menggarisbawahi ide puitiknya bahwa laku spiritual yang ditunaikan dengan kesungguhan dan teruji oleh waktu akan membuahkan makna sejatinya. Kalau toh belum mendapatkan hikmahnya, barangkali Tuhan belum membukakan hati manusia yang menjalankan laku tersebut. Di sinilah, manusia mendapatkan ujian dari Tuhan atas kesabaran, keyakinan, dan ketidakputusasaan yang ditanam di dalam jiwanya.

Esensi Takdir dan Akhir Perjalanan
            Kata takdir lebih mendominasi Antologi Puisi Odyssey karya Latief Noor Rochman. Menurut hemat saya, terdapat 22 puisi yang menggunakan kata takdir, yakni: Tentang Takdir, Kaki Sokaraja 1, Sokaraja 2, Kitab Takdir, Syair Kesakitan, The Black One, Tanya, Konserto Sebuah Persinggahan, Adagio, Banyuwangi 2, Catatan Seorang Arjuna, Menangisi Buku Takdir, Yang Telah Selesai, Evaluasi Takdir, Pandangi Takdir, Abaikan Takdir, Percayai Takdir, Hidup Takdir, Muara Takdir, Buku Takdir, dan Sekali Lagi Tentang Takdir. Hal ini menunjukkan bahwa penyair memiliki perhatian besar tentang takdir yang menurut sebagian orang telah tersurat di garis tangan manusia.
            Dalam puisi Catatan Seorang Arjuna yang dibingkiskan kepada seorang teaterawan Puntung CM Pudjadi, Latief Noor Rochman mengungkapkan pada bait ke-2 bahwa hidup adalah takdir yang telah digariskan oleh Tuhan sebelum manusia dilahirkan. Takdir yang tidak dapat diwiradat. Sebagaimana takdir yang diyakini oleh sebagian besar masyarakat Jawa atas drajat, pangkat, jodoh, dan kematian. Berikut adalah kutipan bait ke-2 dalam puisi Catatan Seorang Arjuna: //Hidup adalah takdir/Kenyataan yang terjadi adalah bagian suratan hidup/yang telah tersiapkan ratusan tahun sebelum dirimu ada/Tak perlu gusar/bila meniti titian yang memunculkan iri/Kamu tidak sendirian/Bung Karno menerima guratan nasib seperti ini/Pun Arjuna, putra Pandu/yang kini bereinkarnasi/ menjadi resi di Purwomartani//.
Karena nasib kehidupan manusia telah ditentukan oleh takdir, maka Latief Noor Rochman melalui puisi pendeknya Kitab Takdir, mengungkapkan bahwa hakikat manusia laksana boneka (wayang) di tangan seorang dalang. Boneka yang harus memainkan perannya selaras ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh Tuhan di dalam Kitab Takdir, sekalipun jiwa sering memberontak sedahsyat gelombang menghantam karang. Selengkapnya tilik puisi di bawah ini:

Kitab Takdir

Kenapa harus tercatat napas masa depan
pun setelah bumi berakhir.
Buat apa?
Bukankah berarti kita hanya boneka yang dimainkan dalang
: menurut dan menjalani skenario
   yang belum tentu sehati?
           
            Takdir kehidupan niscaya berakhir, bila kematian yang merupakan tanda usainya perjalanan panjang manusia baik berupa laku fisikal maupun laku spiritual itu tiba pada saatnya. Dilukiskan oleh Latief Noor Rochman ke dalam puisinya yang bertajuk Yang Telah Selesai pada bait ke-2, bahwa kematian akan menawarkan sebuah ruang damai abadi dan para bidadari yang siap melayani, sesudah manusia lelah menjalani laku hidupnya. Dengan demikian, ruang damai abadi dan para bidadari di sini lebih menyimbolkan sebagai upah atas darma yang ditunaikan manusia selama meniti jalan kehidupannya. Berikut adalah kutipan bait ke-2 dalam puisi Yang Telah Selesai: //Perjalanan harus diakhiri/Kelelahan mesti direbahkan dalam ruang damai abadi/Menanti bidadari yang akan melayani/Pengganti sepak terjangmu yang tak kenal kompromi!//

            Kehadiran Antologi Puisi Odyssey karya Latief Noor Rochman sungguh menarik untuk dijadikan media kontemplatif bagi pembaca. Mengingat antologi puisi ini bukan sekadar sebagai jambangan bagi bunga-bunga puitik yang dirangkai dari diksi-diksi mempesona, melainkan pula menawarkan ruang bagi pembaca untuk merenungkan jalan hidup (takdir) dan perjalanan (laku spiritual) manusia. Laku yang mengarah pada terwujudnya hubungan transendental yang ideal antara manusia dengan Tuhan-nya.
            Disamping itu, kehadiran Antologi Puisi Odyssey memiliki kontribusi positif terhadap kehidupan sastra Indonesia. Maka, terlepas dari penilaian dangkal yang mengacu pada ‘suka atau tak suka’, kehadiran antologi puisi yang lahir dari seorang penyair dan sekaligus redaktur sastra dari mingguan Minggu Pagi ini layak untuk dibaca dan diapresiasi.

Sri Wintala Achmad
Pecinta Sastra
Tinggal di Cilacap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar