ODYSSEY:
DARI LAKU SPIRITUAL HINGGA TAKDIR MANUSIA
Oleh: Sri Wintala Achmad
Sejauh pengamatan
saya, banyak redaktur sastra koran di Indonesia bukan sekadar sebagai
penyeleksi atas karya-karya yang menimbun di meja redaksi sebelum dimuat di
lembar sastra, namun pula sebagai penggubah karya sastra baik puisi maupun
cerpen. Nama-nama semisal Ahmadun Yosi Herfanda, Triyanto Triwikromo, Isbedy
Stiawan ZS, Gunoto Saparie, Jayadi Kastari, Ismet NM Haris, Latief Noor
Rochman, dll adalah para penggubah karya sastra yang pernah (masih) aktif
sebagai redaktur sastra dari sebuah harian atau mingguan.
Tampaknya sudah menjadi kebijakan
dari harian atau mingguan terkait, bahwa seorang redaktur sastra merupakan
penggubah karya sastra atau setidaknya pengamat sastra yang baik. Hal ini
dimaksudkan agar karya yang diseleksi untuk dimuat di lembar sastra bukan
sekadar karya, namun karya yang memenuhi standar kualitasnya. Hingga karya
tersebut dapat memberikan inspirasi bagi pembaca atau mendorong motivasi penulis
sastra di dalam menggubah karya yang berkualitas. Karya yang bukan sekadar
hadir, namun memaknai kehadirannya.
Banyak karya dari para redaktur
sastra baik yang telah dibukukan atau belum. Salah satu buku yang melengkapi
buku-buku karya sastra dari para redaktur sastra sebelumnya adalah Odyssey.
Sebuah buku antologi puisi yang digubah oleh Latief Noor Rochman. Seorang
redaktur sastra dari mingguan Minggu Pagi Yogyakarta yang dikenal sangat supel
dalam pergaulan. Tidak hanya dengan para sastrawan, namun pula dengan para
seniman dan budayawan.
Rekam
Kontemplatif Perjalanan Panjang
Menangkap makna Odyssey yang
merupakan tajuk antologi puisi tunggal Latief Noor Rochman teringat akan merk
mobil buatan Jepang. Sebuah merk yang memberi kesan bahwa mobil tersebut
dimaksudkan sebagai alat transportasi di dalam melakukan perjalanan panjang.
Pengesanan ini sangat beralasan. Mengingat berdasarkan kamus bahasa Inggris,
kata Odyssey mengandung makna Perjalanan Panjang atau Petualangan.
Berangkat dari makna tajuk antologi
puisi tersebut, saya menangkap bahwa kehadiran antologi puisi Odyssey merupakan
bentuk rekam kontemplatif perjalanan panjang yang konkret dari Latief Noor
Rochman. Tak khayal, bila karya-karya di dalam Odyssey sangat kental dengan
ungkapan-ungkapan filosofis yang dapat menggugah permenungan bagi pembaca.
Banyak persoalan dihadapi di
sepanjang perjalanan hidup yang tentunya mengilhami Latief Noor Rochman untuk
dijadikan tema karya-karya puisinya. Namun bila membaca seluruh karya di dalam
Odyssey, tema seputar perjalanan dan takdir lebih mendominasi. Sementara tema
seputar agama, wanita, dongeng, wayang, dan sisi-sisi kehidupan lainnya hanya
mendapatkan porsi secukupnya. Dari sini bisa disimpulkan, bahwa Odyssey
cenderung merefleksikan gagasan-gagasan Latief Noor Rochman mengenai esensi
dari sebuah laku hidup dan kodrat manusia yang diekspresikan ke dalam karya
puisi. Salah satu genre karya sastra yang substansinya sebagai media ekpresi
kontemplatif bagi setiap penyair.
Esensi
Tujuan Sebuah Perjalanan
Di dalam kehidupan manusia tidak
dapat dilepaskan dari hukum waktu dan ruang. Karena dikaruniai akal-budi,
manusia harus mampu mengatasi hukum waktu dan ruang tersebut. Mengatasi hukum
waktu, artinya manusia harus memaknai sang kala dengan sebijak-bijaknya.
Mengatasi hukum ruang, artinya manusia harus menjadi sang katak pemberontak
yang bernyali besar untuk membebaskan diri dari tempurungnya. Dunia kecil yang
memerangkapnya sebagai manusia paling tolol di balik omongan besar atau
kecongkakannya.
Pada masa silam (barangkali masih
relevan di masa kini), bahwa manusia yang ingin mengetahui luasnya dunia dan
hakikat dari tujuan hidup harus melakukan suatu perjalanan panjang. Suatu
proses atau laku yang dipesankan oleh penyair Latief Noor Rochman harus berbekalkan
pada kesabaran dan keyakinan (ketidakgamangan). Karena tanpa bekal tersebut,
perjalanan hanya akan berbuah kesesatan yang membingungkan. Lebih jauh, simak
petikan bait ke-3 dalam puisi Jawab yang
Benar Kuharap: //…Sudah terjilid dalam kliping perjalanan/atau
semata waktu yang belum ketemu/dan mengajariku sabar menunggu?/Gamang makin
menelikung/merecoki bilik jantung, menumbuhkan dengung//.
Perjalanan yang
seyogyanya menjadi laku fisikal dan utamanya laku spiritual manusia, menurut
Latief Noor Rochman harus pula berbekalkan jiwa sentosa yang tidak mengenal
istilah lelah dan putus asa. Laku spiritual tetap dilakukan, sekalipun jalan ke
depan penuh kelokan dan semakin menantang untuk ditapaki. Berikut adalah
kutipan lengkap karya yang menyingkap makna esensial dari laku spiritual dimana
Nirwana sebagai tujuan akhirnya:
Perjalanan yang
Tak Pernah Usai
jangan redakan lelah
sebelum sampai labirin terdalam
sebelum menyentuh aksara
yang terpahat
di dinding purba:
prasasti hakiki pengalir liur
yang tak pernah berhenti mencari.
biarkan debu melambari nyali
yang tak pernah beringsut mati
selalu mengena sasar bidik
yang tersangkut perahu cadik:
tapak pasti pengunggah mantra
pelancar jalan ke surga.
tidak hanya berhenti di sini
ke depan, berkelok, dan terus menapaki,
berbekal keyakinan yang terbelit doa
dan kegamangan.
"tak perlu
memikir, jangan diseret
ke ranah akal
sehat, biarkan ia menetes
seperti yang
dikodratkan. keyakinan adalah keimanan.
keimanan adalah benih
yang terbiak di
ladang nirwana."
kita tidak butuh terminal,
tanah lapang, emperan gedung,
pun gerumbulan taman.
tak ada sisa waktu yang bisa menegaskan
sebuah kepasrahan.
angin laut selalu mendorong hujan tak henti
mencambuki mata dan kaki
terus mengitari peta pasti
meski belum terjamin bisa didekapi
: jalan saja, liat yang akan terjadi!
Melalui puisi Magnum Opus, Latief
Noor Rochman menggarisbawahi ide puitiknya bahwa laku spiritual yang ditunaikan
dengan kesungguhan dan teruji oleh waktu akan membuahkan makna sejatinya. Kalau
toh belum mendapatkan hikmahnya, barangkali Tuhan belum membukakan hati manusia
yang menjalankan laku tersebut. Di sinilah, manusia mendapatkan ujian dari
Tuhan atas kesabaran, keyakinan, dan ketidakputusasaan yang ditanam di dalam
jiwanya.
Esensi Takdir dan Akhir Perjalanan
Kata takdir lebih mendominasi
Antologi Puisi Odyssey karya Latief Noor Rochman. Menurut hemat saya, terdapat
22 puisi yang menggunakan kata takdir, yakni: Tentang
Takdir,
Kaki Sokaraja 1, Sokaraja 2, Kitab Takdir, Syair Kesakitan, The Black One,
Tanya, Konserto Sebuah Persinggahan, Adagio, Banyuwangi 2, Catatan Seorang
Arjuna, Menangisi Buku Takdir, Yang Telah Selesai, Evaluasi Takdir, Pandangi
Takdir, Abaikan Takdir, Percayai Takdir, Hidup Takdir, Muara Takdir, Buku
Takdir, dan Sekali Lagi Tentang Takdir. Hal ini menunjukkan bahwa penyair
memiliki perhatian besar tentang takdir yang menurut sebagian orang telah
tersurat di garis tangan manusia.
Dalam puisi Catatan Seorang Arjuna yang dibingkiskan kepada seorang
teaterawan Puntung CM Pudjadi, Latief Noor Rochman mengungkapkan pada bait ke-2
bahwa hidup adalah takdir yang telah digariskan oleh Tuhan sebelum manusia
dilahirkan. Takdir yang tidak dapat diwiradat. Sebagaimana takdir yang diyakini
oleh sebagian besar masyarakat Jawa atas drajat, pangkat, jodoh, dan kematian.
Berikut adalah kutipan bait ke-2 dalam puisi Catatan Seorang Arjuna: //Hidup
adalah takdir/Kenyataan yang terjadi adalah bagian suratan hidup/yang telah
tersiapkan ratusan tahun sebelum dirimu ada/Tak perlu gusar/bila meniti titian
yang memunculkan iri/Kamu tidak sendirian/Bung Karno menerima guratan nasib
seperti ini/Pun Arjuna, putra Pandu/yang kini bereinkarnasi/ menjadi resi di
Purwomartani//.
Karena nasib
kehidupan manusia telah ditentukan oleh takdir, maka Latief Noor Rochman melalui
puisi pendeknya Kitab Takdir, mengungkapkan bahwa hakikat manusia laksana
boneka (wayang) di tangan seorang dalang. Boneka yang harus memainkan perannya
selaras ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh Tuhan di dalam Kitab Takdir,
sekalipun jiwa sering memberontak sedahsyat gelombang menghantam karang.
Selengkapnya tilik puisi di bawah ini:
Kitab Takdir
Kenapa harus tercatat napas masa depan
pun setelah bumi berakhir.
Buat apa?
Bukankah berarti kita hanya boneka yang dimainkan
dalang
: menurut dan
menjalani skenario
yang belum
tentu sehati?
Takdir kehidupan niscaya berakhir,
bila kematian yang merupakan tanda usainya perjalanan panjang manusia baik
berupa laku fisikal maupun laku spiritual itu tiba pada saatnya. Dilukiskan
oleh Latief Noor Rochman ke dalam puisinya yang bertajuk Yang Telah Selesai
pada bait ke-2, bahwa kematian akan menawarkan sebuah ruang damai abadi dan
para bidadari yang siap melayani, sesudah manusia lelah menjalani laku
hidupnya. Dengan demikian, ruang damai abadi dan para bidadari di sini lebih
menyimbolkan sebagai upah atas darma yang ditunaikan manusia selama meniti
jalan kehidupannya. Berikut adalah kutipan bait ke-2 dalam puisi Yang Telah Selesai: //Perjalanan harus diakhiri/Kelelahan mesti
direbahkan dalam ruang damai abadi/Menanti bidadari yang akan
melayani/Pengganti sepak terjangmu yang tak kenal kompromi!//
Kehadiran Antologi Puisi Odyssey
karya Latief Noor Rochman sungguh menarik untuk dijadikan media kontemplatif
bagi pembaca. Mengingat antologi puisi ini bukan sekadar sebagai jambangan bagi
bunga-bunga puitik yang dirangkai dari diksi-diksi mempesona, melainkan pula
menawarkan ruang bagi pembaca untuk merenungkan jalan hidup (takdir) dan
perjalanan (laku spiritual) manusia. Laku yang mengarah pada terwujudnya
hubungan transendental yang ideal antara manusia dengan Tuhan-nya.
Disamping itu, kehadiran Antologi
Puisi Odyssey memiliki kontribusi positif terhadap kehidupan sastra Indonesia.
Maka, terlepas dari penilaian dangkal yang mengacu pada ‘suka atau tak suka’,
kehadiran antologi puisi yang lahir dari seorang penyair dan sekaligus redaktur
sastra dari mingguan Minggu Pagi ini layak untuk dibaca dan diapresiasi.
Sri Wintala
Achmad
Pecinta Sastra
Tinggal di
Cilacap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar