MALEM SURAN,
DALAM CATATAN
BUDAYA
Oleh: Sri Wintala Achmad
Oleh: Sri Wintala Achmad
Memang sangat
memprihatinkan dengan banyaknya tradisi Jawa yang telah terkikis oleh arus bah modernisasi.
Sebagai misal tradisi jagongan kelahiran seorang bayi yang diwarnai dengan
gelar macapatan, tradisi resepsi pernikahan Jawa, tradisi ruwatan untuk anak
sukerta yang diselenggarakan dengan pertunjukan wayang kulit, tradisi wiwitan
sebelum petik padi, atau tradisi gejok lesung sewaktu terjadi gerhana bulan
sudah semakin sulit untuk disaksikan di lingkup masyarakat Jawa sendiri.
Banyaknya
tradisi Jawa yang terkikis karena semakin menguatnya pengaruh modernisasi tersebut
tidak dapat lepas dari sikap masyarakat Jawa sendiri. Sikap yang sangat
permisif terhadap budaya modern tanpa berupaya untuk mempertahankan budayanya
sendiri. Akibatnya banyak orang muda yang tidak mengenal budaya tradisi tersebut
kemudian mengklaimnya sebagai budaya kuno dan sudah ketinggalan zaman.
Sebaliknya mereka lebih menggandrungi budaya modern (baca: budaya barat) yang
hanya dapat disentuh sebatas kulitnya saja.
Melihat realitas
di muka memang memprihatinkan. Sekalipun demikian, masih terdapat beberapa
tradisi yang sampai saat ini dilestarikan oleh masyarakat Jawa. Beberapa
tradisi Jawa yang masih dilestarikan tersebut, antara lain: Labuhan baik
dilakukan di Laut Selatan maupun di Gunung Merapi, Sedekah Laut atau Sedekah
Bumi (Merti Desa), Nyadran di bulan Ruwah, Padusan sebelum pelaksanakan ibadah
puasa di bulan Ramadhan, dan Sungkeman di hari raya ‘Idul Fitri. Disamping itu,
terdapat tradisi Jawa yang masih dilaksanakan oleh masyarakatnya, yakni: Tirakatan
Malem Suran (Prihatin di Malam 1 Sura). Suatu tradisi yang dilakukan setiap malam
pergantian tahun Jawa atau Hijriyah.
Malem Suran
Siang menjelang malam 1 Sura, banyak
orang Jawa telah mempersiapkan untuk melakukan tradisi Malem Suran. Karenanya
tidak heran, bila tempat-tempat ziarah mulai didatangi oleh pengunjung baik
dari dalam maupun luar kota sejak sore hari. Jumlah pengunjung pun akan semakin
membludak menjelang tengah malam. Sementara bagi orang Jawa yang tidak sempat
mengunjungi salah satu tempat ziarah tersebut biasanya cukup melakukan lek-lekan bersama keluarga atau tetangga
di halaman rumah atau berjalan keliling kampung.
Lain di Cilacap lain pula di Yogyakarta.
Di Cilacap, tempat-tempat seperti Teluk Penyu dan Gunung Srandil akan menjadi
sasaran dari orang-orang yang akan merayakan Malem Suran dengan tirakatan. Sementara beberapa tempat di
Yogyakarya yang menjadi tujuan orang-orang untuk merayakan Malem Suran, yakni:
Sendang Kasihan, Parangkusuma, Makam Panembahan Senapati, Alun-Alun Lor dan Kidul
Keraton Yogyakarta, dll.
Bila menilik suasana Malem Suran di
berbagai tempat di muka sangat berbeda jauh dengan suasana Malam Tahun Baru
Masehi yang cenderung ekspresif dan diwarnai pesta-pora, petasan, kembang api,
dan bising suara terompet. Sementara suasana Malem Suran lebih bernuansa
impresif, khidmat, dan khusyuk. Karena banyak orang pada malam itu melakukan tirakatan (prihatin) baik melalui lek-lekan (berjaga semalam suntuk), lampah madya ratri (berjalan tengah
malam), maupun tapa bisu
(megendalikan nafsu untuk tidak bicara). Adapun laku prihatin yang mereka
lakukan tersebut untuk mendapatkan anugerah dari Tuhan atau sekadar melakukan refleksi
atas perjalanan hidupnya di masa silam. Suatu laku untuk dapat menapaki hidup
yang lebih baik di masa-masa mendatang.
Mubeng Beteng
Terdapat satu tradisi Jawa di
Yogyakarta yang sampai saat ini masih mewarnai pada setiap Malem Suran, yakni
tradisi Mubeng Beteng. Tradisi berjalan dengan mengelilingi benteng Keraton
Yogyakarta yang bermula dan berakhir di depan pintu gerbang (Alun Alun Lor).
Pelaksanaan tradisi ini dimulai pada waktu tengah malam. Karenanya tradisi
Mubeng Beteng sering dikenal dengan Lampah Madya Ratri. Berjalan mengelilingi
benteng pada waktu tengah malam.
Selama melakukan tradisi Mubeng
Beteng, seluruh peserta akan berjalan dengan khidmat dan sekaligus melakukan tapa bisu (tidak berbicara antara satu
dengan lainnya). Karena seluruh panca inderanya diusahakan untuk dikunci, agar
indra ke enamnya terfokus pada Tuhan. Dalam keheningan di balik gemuruh langkah
ribuan pasang kaki itulah, seluruh peserta berusaha untuk melakukan pendekatan
diri pada Tuhan. Sang Pencipta Alam dan Seisinya.
Sesudah pelaksanaan Mubeng Beteng
berakhir, seluruh peserta melakukan doa bersama sebagaimana dilakukan sebelum
dimulainya upacara itu. Dari doa-doa yang mereka lafalkan dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan Mubeng Beteng bukan sekadar untuk melestarikan tradisi tersebut,
namun lebih sebagai laku spiritual yang diharapkan dapat memberikan dinamika
hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan. Sehingga kehidupan akan menjadi
tenteram dan sejahtera. Jauh dari segala bencana.
Catatan Terakhir
Berkembang dan punahnya tradisi
Jawa adalah tergantung pada masyarakat Jawa itu sendiri. Sebagaimana tradisi
Jawa lainnya, tradisi Malem Suran (Mubeng Beteng) pun akan mengalami sekarat jika
tidak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak terkait. Karena itu, peran
seorang sesepuh (orang tua) untuk
selalu memberikan pelajaran tentang nilai-nilai positif yang terkandung di
dalam tradisi Malem Suran pada generasinya akan sangat dibutuhkan. Mengingat
para pendidik dari dunia akademis formal tidak pernah menyentuh pada persoalan
tersebut.
Disamping itu, peran dari beberapa Komunitas
Spiritual Jawa seperti Kawula Ngayogyakarta, Dharma Sriwinahyo, dll yang selalu
mengkoordinir upacara tradisi Mubeng Beteng di Malem Suran tersebut tidak dapat
dipandang dengan sebelah mata. Dikarenakan tradisi tersebut memberikan
kesadaran spiritual pada manusia untuk selalu eling lan waspada (ingat dan waspada). Ingat pada
Tuhan yang selalu memberikan rahmat. Waspada atas segala cobaan di zaman yang semakin
menggila.
Apabila berbagai pihak terkait telah
melakukan perannya dengan baik, maka tradisi Malem Suran dan tradisi-tradisi
Jawa lainnya yang masih hidup akan dapat dipertahankan secara turun-temurun. Mengingat
generasi berikutnya yang telah memahami tentang tingginya nilai-nilai di balik
tradisi tersebut senantiasa berusaha untuk mempertahankan secara optimal. Disinilah
letak kunci melestarikan tradisi di lingkup masyarakat Jawa sendiri!
Sanggar Pulau Apung, 31102013
Sumber foto
http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1199945863/mubeng-beteng
http://www.kompasiana.com/massuraaljabantani/berendam-di-sendang-pengasihan-kasihan-ritual-yang-dipercaya-bisa-memperlancar-jodoh-dan-rezeki_552fd2606ea834d33f8b46fd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar